Kita akui, guru adalah sosok pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi zaman terus melaju, dan di tengah gempuran teknologi, kita pun sadar bahwa, menjadi guru hari ini, tak cukup hanya bermodal semangat saja.
Karena saat ini kecepatan informasi melesat bak anak panah yang lepas dari busur, anak-anak pun tumbuh di tengah derasnya arus digital. Mereka bukan hanya melek huruf, tapi juga sudah melek digital sejak balita?
Ya... Hari ini, ruang kelas tak lagi sekadar berisi papan tulis dan spidol. Dunia mereka, para siswa, telah beranjak dari sekadar teks di buku menuju layar interaktif, chatbot edukatif, dan materi belajar yang bisa mereka akses dalam satu sentuhan.
Lalu di mana posisi guru?
Pertanyaan yang saya ajukan di atas bukan bermaksud menggugat. Tapi untuk mengajak kita merenung. Bahwa peran guru tak lagi cukup hanya menyampaikan. Mereka harus bisa menyentuh (jiwa). Tidak hanya hadir secara fisik, tapi juga diharapkan mampu menjangkau dunia murid yang kian kompleks. Dan itu semua, dirasa tak cukup jika dilakukan dengan cara-cara lama.
Mengenai Cita-Cita Orangtua yang Menjadi Tanggung Jawab Guru
Izinkan saya memulai paragraf ini dengan pertanyaan, 'apa sebenarnya yang diharapkan orangtua dari pendidikan anak-anak mereka?'
Tentu bukan sekadar nilai ujian. Bukan hanya ijazah, bukan? Tapi harapan bahwa anak mereka tumbuh menjadi manusia utuh. Tangguh. Berkarakter. Dan siap menghadapi dunia.
Terdengar ironis memang. Karena cita-cita itu tumbuh dari rumah, tapi harus disemai di sekolah. Dan guru adalah penyemainya. Sayangnya, bagi para guru, hari ini benih-benih itu harus ditanam di tanah yang setiap saat terus berubah sehingga membutuhkan metode baru.
Dan guru, sekali lagi, tak punya pilihan lain selain ikut berubah dan menguasai metode baru tersebut.