Oleh : Jonny Ricardo Kocu*
Artikel ini mencoba memotret kondisi kehidupan masyarakat kampung di Papua, yang jarang dibicarakan dalam proses politik di kampung, seperti pemilihan kepala desa atau kampung, yakni keterpecahan sosial. Karena banyak diskursus hanya berfokus pada prases demokrasi elektoral, strategi merebut kekuasaan, dan keberhasilan secara kuantitas kebijakan tersebut.Â
Namun, artikel ini berupaya menampilkan cerita sekaligus mendiskusikan, alih-alih merefleksikan kontestasi politik dan keterpecahan sosial.
Cerita dari Kampung
Saat itu kira-kira pukul 12 siang WIT, panitian pemungutan suara di kampung membacakan hasil perolehhan suara, antara pasangan A dan B di kampung G (Nama Calon kepala kampung dan nama kampung, saya samarkan karena berbagai pertimbangan etis). Di kampung G, hanya terdapat dua pasangan calon kepala kampung, yang berupaya merebut hati dan suara rakyat.Â
Ketika itu, saya duduk di luar ruangan (balai Kampung), berlindung di bawah bayang-bayang pohon dari teriknya matahari saat itu. Cuaca hari itu, cukup cerah dan panas di tanah Maybrat. Bukan saja suhu yang panas, tapi suasa politik juga mulai memanas.Â
Suasana yang panas bukan saja terasa dalam tubuh, tapi terbaca juga dalam gerak gerik manusia, bahwa akan ada potensi friksi dan konflik. Karena saat perhitungan hasil pemilihan, salah satu calon kepala kampung telah meninggalkan tempat pemilihan.
Beberapa saat kemudian, dari arah timur datanglah calon kepala kampung yang kalah, bersama keluarganya melakukan konfrontasi “ ribut-ribut atau bakalai “.Â
Keributan tersebut bukan diarahkan ke calon yang menang dalam pemilihan. Melainkan diarahkan kepada mantan kepala kampung dan keluarganya. Segala caci-makian dilontarkan, beberapa ancaman bahkan sampai pembunuhan diutarakan.Â
Saya dan sebagain besar warga kampung, menanggapi dengan santai, walau ada yang serius menanggapinya, dan beranggapan bahwa ini “ wajar “ kekecewaan dalam kontestasi politik, apalagi pengalaman pertama kami di kampung tersebut (secara umum di Kabupaten Maybrat) dalam menyelenggarakan pemilihan secara demokratis, dalam era UU desa, dengan kewenangan dan dana desa yang besar serta menggiurkan.