Mohon tunggu...
Jonny Ricardo Kocu
Jonny Ricardo Kocu Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Lepas

Suka Menulis dan Tertarik Pada Literasi, Politik dan Pemerintahan, Sosial Budaya, Lingkungan dan Literasi

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Cerita dari Kampung di Papua: Kontestasi Politik dan Keterpecahan Sosial

7 Februari 2024   12:56 Diperbarui: 21 Maret 2024   20:23 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok (Fb)Juliana Lince. Salah satu foto pada momen pelantikan kepala kampung secara serentak di kabupaten maybrat, 09/01/2024. 

Namun, saya percaya masa lalu selalu menyediakan pelajaran-pelajaran penting dan inspirasi hidup yang perlu dipegang erag-erat dalam menjalani kehidupan sesuai konteks zamanya.

Pemilihan dan Keterpecahan dalam Masyarakat Kampung

Seperti cerita di awal tulisan ini, menunjukan bahwa pemilihan kepala kampung tidak sekedar bertujuan baik bagi demokrasi kampung. Tetapi, juga menciptakan friksi, konflik dan keterpecahan bagi masyarakat kampung. 

Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh I Ngurah Suryawan “ Kondisi keterpecahan (fragmentasi) yang terjadi di tengah masyarakat Papua berimplikasi serius terhadap rapuhnya solidaritas dan integrasi sosial dalam masyarakat”( Suryawan, 2015). 

Dalam tulisan tersebut, tidak bermaksud langsung pada kontestasi pemilihan kepala kampung. Namun, tulisan Suryawan memberi gambaran, bagaimana keterpecahan terjadi dalam masyarakat Papua, sebagai akibat globaliasi, pembangunanisme dan investasi yang menerjang masyarakat Papua. Sehingga, dua modal penting masyarakat Papua (solidaritas dan integrasi sosial) menjadi rapuh.

Saya melihat hal yang sama terjadi, ketika kebijakan pemerintah daerah terkait pemilihan kepala kampung secara langsung di Kabupaten Maybrat dilakukan.

Kebijakan tersebut, turut menghadirkan persolan-persoalan baru di kampung. Namun, saya termasuk orang yang mendukung kebijakan tersebut, bahwa jabatan kepala kampung harus dipilih secara demokratis (mandat UU Desa), sehingga mengakhiri praktek “ buruk” pengangkatan dan pemberhentian jabatan kepala kampung dengan nota dinas oleh Pemda Maybrat yang telah lama dilakukan.

Tetapi, yang menjadi persoalan adalah kebijakan tersebut dilakukan secara tergesa-gesa (yang penting barang jalan), serta tidak memperhitungkan konsekuensi dari pemiihan langsung bagi kehidupan sosial-politik di Kampung. 

Seperti keterpecahan sosial, dan melemahnya solidaritas dan integrasi sosial di kampung. Padahal, solidaritas dan integrasi sosial, merupakan modal penting masyarakat Papua (terutama di kampung), untuk merespon nilai-nilah baru, serta segala tantangan hidup yang menimpa orang Papua. 

Tanpa Solidaritas dan Integrasi sosial yang kuat, masyarakat Papua hanya akan menanti kehancuran hidupnya. 

Kini prosesnya “kehancuran” berjalan sedikit, perlahan, tanpa disadari, tapi untuk jangka panjang akan berdampak dasyat. Dan, hal ini telah terjadi di kampung G, dan beberapa kampung di kabupaten Maybrat pasca pemilihan kepala kampung secara serentak pada oktober 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun