Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aku Tidak Akan Memilihmu

13 Februari 2018   16:09 Diperbarui: 13 Februari 2018   16:10 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lirik lagu dunia ini panggung sandiwara sangat sesuai dengan dunia perpolitikan di Indonesia.Dipenuhi wacana yang kebanyakan nihil makna, penuh humor yang sarkastis dan ironis.Tahun 2018, kebisingan jagad politik akan mencapai level 110 desiBel, setara dengan suara semburan jet tempur supersonik.

'1. Suara Tak  Bermakna

Sesungguhnya jika dihitung, persentase politikus yang membisingkan itu sedikit dibandingkan jumlah anggota Parlemen secara keseluruhan, apalagi dibandingkan ke jumlah penduduk Indonesia. Orangnya ya itu-itu juga. Masalahnya adalah jumlah yang sedikit itu memiliki amplifier dan corong raksasa sehingga suara berisiknya menggema jauh ke pelosok Nusantara. 

Seperti yang dapat dengan mudah dipahami oleh orang yang paling bodoh sekalipun, bahwa siapa yang bersuara paling banyak adalah orang yang bekerja paling  sedikit. Maka sesungguhnya suara-suara berisik, yang meski kadang memekakkan telinga, dan sangat sering memancing emosi karena irasionalitasnya, tetapi sungguh mereka tidak bermakna, mereka adalah orang yang disyukuri jika masih hidup, tidak apa-apa kalau mati. Energi orang seperti ini dicurahkan hanya untuk satu hal, memperoleh panggung, agar tidak dilupakan publik, sebab baginya dilupakan adalah kematian.

'2. Hilang Kepercayaan Terhadap Aktifis

Pengamatan dan pengalaman yang cukup lama, sejak jaman orde baru ke jaman reformasi (betulkah pernah ada era reformasi?), saya menyimpulkan begini : orang yang bersuara keras mengkritik pemerintah, itu hanya sebuah cara agar bisa masuk ke lingkar kekuasaan yang memabukkan itu, dan begitu sudah masuk, suara hilang karena kesibukan menikmati kekuasaan yang empuk dan kenyal. Banyak sekali contoh yang dapat disebutkan. Sura tentang land reformitu dulu sangat keras gaungnya, saya begitu antusias mengikuti dan mengangkat salut ke orangnya. Kini, entah di mana suara itu masih tersisa, dan entah di mana orang itu berada, hanyaTuhan dan dia yang tahu.

Itu yang membuat saati ni, saya kehilangan kepercayaan secara total terhadap semua aktivis, pada semua jenis dan pada semua tingkat. Adakah di antara pembaca yang dapat menyebutkan berada di mana kini yang kita juluki aktivis reformasi itu?. Acungan kartu kuning dari maha siswa ke Pak Jokowi saya lihat dan saya maknai melulu hanya sebagai cara mencari panggung, sama sekali tidak berkaitan dengan kepedulian terhadap kemanusiaan apalagi kepedulian terhadap penderitaan suku Asmat. Pengetahuan dan pemahamannya terhadap letak dan kondisi geografis, apalagi tentang budaya dan karakter sosiokultural suku Asmat, sangat pantas diragukan.

Aktivis yang murni itu tidakpernahberniat masuk dan lalu berkelindan dengan kekuasaan, selalu memilih berdiri di luar lingkaran kekuasaan. Kita tampak tidak mempunyai yang seperti itu. Tengok ulanglah ke sejarah masa lalu.

'3. Post Power Syndrome

Post Power Syndrome (PPS) itu sesungguhnya adalah manusiawi. Pria-pria tua yang mengalami PPS pasti sangat menderita kesepian yang mendadak dan mencekam. Kemaren-kemaren menjadi pusat perhatian dan inti kekuasaan, hari ini semua perhatian hilang dan kekuasaan menguap dari tangan, itu sangat menyakitkan dan menyiksa sekali. Rasa sakit seperti itu berpotensi membuat sang penderita PPS menggeram sekedar untuk menyampaikan kekhalayak, hei saya masih ada. Pria-pria tua penderita PPS dapat menjadi sumber keberisikan di tahun 2018, yang disebut tahun politik.

'4. Daftar Hitam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun