Mohon tunggu...
Jon Hardi
Jon Hardi Mohon Tunggu... Pengacara - ADVOKAT

Alumnus Fak. Hukum Univ. Andalas Padang lulus 1990.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Untuk Apa Jadi Pemimpin?

14 November 2022   14:04 Diperbarui: 14 November 2022   14:06 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia, sebagai negara yang demokratis, pemimpin yang mengidap penyakit megalomania tidak mungkin tersalurkan. Begitu banyak batasan bagi suatu jabatan, baik dari masa jabatan, kewenangan maupun sistim pengawasan dan pertanggungjawaban. Begitu banyak lembaga yang mengawasinya, mulai dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPS), lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan (tentu saja) rakyat. Jadi kalau punya penyakit megalomania, jangan bermimpi jadi pemimpin di Indonesia, kecuali jadi raja hutan.

Demi Harta?

Ada yang menjadi pemimpin demi harta, karena jabatan memudahkan meraih lebih banyak harta. Pemimpin wajib kaya agar dihormati khalayak. Punya jabatan tapi tidak punya harta adalah aib, terhina. Di zaman feodal, raja hidup mewah dan melimpah, tidak peduli rakyatnya bisa makan atau tidak.

Dulu, menjadi pemimpin di Indonesia seolah sudah memiliki tiket untuk menjadi kaya raya. Dari upeti atas perizinan yang dikeluarkannya, menjadi backing pengusaha hitam, korupsi uang negara, maupun punya bisnis haram. Semua sangat mudah dilakukan dan orang maklum saja, atau tidak bisa berbuat apa-apa.

Tidak heran, demi tujuan ini, orang rela "investasi" miliaran agar jadi pemimpin. Seorang mantan gubernur DKI, agar dpilih untuk kedua kalinya, rela manjual rumah seharga Rp10 miliar untuk "modal", itupun kalah. Seorang mantan calon bupati untuk daerah minus di Sumatera bercerita, dia menghabiskan  Rp7,5 miliar namun kalah. Ada juga yang bercerita, bahwa dia telah menghabiskan Rp2,6 miliar hanya untuk kontestasi internal parpol agar terpilih sebagai calon. Wow. Padahal gaji resmi yang akan diterima jauh dibawahnya.

Tapi sekarang, tidak bisa lagi berharap dapat meraup banyak harta dari menjadi pemimpin. Wakil rakyatnya galak meskipun ada juga yang ditangkap karena maling. KPK tidak kenal ampun, meskipun kesannya sekarang melemah. Kejaksaan rajin mengejar meski anggotanya ikut jadi pesakitan. Kepolisian rajin menggeledah pemimpin yang diduga punya kekayaan dengan cara tidak wajar, meskipun ada pentolannya yang dijebloskan ke penjara karena ketahuan korup.

Demi Wanita? 

Bagi pria, menjadi pemimpin adalah lambang kejantanan. Kejantanan harus disimbolkan dengan dikelilingi banyak wanita, setidak-tidaknya digilai wanita. Ingat slogan 3 TA (Tahta, Harta dan Wanita)? Di zaman dulu Raja boleh punya istri dan selir sebanyak yang dia suka. Bagi pemimpin yang takut punya istri atau selir banyak, setidak-tidaknya punya istri simpanan atau pacar gelap.

Namun sekarang di Indonesia tujuan ini sukar dicapai. Undang-Undang Perkawinan masih menganut asas monogami. Wanitanya sangat sadar emansipasi. Belum lagi, penilaian di masyarakat bahwa punya istri lebih dari satu adalah kenistaan.

Demi Popularitas?

Jadi pemimpin memang enak. Kemana-mana selalu jadi perhatian. Disambut dengan karpet merah, kalungan bunga, tari persembahan. Berjalan, duduk, selalu di depan. Makan selalu didahulukan. Jadi sorotan di mana-mana. Semua mengenalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun