Mohon tunggu...
Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto Mohon Tunggu... Penulis - Esais

Penulis buku dan penulis opini di lebih dari 150 media berkurasi. Penggagas Komunitas Seniman NU dan Komunitas Partai Literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berdemokrasi Melalui Stand Up Comedy

5 Januari 2023   10:47 Diperbarui: 5 Januari 2023   11:03 1249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
stand up comedy | pixabay.com/Tumisu 

Stand Up Comedy Indonesia kini menjadi genre lawak yang mulai banyak digandrungi kawula muda. Menyajikan hiburan dengan konsep lawakan tunggal dengan membawakan beberapa keresahan yang kadang dibalut dengan narasi satire. Berbagai perlombaan yang diadakan industri penyiaran, perusahaan swasta, hingga institusi pemerintahan menunjukan betapa wabah Stand Up Comedy mulai menulari lintas generasi dan golongan masyarakat Indonesia.

Bahkan di acara-acara sketsa hiburan televisi, talkshow, dunia perfilman, hingga panggung konser musik atau pengajian disisipkan komika (sebutan pelaku Stand Up Comedy) untuk menjadi daya pikat penonton. Perkembangan komunitas juga semakin pesat sejak pertama kali diresmikan pada tanggal 13 Juli 2011 yang dipelopori oleh Ernest Prakasa, Ryan Adriandhy, Raditya Dika, Pandji Pragiwaksono, dan Isman H. Suryaman.

Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, Stand Up Comedy memiliki sejarah panjang sejak dari abad 19. Setelah itu dikenal sebagai jenis komedi cerdas yang tidak sembarangan membuat lelucon kasar, tetapi serius dipikirkan dan memiliki batas-batas kepantasan yang tegas di atas panggung. Darinya melahirkan kesadaran tentang adanya kompromi politik, kerakusan pejabat, dan pengabaian kepentingan rakyat.

Geliat komika nasional yang sukses di industri hiburan memicu banyak orang yang keluar dari pekerjaan tetap untuk banting setir menjadi komedian (Stand Up Comedy). Beberapa di antaranya nekat hijrah ke Jakarta untuk mencari penghasilan dari lawakan. Besarnya animo pelaku dan penikmat Stand Up Comedy kerap dimanfaatkan kelompok tertentu yang bermuatan politis untuk menarik massa atau pemilih suara di pemilu.

Keresahan Politik

Banyak komika membawakan keresahan dengan narasi kritik sosial dan politik di atas panggung. Beberapa di antaranya harus berisiko mendapatkan somasi dan kasus hukum terkait materi yang disampaikan. Lainnya berhasil lolos dengan tetap mengedepankan prinsip berdemokrasi tentang hak kebebasan berpendapat di ruang publik.

Namun karena potensi ketersinggungan dengan jerat hukum melalui medium Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menurunkan kualitas kritik secara tersurat maupun tersirat dari para komika. Ada anggapan negara masih belum benar-benar menerapkan konsep demokrasi (kebebasan berpendapat). Meski ada beberapa komika masih konsisten melancarkan kritik-kritik pedas terhadap lembaga kepemerintahan.

Menertawakan politik menjadi hiburan bagi masyarakat yang mulai muak dengan retorika politikus dan segala bentuk pencitraan kebijakan. Komika secara tidak sadar mengajari masyarakat untuk melek politik. Cerdas memilah dan memilih tokoh politik untuk menjadi pejabat atau pemimpin negeri. Banyak informasi yang terkuak dari sudut pandang komika namun sering luput dari informasi masyarakat pada umumnya. Keresahan ini yang menjadi kekuatan demokrasi, sebaliknya bisa mengancam otoritarian pemerintah.

Stand Up Comedy Indonesia akan menjadi pertimbangan politik domestik untuk menarik suara di tahun 2024. Namun sejauh ini, banyak komika yang masih konsisten menjaga jarak dari iming-iming politik sebagai konsekuensi atas konsistensi menjadi agent of control kebijakan pemerintah. Melancaran kritik atas keresahan yang dibawakan di atas panggung dengan dasar argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Politik Hiburan

Komika mengajarkan cara berdemokrasi yang elegan di Indonesia. Menyuarakan keresahan bukan melalui tulisan di media yang punya batas keterbacaan mengingat rendahnya literasi masyarakat. Tidak juga dengan demonstrasi di jalan raya yang jarang didengar oleh pejabat atau pemerintah. Apalagi mencaci maki di media sosial tanpa landasan informasi yang jelas.

Di tangan komika, politik hanyalah gerakan menyalurkan libido kekuasaan yang kerap menjadi bahas tertawaan. Banyak aksi pencitraan politikus yang bertujuan menarik empati pemilih suara, namun dibawakan komika dari perspektif komedi sehingga menjadi bahan lelucon di masyarakat. Kecerdasan mengulik fenomena politik dari komika menjadi kekuatan menyampaikan aspirasi masyarakat meski dibungkus dengan komedi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun