In The Beginning
Taman asri di belakang pringgitan di komplek Kepatihan Ploso Jenar adalah restricted area dalam maknanya yang vulgar. Mahapatih Sakuni menyebutnya taman sarwedwi, artinya sakloron atau serba dua. Persis di tengah terdapat kolam kecil berbentuk angka delapan asimetris yang dihuni sepasang ikan naga merah (red arowana, -ed.) hadiah saudagar puak Dayak dari Kepulauan Tenggara. Di kiri kanan tepian kolam ditanam pohon Kauki (Manilkara kauki, alias Sawo Kecik, -ed.) kembar yang buahnya mungil-mungil dan rasanya lebih manis ketimbang umumnya buah sapotase (sapotaceae atau sawo-sawoan, -ed.) asli Hastin.
Sarwedwi didesain oleh seorang Niwasi (niwa shi/master garden)Â yang didatangkan dari kerajaan kecil di kepulauan yang terletak di lepas pantai pesisir timur Benua Tengah yang disebut Akebonokuni (kepulauan fajar/Jepang, -ed.). Â Konon, lazimnya seorang Niwasi hanya membuat satu konsep teien (taman) di satu area, tapi khusus untuk sarwedwi, sang master memadukan tiga konsep taman panekung (zen garden) sekaligus.
Area kolam dan pelataran di pinggirannya yang relatif datar  didominasi konstelasi pasir putih bermotif garis-garis. Batuan dengan bentuk imajinatif dan warna warni tertentu (suiseki) ditata membentuk kaligrafi aksara Kanji. Petak yang luasnya sekira satu hekto are itu disebut karesansui (lanskap kering).
Di tepiannya, sebagai pembatas taman, ditanam dua jenis Camelia yakni varietas Sinensis asal Himawan dan varietas Assamica yang merupakan Camelia asli Hastin. Alhasil, Â kebun mini yang mengelilingi karesansui itu disebut chaniwa teien (kebun teh). Di belakangnya, beragam perdu dan tegakan yang masing-masing juga sepasang, ditanam di area yang topografinya menyerupai bebukitan, namanya tsukiyama (lanskap pegunungan), merupakan pelindung komplek taman dari dunia luar.
Sarwedwi (dari sarwa= serba dan dwi= dua yang digabung dengan majas asimilatif yang disebut Jarwo Dosok dalam khasanah sastra Jawa) disebut juga taman panekung karena suasana yang terbangun berkat perpaduan unsur shizen (naturalisme), kanso (asketisme), dan koko (minimalisme) dalam teknik seni instalasi simetrik benar-benar menghidupkan suasana meditatif sangat kuat. Cocok untuk healing.
Sepasang dwarapala berdiri di tatakan suiseki granit di kiri kanan gerbang taman, menghadap teras kecil yang nyaman. Di teras itu ada dua buah meja pualam bundar, besar kecil, masing-masing dengan sepasang tempat duduk. Meja kecil itu untuk minum-minum sedang meja besar dengan lazy susan dari batu giok di tengahnya untuk makan-makan.
"Lo tahu kenapa sarwedwi didesain menjadi taman sakloron, Joe?" ketika pertama diajak menikmati sore di taman terindah di muka bumi itu, Mahapatih menjelaskan argumen filisofis taman itu dengan pura-pura bertanya , padahal intensinya jelas mencari  jawaban hanya dari mulut beliau sendiri. Seekor pejantan Geopelia manggung di ranting Kauki, merayu betina yang berloncatan di pucuk-pucuk tajuk memamerkan kecantikannya.
"Sebab berduaan adalah kondisi ideal eksistensi manusia, Joe. Ia seimbang. Berada di tengah. Dua kutub ekstrim lainnya merupakan malapetaka, entah itu kesendirian maupun keramaian."
"Saya paham kalau soliter itu bencana, Gusti. Tapi kenapa keramaian ikut terlibat? Bukannya ada istilah the more the merrier?"