Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

OOTKK*) Dua

20 Juni 2021   16:19 Diperbarui: 20 Juni 2021   16:27 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah nonton film Chaplin? Kalau pernah, berarti percakapan yang sekarang dibangun dengan teman biasanya seputar obat apa yang cocok untuk nyeri pinggang. Old men's world.

Masalahnya, Chaplin, juga Ryan Hidayat, juga Rowan Atkinson (contoh terakhir ini untuk menjembatani ingatan pendek milenials agar ngeh dengan konteks kalimat) adalah penampil tunggal. Solo performer. Dalam kasus Chaplin dan Atkinson (haruskah ditulis sebagai Mr. Bean supaya lebih remindable?), biar banyak pemeran lain yang tampil bersama, hakikatnya tetap solo performance, yang lain hanya atribut. Untuk Ryan, kategori ini hanya berlaku ketika dia main pantomim.

Sampai di sini, disarankan untuk mengulang baca dua paragraf di atas dengan tempo lebih perlahan. Alokasikan waktu untuk mencerna susunan katanya. Kalau sudah paham maksud paragraf-paragraf itu, silakan lanjut membaca. Kalau belum ngeh, jangan teruskan. Rawan tambah nggak paham.

Benang merah antara ketiga artis itu dengan yang sedang dihadapi Maryono (65) saat ini di aula penuh audience itu adalah kebisuan. Bedanya, bukan Maryono yang menampilkan adegan bisu, tapi ini masya Allah: ribuan orang di depannya bangkit dari duduk, bertepuk tangan (biasanya ada juga yang teriak-teriak dan bersuit-suit) melakukan standing ovation, tanpa suara!

Benar, yang bermasalah tentu pendengaran Maryono. Analisanya gampang: sejak tadi dia yang banyak omong di podium dan orang banyak bereaksi terhadap kata-katanya persis seperti tertulis dalam buku manual motivator. Berarti mereka mendengar. Sekarang?

Sebelum kegugupan menghancurkan penampilan gemilang selama 45 menit barusan, Maryono bergegas memberikan salute khasnya, meninggalkan podium, menyalami sambil mengembangkan senyum hasil latihan bertahun-tahun pada panitia, lalu secepatnya keluar auditorium dan memberi kode pada petugas valet parking untuk mengambil Alphard-nya.

Dia menghembuskan nafas lega begitu terisolasi dalam kabin. Reputasi adalah segalanya walau bencana sedang terjadi. Dia mengerutkan kening, menghela nafas lagi untuk memompa keberanian, lalu membuka mulut.

"Test," seharusnya begitu bunyinya. Tapi Maryono tak mendengar apa-apa. Jantungnya berdetak lebih kencang, dia memutar kunci kontak. Lampu-lampu indikator berbagai fitur di dashboard alphard menyala, tapi Maryono hanya merasakan getaran halus mesin yang bekerja. Bukan suara berdesir halus seperti biasanya. Tes terakhir; dia menghantam panel di tengah kemudi dengan kepalan. Di luar, petugas valet parking terlonjak kaget, menatap keheranan ke arah kabin kemudi. Tapi bunyi telolet itu tak singgah ke kuping Maryono. Positif!

Sepasang matanya terasa panas. Air mata merembes. Sebelum situasi memburuk karena bayangan banyak orang di kaca spion juga mengarahkan tatapan heran ke mobilnya, Maryono memasang porsneleng, lalu menginjak pedal gas. Ke dokter THT ia melarikan alphard-nya.

"Oh, selamat malam, Pak Yon. Ada yang bisa saya bantu?" resepsionis cantik itu pernah beberapa kali mengikuti kursus pengembangan kepribadian yang mentornya laki-laki perlente di hadapannya.

"Apa? Apa yang Miss katakan tadi?" Maryono nyaris berteriak saking kagetnya.

Sang resepsionis ganti mengernyit jidat, "Anda Pak Yon, Maryono Supreme, kan? Ada yang bisa saya bantu? Bapak mau bertemu dokter Ana?"

"Saya tidak salah dengar, kan? Miss bicara pada saya?"

"Benar, Pak. Nah, apa yang bisa saya bantu?"

Maryono seperti bangun dari mimpi kejam. Dihapusnya keringat di jidat dengan punggung lengan, bukan sapu tangan sebagaimana harusnya. Wajahnya kelihatan runyam: senyum lega berpadu kernyit heran dan tatap mata hampa.

"Oh, maaf... tidak. Tidak apa-apa, permisi, maaf, saya baik-baik saja. Tidak perlu dokter. Maaf, terimakasih, permisi... mari, maaf, permisi."

Bola mata resepsionis cantik berputar, Maryono mundur, balik badan, bergegas meninggalkan klinik THT dokter Ana.

Mestinya tujuhbelas paragraf di atas ditulis ulang tiga kali karena kejadian sembilanpuluh persen sama dengan cerita dimaksud terulang tiga kali. Tapi belum pernah ada kan tulisan semacam itu yang disengaja? Kalau salah cetak memang ada juga.

Nah, kejadian Maryono Supreme (saat ini sudah berumur 66 tahun lebih sedikit) mendadak tuli dan mendadak sembuh yang ke tiga, ending-nya agak lain. Terakhir, dia tidak pulang ke rumah setelah membuat resepsionis cantik di klinik THT dokter Ana dicekam ketakutan. Maryono memutuskan mengambil konsultasi kejiwaan. Dan untuk keperluan itu dia pergi ke bandara Soeharto Saja**).

Tentu bukan di bandara Maryono berkonsultasi. Dari sana dia naik pesawat menuju Yogyakarta. Turun di bandara New Yogyakarta, dia naik taksi onlen menuju desa Turi di Sleman. Dari Turi, dia nyarter ojek pangkalan sampai di posko pendakian gunung Merapi. Dari posko, karena untuk sampai tujuan tidak ada jalan yang bisa dilalui kendaraan, Maryono mengandalkan sepasang sepatu merek Carterpilar yang dibelinya di bandara New Yogyakarta. Selain sepatu, Maryono berharap sisa nafas dan cairan pelumas di persendian lututnya masih ada cukup sisa untuk membawanya bertemu Eyang Mariyam, guru kebatinannya.

Hari tercatat sudah lewat ashar, udara lereng merapi mulai mendingin ketika sepasang burung prenjak yang sedang pacaran terheran-heran melihat laki-laki tua berbaju perlente naik gunung. Burung-burung itu tak sendirian, belakangan banyak juga yang bertanya bagaimana mungkin cerita ini bisa terjadi?

(bersambung)

*) Orang Orang Tua Kurang Kerjaan

**) Bandara baru di Ibukota itu dulu mau dinamai dengan nama bekas Presiden Soeharto dan salah satu yang pernah jadi Wakil Presidennya, biar kayak nama bandara Soekarno Hatta. Tapi berhubung sulit memutuskan siapa bekas Wapres yang namanya paling layak diabadikan bersama Soeharto, akhirnya diputuskan nama bandara baru itu Soeharto Saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun