Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

OOTKK*) Dua

20 Juni 2021   16:19 Diperbarui: 20 Juni 2021   16:27 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sang resepsionis ganti mengernyit jidat, "Anda Pak Yon, Maryono Supreme, kan? Ada yang bisa saya bantu? Bapak mau bertemu dokter Ana?"

"Saya tidak salah dengar, kan? Miss bicara pada saya?"

"Benar, Pak. Nah, apa yang bisa saya bantu?"

Maryono seperti bangun dari mimpi kejam. Dihapusnya keringat di jidat dengan punggung lengan, bukan sapu tangan sebagaimana harusnya. Wajahnya kelihatan runyam: senyum lega berpadu kernyit heran dan tatap mata hampa.

"Oh, maaf... tidak. Tidak apa-apa, permisi, maaf, saya baik-baik saja. Tidak perlu dokter. Maaf, terimakasih, permisi... mari, maaf, permisi."

Bola mata resepsionis cantik berputar, Maryono mundur, balik badan, bergegas meninggalkan klinik THT dokter Ana.

Mestinya tujuhbelas paragraf di atas ditulis ulang tiga kali karena kejadian sembilanpuluh persen sama dengan cerita dimaksud terulang tiga kali. Tapi belum pernah ada kan tulisan semacam itu yang disengaja? Kalau salah cetak memang ada juga.

Nah, kejadian Maryono Supreme (saat ini sudah berumur 66 tahun lebih sedikit) mendadak tuli dan mendadak sembuh yang ke tiga, ending-nya agak lain. Terakhir, dia tidak pulang ke rumah setelah membuat resepsionis cantik di klinik THT dokter Ana dicekam ketakutan. Maryono memutuskan mengambil konsultasi kejiwaan. Dan untuk keperluan itu dia pergi ke bandara Soeharto Saja**).

Tentu bukan di bandara Maryono berkonsultasi. Dari sana dia naik pesawat menuju Yogyakarta. Turun di bandara New Yogyakarta, dia naik taksi onlen menuju desa Turi di Sleman. Dari Turi, dia nyarter ojek pangkalan sampai di posko pendakian gunung Merapi. Dari posko, karena untuk sampai tujuan tidak ada jalan yang bisa dilalui kendaraan, Maryono mengandalkan sepasang sepatu merek Carterpilar yang dibelinya di bandara New Yogyakarta. Selain sepatu, Maryono berharap sisa nafas dan cairan pelumas di persendian lututnya masih ada cukup sisa untuk membawanya bertemu Eyang Mariyam, guru kebatinannya.

Hari tercatat sudah lewat ashar, udara lereng merapi mulai mendingin ketika sepasang burung prenjak yang sedang pacaran terheran-heran melihat laki-laki tua berbaju perlente naik gunung. Burung-burung itu tak sendirian, belakangan banyak juga yang bertanya bagaimana mungkin cerita ini bisa terjadi?

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun