Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Parahnya Kemacetan Samai 2019, Pemprov DKI Salah Paradigma?

6 Juli 2022   04:22 Diperbarui: 6 Juli 2022   07:24 2608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anggota TNI dan Polri melakukan penyekatan kendaraan saat PPKM Darurat di Jalan Raya Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin (5/7/2021). (KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO)

Data Indeks Lalu-Lintas Tomtom menunjukkan bahwa tingkat kemacetan rata-rata lalu-lintas Jakarta pada jam-jam sibuk pagi dan sore sejak awal Mei 2022 sudah sangat mendekati tingkat kemacetan rata-rata jam-jam puncak tahun 2019, atau masa sebelum pandemi.

Hal ini menunjukkan satu hal: Kebijakan transportasi di Jakarta sejak 2019 belum berhasil mengatasi kemacetan yang terjadi secara berarti.

Dengan kata lain, berkurangnya kemacetan yang terjadi selama masa pandemi tahun 2020 dan 2021 bukanlah hasil kebijakan transportasi di ibu kota, melainkan merupakan hasil kebijakan-kebijakan pembatasan pergerakan atau mobilitas terkait pandemi COVID-19.

Tingkat (indeks) kemacetan per-jam di Jakarta 29 juni - 5 Juli 2022 (sumber: TomTom traffic index)
Tingkat (indeks) kemacetan per-jam di Jakarta 29 juni - 5 Juli 2022 (sumber: TomTom traffic index)

Kecenderungan akan naiknya tingkat kemacetan di Jakarta ini tentu berisiko menggagalkan ambisi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 50 persen di bawah skenario dasar pada tahun 2030 sebagaimana ditetapkan dalam Pergub Provinsi DKI Jakarta nomor 90 tahun 2021.

Selain itu, bisa diduga juga bahwa naiknya tingkat kemacetan secara signifikan di ibu kota sejak awal Mei ini merupakan salah satu penyebab buruknya kualitas udara pada dua bulan terakhir ini sebagaimana ditunjukan oleh situs IQAirb.

Penelitian dengan data tahun 2018 dari tim Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan bahwa penggunaan kendaraan pribadi oleh warga Jakarta memainkan peran yang penting dalam menyebabkan kemacetan dengan tingkat yang tinggi di jam sibuk, pagi dan sore hari.

Adanya kecenderungan naiknya tingkat kemacetan di Jakarta seperti yang ditunjukan indikator Tomtom sejak awal Mei 2022 tentu membuat kita boleh bertanya:

Apakah merupakan warga DKI Jakarta belum beralih dari menggunakan mobil dan sepeda motor pribadi ke angkutan umum?

Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah.

Kesimpulan tidak dapat diambil tanpa dilakukannya survei atau studi tentang pemilihan moda angkutan sebelum dan sesudah serangkaian kebijakan terkait transportasi dan mobilitas dilakukan.

Satu hal yang pasti, dikotomi persaingan antara angkutan umum dan kendaraan pribadi di Jakarta berakhir dengan munculnya angkutan berbasis aplikasi daring atau transportasi online secara massif di Jakarta pada periode 2014-2015 seperti Grab dan Gojek baik itu sepeda motor (ojol) maupun mobil.

Studi dan survey yang dilakukan TU Berlin dan Universitas Graz, Austria bahkan menemukan bahwa pengguna transportasi online sepeda motor alias ojol di Jakarta menyedot tidak hanya para pengguna kendaraan pribadi tapi juga para pemakai angkutan umum.

Alih-alih terjadi peralihan dari kendaraan pribadi ke angkutan umum, apakah yang terjadi di DKI Jakarta adalah peralihan dari kendaraan pribadi ke transportasi online?

Sebuah tulisan yang terbit di The Conversation edisi Indonesia 27 Juni 2022 mengungkap beberapa cara yang bisa diempuh dalam waktu singkat untuk mengintegrasikan transportasi online dengan angkutan umum di Jakarta untuk mengurangi kemacetan dan mengatasi emisi.

Artikel tersebut mengusulkan untuk membuat tarif transportasi online yang naik secara progresif berdasarkan jarak tempuh dan memperkenalkan tarif yang murah untuk penggunaan taksi online (Grabcar, Gocar,...) secara berbagi dengan pengguna lain alias ride sharing.

Namun demikian, di atas segala pemecahan atau solusi pragmatis yang ditawarkan para peneliti dan pengamat, minimum ada empat perubahan cara pandang atau paradigma yang perlu dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam membuat kebijakan transportasi.

Pertama, tidak mengkategorikan transportasi online sebagai angkutan umum

Dalam berbagai diskusi dan perdebatan yang kita bisa baca di media, ada wacana untuk memasukan transportasi online dalam kategori angkutan umum.

Dalam aspek asal-tujuan perjalanan, dimensi kendaraan, manuver di jalan, maupun tingkat okupansi pemakaian, transportasi online sebenarnya nyaris sama saja dengan dengan sepeda motor atau mobil pribadi.

Dengan kata lain, transportasi online memiliki potensi yang sama dengan kendaraan pribadi dalam menyebabkan kemacetan.

Memasukan transportasi online dalam kategori angkutan umum dalam perencanaan transportasi Jakarta atau kota lainnya tentu akan menimbulkan kerancuan yang menyebabkan peralihan moda dari kendaraan pribadi ke angkutan umum yang sesungguhnya tidak terjadi dan kemacetan tak akan kunjung berkurang.

Kedua, menempatkan transportasi online sebagai mitra angkutan umum

Melihat karateristik perjalanan moda transportasi online dan angkutan umum sebagaimana diungkap berbagai hasil penelitian di atas, maka sangat logis jika transportasi online sebaiknya ditempatkan sebagai mitra angkutan umum. 

Dalam konteks ini, kebijakan harus dibuat  untuk meng-optimal-kan fungsi transportasi oine untuk memperbesar porsi perjalanan dengan angkutan umum. 

Moda transportasi online harus memiliki fungsi utama menjadi feeder atau pengumpan yang membawa para pelaku perjalanan dari atau ke halte atau stasiun atau terminal angkutan umum yang terdekat dari tempat tinggal atau tempatnya beraktifitas.

Ketiga, kendaraan listrik tidak berperan besar mengatasi emisi

Peningkatan emisi terjadi pada kemacetan yang disebabkan oleh naiknya jumlah percepatan dan perlambatan yang dilakukan para oleh pengemudi kendaraan bermotor yang terjebak situasi macet tersebut. 

Hal ini tidak hanya terjadi pada kendaraan dengan mesin BBM, yaitu tapi juga pada kendaraan listrik. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Rhode Island, Amerika Serikat, misalnya, menemukan bahwa konsumsi listrik oleh mobil listrik meningkat antara 4 sampai 5 persen pada kondisi macet.

Suatu studi yang dilakukan peneliti di Transport & Mobility Leuven, Belgia bahkan menemukan bahwa emisi partikulat dari pengereman, friksi ban kendaraan listrik tidaj jauh berbeda dengan yang dilepaskan mobil BBM keluaran terbaru.

Jelas bahwa elektrifikasi bukan solusi utama emisi. Kemacetan adalah persoalan inti yang harus dicarikan solusi.

Keempat, berhenti bermain "claim game"

Kecenderungan akan kembalinya situasi kemacetan di Jakarta seperti pada masa sebelum pandemi tentu merupakan sinyal kuat akan banyaknya pekerjaan rumah di sektor transportasi yang masih harus dikerjakan di ibu kota.

Tidak ada urgensinya untuk buru-buru meng-klaim bahwa turunnya peringkat kemacetan di Jakarta dari 10 besar pada 2019 menjadi peringkat 46 pada 2021 sebagai buah kebijakan transportasi yang sukses (Tempo, 1 Maret 2022, Detik, 11 Februari 2022, Sindonews, 12 Maret 2022).

Kenyataan dan data menunjukkan bahwa waktu tempuh rata-rata di jalan-jalan di DKI Jakarta pada jam-jam sibuk kembali naik sejak dua bulan terakhir dan bahkan nyaris menyamai situasi 2019.

Analisa data dan pencarian solusi secara ilmiah untuk merumuskan kebijakan pragmatis namun menyeluruh dalam waktu singkat hal yang saat ini sangat diperlukan untuk Jakarta.

Kerugian ekonomi yang timbul karena pemborosan BBM (yang harganya semakin melejit) dan dampak kesehatan dari memburuknya kualitas udara Jakarta adalah bom waktu yang harus segera dijinakkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun