Kesimpulan tidak dapat diambil tanpa dilakukannya survei atau studi tentang pemilihan moda angkutan sebelum dan sesudah serangkaian kebijakan terkait transportasi dan mobilitas dilakukan.
Satu hal yang pasti, dikotomi persaingan antara angkutan umum dan kendaraan pribadi di Jakarta berakhir dengan munculnya angkutan berbasis aplikasi daring atau transportasi online secara massif di Jakarta pada periode 2014-2015 seperti Grab dan Gojek baik itu sepeda motor (ojol) maupun mobil.
Studi dan survey yang dilakukan TU Berlin dan Universitas Graz, Austria bahkan menemukan bahwa pengguna transportasi online sepeda motor alias ojol di Jakarta menyedot tidak hanya para pengguna kendaraan pribadi tapi juga para pemakai angkutan umum.
Alih-alih terjadi peralihan dari kendaraan pribadi ke angkutan umum, apakah yang terjadi di DKI Jakarta adalah peralihan dari kendaraan pribadi ke transportasi online?
Sebuah tulisan yang terbit di The Conversation edisi Indonesia 27 Juni 2022 mengungkap beberapa cara yang bisa diempuh dalam waktu singkat untuk mengintegrasikan transportasi online dengan angkutan umum di Jakarta untuk mengurangi kemacetan dan mengatasi emisi.
Artikel tersebut mengusulkan untuk membuat tarif transportasi online yang naik secara progresif berdasarkan jarak tempuh dan memperkenalkan tarif yang murah untuk penggunaan taksi online (Grabcar, Gocar,...) secara berbagi dengan pengguna lain alias ride sharing.
Namun demikian, di atas segala pemecahan atau solusi pragmatis yang ditawarkan para peneliti dan pengamat, minimum ada empat perubahan cara pandang atau paradigma yang perlu dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam membuat kebijakan transportasi.
Pertama, tidak mengkategorikan transportasi online sebagai angkutan umum
Dalam berbagai diskusi dan perdebatan yang kita bisa baca di media, ada wacana untuk memasukan transportasi online dalam kategori angkutan umum.
Dalam aspek asal-tujuan perjalanan, dimensi kendaraan, manuver di jalan, maupun tingkat okupansi pemakaian, transportasi online sebenarnya nyaris sama saja dengan dengan sepeda motor atau mobil pribadi.
Dengan kata lain, transportasi online memiliki potensi yang sama dengan kendaraan pribadi dalam menyebabkan kemacetan.
Memasukan transportasi online dalam kategori angkutan umum dalam perencanaan transportasi Jakarta atau kota lainnya tentu akan menimbulkan kerancuan yang menyebabkan peralihan moda dari kendaraan pribadi ke angkutan umum yang sesungguhnya tidak terjadi dan kemacetan tak akan kunjung berkurang.