Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bukan Childfree, Ayah-Ayah Ini Pilih Family-Free

11 September 2021   14:11 Diperbarui: 13 Februari 2023   12:29 1368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kedekatan ayah dengan anaknya. Sumber: Evgenyatamanenko via Kompas.com

Bukan rahasia lagi bahwa perkara peranan, kewajiban, dan hak merupakan satu aspek yang sering membawa pertengkaran terutama di keluarga-keluarga muda yang masih mencari pola kerja-sama yang optimal antara suami dan istri. 

Psikolog Ajeng Raviando (Kompas 13 Mei 2018) misalnya mengungkapkan bahwa 5 tahun pertama pernikahan adalah masa yang rentan, waktunya untuk menerima pasangan seperti apa adanya dan saling menyesuaikan.

Sangat menyedihkan bahwa di berbagai media sosial maupun media arus utama, kita dapat membaca bagaimana beberapa pasangan pesohor akhirnya memilih untuk mengakhiri hidup berumah tangga alias bercerai karena gagal menemukan pola kerja-sama yang optimal tersebut. "Ketidakcocokan", "ada perbedaan prinsip" adalah salah dua dari berbagai cliches yang diungkapkan karena kegagalan tersebut.

Dampak kedua, jangka panjang adalah efek bagi anak-anak dari absennya figur seorang ayah dalam keluarga.

Psikolog Perancis Marc-Elie Huon (1984), menyoroti absennya seorang ayah dalam keluarga sering menyebabkan seorang anak tidak mampu menemukan batasan-batasan norma yang diperlukannya untuk tumbuh berkembang. 

Lewat hadirnya ayah secara fisik dan emosionil, seorang anak seharusnya memiliki pedoman dan norma-norma hidup yang membuatnya belajar bertanggung jawab karena bisa melihat dan menimbang segala akibat dari tindak-tanduknya.

Lebih lanjut Huon menyatakan bahwa "ayah yang hadir" seharusnya membantu anak-anak untuk mampu menyatakan kebutuhannya untuk disayang atau diperhatikan. 

Di masa remaja, kemampuan ini akan mengurangi kecenderungan sang anak untuk membangkang, bertindak nekat atau mengalami masalah dalam memahami identitas seksualnya. 

Hal yang terakhir, masalah pemahaman identitas seksual berpotensi menggiring anak pada ekstrim-ekstrim perilaku seksual di masa dewasanya seperti pandangan merendahkan atau perilaku kasar pada lawan jenis, homoseksualitas, maupun homofobia.

Pemahaman dan pandangan sosial-budaya maupun  (pseudo) agama yang salah tidak pelak lagi adalah penyebab utama terbentuknya ayah-ayah atau suami-suami yang bersikap  "family free" atau "household free".

Pemahaman dan pandangan keliru tersebut muncul umumnya di masa lalu saat peran istri atau ibu terasosiasi erat dengan emosi, kelembutan dan segala hal yang terkait kasih sayang sementara peran ayah atau suami terhubung erat dengan segala hal yang bersifat profesional, intelektual dan aktifitas fisik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun