Mohon tunggu...
Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - pendiri komunitas Seniman NU
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis opini di lebih dari 100 media berkurasi. Sapa saya di Instagram: @Joko_Yuliyanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Eksklusivisme NU dalam Bingkai Kebhinekaan

11 Desember 2020   07:55 Diperbarui: 11 Desember 2020   07:59 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: hops.id

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, bahkan dunia, selalu menarik untuk diperbincangkan sepak terjangnya. Selain turut serta berjuang memerdekakan Indonesia dari serangkaian penjajahan kolonial, NU juga istikamah menjaga bingkai kebhinekaan dengan narasi sikap moderatnya.

Demikian yang menjadikan banyak politisi selalu berupaya merangkul NU dalam setiap kontenstasi politik dan pengambilan kebijakan. Patut diakui bahwa organisasi yang didirikan Hadratusyekh KH. Hasyim Asy'ari ini mempunyai peranan besar dalam pembangunan SDM di Indonesia. Kekuatan NU bukan hanya dari segi kuantitas, namun banyak pula dari kalangan cendikiawan muslim yang tersebar di berbagai bidang keilmuan.

Awal tahun lalu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA mencatat bahwa 49,5 % penduduk Indonesia adalah nahdliyin. Disusul Muhammadiyah sebesar 4,3%, Ormas Lain sebesar 1,3%, PA 212 sebesar 0,7%, dan FPI 0,4%. Sedangkan yang memilih untuk tidak terikat pada organisasi Islam sebesar 43,8%. Mungkin prosentase NU bisa jauh lebih tinggi lagi kalau aspek kultural dijadikan acuan menentukan pilihan organisasi.

Dalam menjalankan konsep organisasinya, NU selalu memegang 4 prinsip utama, yakni; tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), i'tidal (adil), dan tasamuh (toleran). Namun di antaranya kurang memahami dalam pengaplikasikan prinsip tersebut. Apalagi ketika agama sudah dipolitisasikan dalam ruang-ruang publik. Banyak nahdliyin terjebak pada perdebatan dan "peperangan non-verbal" di media sosial.

Toleransi yang Tidak Toleran

Ada pengertian mendasar tentang toleran; sifat atau sikap, batas, dan penyimpangan yang masih bisa diterima. Menjadi ambigu ketika penerimaan terhadap penyimpangan dinilai secara subjektif, sehingga batas toleransi satu dengan yang lain berbeda-beda. Toleransi bukan hanya tentang sikap menghargai keyakinan orang lain, tapi lebih kompleks, yakni bisa menghargai pendapat orang lain.

Mempertahankan dakwah Walisongo dengan metode sinkretisme agama dan budaya, membuat NU banyak diminati kaum abangan. Kemudian muncul Islam puritan dengan membawa sikap eksklusif dalam berdakwah, membuat NU menjadi sasaran cibiran dan hujatan kaum tekstualis. Mulai dari menyalahkan metode ibadah, membenturkan sesama tokoh, hingga disangkutpautkan politik praktis.

Sikap toleransi NU kembali diuji saat menghadapi berbagai situasi dan kondisi yang memaksanya untuk meninggalkan prinsip-prinsip toleran. Bagaimana tetap bisa konsisten menjadi "wasit" yang adil: tidak memihak satu dengan yang lain. Ketika wejangan Gus Dur sebagai tokoh populer NU yang mengajarkan untuk melindungi kaum minoritas dari tekanan dan ancaman mayoritas. Di sisi lain, NU sendiri menjadi ormas mayoritas dari jumlah muslim di Indonesia.

Sikap tebang pilih dalam melindungi kaum minoritas harusnya menjadi PR Nahdlatul Ulama. Bukan hanya yang berbeda keyakinan, namun kepada mereka yang berbeda mazhab dan pilihan politik. Jika NU dianalogikan sebagai rumah, seharusnya ia bisa mengayomi semuanya, tanpa harus mengusir salah satu dari anggota keluarganya yang berbeda cara pandang.

Toleransi NU harusnya melonggarkan batas dan menerima segala penyimpangan (selama tidak menimbulkan sikap destruktif sosial). Nahdliyin harus siap dimusuhi, dihina, dicaci, difitnah, sebagai risiko organisasi yang kekeuh menjaga NKRI. Jangan malah menodai prinsip toleransi dengan perilaku intoleransi: menghina, mencaci, mengumpat mereka yang tidak sejalan dengan prinsip NU. Toleransi bukan berarti memaksa individu atau kelompok untuk sependapat dalam menentukan pilihan. Toleransi adalah sikap untuk menerima dan menghargai perbedaan, meskipun itu menyakitkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun