Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sesuatu yang Ditakutkan dalam Pikiran dalam Kehidupan Nyata Sebagian Besar Tidak Pernah Terjadi

11 Februari 2020   19:31 Diperbarui: 12 Februari 2020   14:30 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Keputusan untuk membawa istri dan bayi kecilku ke Solo sudah final. Tetapi hati kecilku merasa ragu. Ragu karena kondisi keuanganku saat ini. Bagaimana kami bisa menyabung hidup di sana dengan gaji kecil yang separuh dari jumlah itu akan dipotong setiap bulan untuk angsuran KPR?

Ketika aku diliputi perasaan pesimis yang paradoks antara tiga keberkahan yang datang beruntun berupa rumah baru, bayi cantik dan berhasil lolos dalam seleksi CS yang kontroversial  dengan bayangan suram kesulitan hidup di Solo kelak, orang-terdekatku justru kebalikannya. Mereka menyambutnya dengan terharu, bangga dan penuh harap.

Yayan Hadiana yang tempo hari merasa tertolong sekali karena peristiwa num lock yang terkunci, ia bilang kepadaku untuk jangan melupakannya. Abidin -kasir baru, ia berharap dengan sangat, kelak bisa dibantu dimutasikan ke Kuningan. Emak dan Bapak -ayah dan ibuku bangga dengan promosiku dan berharap aku menjadi orang besar.

Pagi masih gelap saat mobil minibus Mitsubisi L300 yang dicarter berangkat ke Solo itu tiba diparkir di halaman rumahku. Istriku sedang mengemasi perlengkapan dapur yang mungkin bisa dibawa. Aku sedang mengikat koper dengan tali rapia. Bayi kecilku terlelap, belum bangun.

"Sayang sekali rumah sebesar itu, ditinggalkan ya," kata Pak Abduh, -tetangga, kawan meronda. Ia datang mengantar di depan rumahku, saat aku sedang mengangkuti koper ke dalam bagasi mobil.

Di dalam mobil ayah duduk di depan di samping Pak Supir. Adik istriku dua orang duduk di jok paling belakang berdesakan dengan tas besar berisi popok, gurita, sepatu bayi dan tas kecil berisi susu dan perlengkapan makan dan minum bayi. Di kursi tengah aku dan istriku dan emak yang mengapit bayi yang digendong istriku. 

Sejak masuk ke dalam mobil bayi kecilku tampak gembira. Tangan dan kakinya tak henti-hantinya bergerak menghentak-hentak ke atas ke bawah. Ini adalah perjalanan terjauh yang dialaminya. Di sepanjang perjalanan sejak berangkat, mulut mungilnya tak berhenti mengoceh macam burung kutilang, hanya berhenti saat menetek.

"Ta-ta-ta, tata. Ta-ta-ta, ta!" katanya, menggemaskan.

Kecapaian mengoceh ia tertidur pulas.

Di Kebumen di Rumah Makan Tasik, Mitsubishi L300 berhenti untuk beristirahat, makan siang dan menumpang shalat. Istriku menggunakan kesempatan untuk pertama-tama mengganti popok bayi, mengelap tubuhnya yang berkeringat, menaburi bedak talek dan mengolesi tangan, kaki, punggung dan perutnya dengan minyak telon. 

Istriku menidurkan bayi kecilku di atas kasur kecil yang dibawa dari Cirebon kemudian meletakannya di atas meja makan yang tidak digunakan. Diperlakukan dengan begitu, ia tidak tidur. Tangan dan kakinya menghentak-hentak, mulutnya mengoceh.

"Ta-ta, ta-ta-ta. Ta-ta-ta, tata!"

Semua yang sedang makan menengok ke arah bayi, memanjangkan leher dan menahan makanan di kerongkongan. Aku terharu menyaksikannya.

Sampai di Solo di halaman rumah Pak Harto dan Ibu Henny -istri Pak Harto, pemilik kos di Laweyan, hari mulai gelap. Melihatku turun dari mobil Pak Harto menghampiri.

"Waaahh, ini bayinya to?" tanya Pak Harto sambil mendekati istriku yang menggendong bayi.

Istriku mengangguk takzim. Putri bayi kecilku sudah terbangun sejak mobil berhenti di halaman rumah itu. Kepalanya melongok-longok seperti mencari-cari bunga kenanga kuning yang seminggu yang lalu bermekaran di halaman rumah sederhanaku di Cirebon. Bu Henny yang belakangan tahu langsung menghampiri istriku kemudian mencolek pipi bayi mungilku yang montok.

"Iih, someh ya?" kata Bu Henny sambil memperhatikan bayiku yang tergelak menunjukkan lesung pipit di pipinya.

Hari itu hari libur, hampir semua penghuni kos sedang berada di kamarnya masing-masing. Mendengar ribut-ribut di luar, semuanya keluar. Semuanya meyambut kami dengan sumringah, berebut ingin menggendong bayi kecilku.

Saya terharu menyaksikannya. Rasanya bukan aku yang pindah ke Solo. Sore ini aku seperti habis mengantar Putri, bayi kecilku untuk tinggal di Solo dalam sementara waktu. Sambutan pemilik rumah kos dan seluruh penghuninya begitu hangat. Kamar kecil tak berjendela yang beratap seng, kamar kos kami sore itu serasa lapang dan nyaman. Hari sudah gelap aku segera mengajak istriku untuk memboyong bayiku masuk ke dalam kamar.

Hari-hari dipenuhi keceriaan. Putri tidak sendiri rupanya. Pemain sepak bola dan pegawai ekspedisi yang membawa keluarga, rupanya sama-sama punya bayi yang sebaya dengan Putri bayi kecilku itu. 

Pagi-pagi selepas mengantarku ke pintu gerbang di halaman utama Putri melambaikan tangan dengan menggoyang-goyang kedua lengannya sambil bilang da-da, da-da. Sehabis itu ia berjemur bertiga dengan kawan-kawan bayinya, di depan pintu kamar kos.

Hari ini sudah 9 bulan usianya. Tingkah lakunya semakin nyenengke, menggemaskan. Di Solo aku lebih sibuk dan bersemangat membesarkan putriku daripada aktivitasku dalam program on the job training di Kantor Cabang BRI Solo, Sudirman. 

Malam ini ketika aku baru sampai di kamar kos ia menunjukkan keterampilannya, berdiri dengan kaki sendiri. Ia duduk di tempat tidur, kemudian berjongkok dan dengan pelan-pelan dengan gerakan mengangkat tangan ia mulai berdiri dengan kaki gemetar. Hanya beberapa detik, kemudian duduk kembali. Ia terkekeh. Aku terharu, melihatnya.

Paginya ketika aku bangun untuk shalat subuh, tak terdengar celotehnya. Biasanya, ia berkicau macam burung kutilang membuat semua penghuni rumah kos itu terbangun. Ia demam, bisik istriku sambil menyiapkan air untuk mengompres keningnya dengan handuk kecil.

Kutengok wajahnya, ia diam. Matanya terpejam. Keningnya kuraba, hangat. Nak, kenapa diam? Menangislah kuat kalau sakit.

Aku panik dibuatnya. Tidak pernah sepanik ini sebelumnya. Biasanya kalau ia diare, atau masuk angin istriku sudah terampil menanganinya. Segera aku ke luar menuju ke boks telepon koin di pinggir jalan di halaman SMA negeri, tak jauh dari rumah kos. Aku mengabari teman di kantor untuk memintakan ijin bahwa aku akan sedikit terlambat sekembali dari klinik memeriksakan Putri, bayiku.

Dokter memberinya sirup penurun panas untuk diminumkannya tiga kali dalan sehari. Dalam beberapa kali bayi malangku menolak meminumnya. Istriku dengan telaten dan sabar tak henti berusaha membujuknya.

Setelah 3 hari demamnya reda, menjelang subuh bibirnya yang mungil mulai mengoceh lagi. Menjelang tidur sudah mencoba kembali belajar berdiri. Aku gembira, tak sabar ingin menantikannya segera besar, aku ingin membawanya ke GOR Manahan pada hari libur untuk berlari mengelilingi lapangan sepak bola.

Pada hari libur, saat sudah betul-betul pulih aku menggendong putri kecilku -menggantikan istriku, bermain di halaman depan. Kuajak melihat-lihat capung yang banyak beterbangan dan hinggap di rumput.

"Aduuh sudah sembuh ya? Biasa, anak-anak seperti begitu. Mau pandai," kata Bu Henny menghibur.

Aku mengangguk.

"Bawa ke Taman Sriwedari sana, biar terhibur."

Di belakang Taman Sriwedari di lahan seluas lapangan bola voly berdiri menjulang, tenda tidak permanen. Di bagian dalamnya, bersusun bangku kayu melingkar bersusun sampai ke atas. Di seberang bangku-bangku itu berdiri panggung beralas plastik warna gelap yang ditengahnya terdapat kolam kecil.

Aku bersama istri yang menggendong putri kecilku masuk ke dalam tenda itu setelah memegang tiket. Di dalam lebih dari separuh bangku sudah terisi, sebagian besar anak balita. Kami duduk di bangku yang kosong, agak di depan tidak jauh dari panggung. Dari spiker di atas panggung suara laki-laki tak henti-henti menawarkan pengunjung taman untuk segera masuk ke tenda pertunjukan. Tak lama lagi pertujukan akan di mulai, katanya.

Ketika waktunya tiba, seorang laki-lagi muda keluar dari balik panggung. Tepuk tangan bergemuruh di dalam tenda besar itu. Tak lama kemudian kaki-laki itu memanggil sepasang linsang ke atas panggung.

Sepasang hewan linsang itu seperti jinak sekali, mengerti dengan perintah laki-laki pemandu itu. Berjalan megal-megol ke tengah, tiba-tiba keduanya berdiri dengan sigap -lebih sigap daripada putri kecilku yang baru belajar berdiri, kemudian membungkuk macam memberi hormat. Tepuk tangan bergemuruh.

Setiap selesai satu atraksi, laki-laki pemandu memberi sepasang linsang itu makanan yang diambilnya dari kantung yang diikat dipinggangnya. Bersamaan dengan itu tepuk tangan penonton bergemuruh. Kulihat putri kecilku ikut bertepuk tangan, meskipun tidak berbunyi. Kakinya yang menggantung di bawah bangku menghentak-hentak. Kelihatannya sangat gembira. Aku terharu.

Satu ekor linsang menaiki sepeda-sepedaan dari kayu, satu ekor lagi mendorongnya dari belakang. Di akhir atraksi, linsang yang di belakang mendorong sepeda itu hingga tercebur ke kolam. Tepuk tangan bergemuruh. Putri kecilku, tampak tertawa terkekeh-kekeh. Berikutnya kedua ekor linsang itu mendorong gerobak kecil. 

Dari pengeras suara, dikatakan bahwa sepasang linsang itu sedang berjualan bakso. Lagu "Abang Tukang Bakso" pun berkumandang. Lagi-lagi gerobak itu berakhir dengan didorong sampai tercebur ke kolam. Tepuk tangan bergemeruh, putri kecilku tertawa terpingkal-pingkal sampai terbatuk-batuk. Ia tak henti tertawa sampai selesai pertunjukan. Aku terharu menyaksikannya.

Pulang menumpang becak. Sebelum sampai rumah kos mampir membeli bubur jenang. Kenyang makan bubur, putri kecilku tertidur pulas. Bahagia sekali tampaknya. Aku terharu.

Dari putri kecilku, aku banyak belajar. Kebahagiaan bukan sesuatu yang harus dicari, melainkan cukup dirasakan. Sudah hampir setahun tinggal di Solo dengan banyak keterbatasan, ternyata tidaklah sesuram yang dibayangkan sebelumnya. Kawan, percayalah sesuatu yang ditakutkan dalam pikiran, dalam kehidupan nyata sebagian besar tidak pernah terjadi.

#salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun