Seperti biasa aku ditemani Mas Abung -kasir, di sebelahku yang sedang asyik menghitung uang kas sebelum disetorkan kepada kepala unit. Untuk membunuh sepi Mas Abung menyalakan radio transistor yang sedang menyiarkan sandiwara radio, Tarling Baridin.
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari luar. Ketika leherku memanjang kulihat dua perempuan dengan satu payung berdiri di depan pintu. Aku segera mendekati dan membuka pintu.
Keduanya bergincu tebal memakai baju "lekton" -tampak ketiak, maaf dan mengenakan celana pendek. Ini mesti perempuan Jakartaan, pikirku. Usianya yang satu kira-kira 20 tahunan sedang lainnya mungkin 15-an atau kurang.
Setelah keduanya berada di dalam yang usia 20-an menyebut namaku, kawan satunya lagi tersenyum padaku. Aku kaget bagaimana mereka bisa mengenalku?
Belum sempat aku bertanya lebih jauh, yang lebih muda menyodorkan kertas putih yang sudah dilipat-lipat. Rupanya kertas bon penjualan minuman. Dari lipatan kertas itu kutemukan selembar kartu nama. Kartu namaku.
Aku mengerti maksudnya. Rupanya pada malam perggantian tahun Lamijan berpesta minum-minum bersama kawan-kawannya di rumah perempuan itu yang belakangan mereka mengaku kakak beradik itu. Mereka sengaja membawa minuman keras itu dari Jakarta sebagai oleh-oleh yang dijual untuk pemuda kampung. Setelah bangkit dari mabuk Lamijan hanya meninggalkan kartu nama.
Tak kurang dari separuh gaji sebulan yang terpaksa kubayarkan. Lamijan yang tidak tampak sore itu memang sedang menjalani cuti selama 3 hari, pulang ke Indramayu. Aku jadi teringat dengan kata-kata orang bijak. Segala sesuatu yang kita berikan kepada orang lain, niscaya akan kembali kepada kita (lagi). Sore ini sudah terbukti, kartu nama yang diberikan kepada Lamijan akhirnya kembali kepadaku, meskipun melalui tangan yang berbeda.
Salam