Kali kedua datang ke museum, membuat kami sudah dikenal beberapa petugas yang memilih untuk tidak memandu karena tugas itu sudah ditunaikan dalam kunjungan perdana.Â
Kesempatan itu membuat saya lebih leluasa untuk melatih diri bagaimana cara memandu anak-anak.
Saat memasuki museum Provinsi, NTT di kota Kupang, pengunjung akan langsung disuguhi oleh fosil yang nyaris lengkap dari homo Floresiensis, atau lebih dikenal sebagai manusia Hobbit, manusia kerdil dari Liang Bua Manggarai.
Penemuan fosil manusia purba di situs Liang Bua, Flores tahun 2003, menjadi temuan spektakuler sekaligus menggemparkan dunia Arkeolog dan ilmu pengetahuan (Misteri Manusia Kerdil dari Flores, Kompas.com, 26 Februari 2013).Â
Temuan ini sekaligus memantapkan posisi penting sejumlah arkeolog Indonesia di mata dunia. Salah satunya peneliti dan arkeolog  bernama Rokus Due Awe, asal Bajawa, Flores, NTT. Foto beliau di pajang tepat pada spot masuk museum tentang manusia Hobbit ini.
Display museum di bagian depan ini bagi saya punya makna tersendiri. Secara tersirat spot pertama menggambarkan sebuah narasi politis.Â
Narasi tentang pentingnya cerita penggalian dan penemuan Homo Floresiensis untuk dunia pengetahuan secara umum dan  museum provinsi NTT secara khusus.Â
Di sana sumbangan kerja arkeolog Indonesia di NTT membantu melengkapi cerita besar. Sebuah alternatif jawaban atas teka-teki masyur dan filosofis sekaligus universal tentang dari mana asal manusia?
Tafsiran yang muncul di kepala saya saat itu antara lain, kemungkinan para pengelola museum hendak mengatakan bahwa museum ini adalah kerja para arkeolog serta peneliti dari NTT untuk Indonesia dan seluruh masyarakat dunia.
Saat mengagumi kerja intelektual para arkeolog di spot paling depan ini, tiba-tiba kami dikejutkan oleh pertanyaan Javier kecil.Â
"Foto gumpalan apa yang ada di atas itu Om Marno?" Celetuk Javier antusias sambil menunjuk foto deretan perbandingan penampang otak Homo Floresiensis dan penampang otak manusia modern.Â