Afrika Selatan, tahun 2019, di sebuah kota yang dibelah oleh sungai. Kedua belahan kota itu seperti dua dunia yang bertaut dengan pertarungan kehidupan masing-masing.
Di belahan utara, menara-menara baja menjulang, memancarkan kilauan emas di bawah matahari. Di sana, air sungai mengalir melalui pipa-pipa yang dibungkus label perusahaan multinasional yang bermarkas di Paris, Prancis. Setiap tetesnya berharga, setiap teguknya terukur. "Efisiensi!" seru para pemegang saham. Sementara tagihan rekening air membengkak 300% di gubuk-gubuk kumuh. Seorang ibu menggedor pintu kantor perusahaan, tangannya menggenggam kertas tagihan yang basah oleh air mata. Sambungan air ke rumahnya diputus karena tidak mampu membayar tagihan bulan ini. "Air adalah hak, bukan komoditas," bisiknya. Tapi suaranya tenggelam dalam deru mesin pemroses air. Â
Di belahan selatan, air sungai mengalir melalui pipa-pipa tua yang dikelola pemerintah setempat. Tak selalu lancar, kadang tersendat oleh birokrasi dan anggaran yang sempit. Tapi di balik dinding balai kota, rakyat berkumpul. Mereka menghitung ulang setiap koin yang dikumpulkan untuk memperbaiki saluran. "Air adalah milik bersama," teriak seorang pemuda, tangannya memegang palu godam saat warga bergiliran memperbaiki pipa yang bocor. Di sana, seorang anak kecil meminum air dari kran umum tanpa takut ayahnya kehilangan upah sebulan. Â
Privatisasi, atau swastanisasi, menyerahkan pengelolaan air kepada swasta, menggemakan janji teknologi mutakhir, investasi tanpa batas, dan air yang "murni". Tapi di baliknya, tersembunyi rantai tak kasatmata. Tarif melambung, akses dibatasi, dan mata air desa dikapitalisasi oleh perusahaan yang menjadikan hajat hidup orang banyak sebagai portofolio keuangan. Sungai-sungai dipagari, sumur-sumur dipatenkan. "Ini kemajuan," kata mereka, sementara masyarakat miskin mengais embun pagi untuk bertahan hidup. Swasta ini umumnya perusahaan multinasional bermodal gedhe, bukan swasta nasional.
Remunisipalisasi, dari kata "municipal" atau dikelola oleh pemerintsh kota dan kabupaten, merebut pengelolaan air dari swasta adalah perlawanan. Ia mungkin tak sempurna---sering dihantui inefisiensi dan politik yang korup, tapi ia berusaha mengembalikan air ke pangkuan publik. Di kota-kota seperti Paris atau Jakarta, gerakan ini mengalir deras: mengambil kembali kendali, mengubah labirin birokrasi menjadi dewan partisipatif. Air menjadi milik bersama lagi, diurus oleh mereka yang meminumnya. Bukan tanpa masalah, tapi setidaknya, tak ada lagi bayi yang kehausan karena orang tuanya tak mampu membeli "kemewahan" dasar itu. Â
Perdebatan privatisasi melawan remunisipalisasi ini adalah pertarungan antara dua filsafat. Privatisasi melihat air sebagai angka di laporan keuangan, sementara remunisipalisasi menjadikan air mengalir sebagai denyut nadi kehidupan. Di tengahnya, manusia terjepit, antara harga yang harus dibayar dan hak yang harus diperjuangkan. Mungkin jawabannya tak hitam-putih. Mungkin kita perlu merajut jalan ketiga, di mana transparansi berjabat tangan dengan inovasi, di mana keadilan sosial bukan ilusi, dan air mengalir untuk semua, bukan untuk segelintir orang kaya. Â
Sebab, air tak pernah memilih untuk menjadi komoditas. Ia adalah ritme bumi, cermin langit, dan nadi yang menghidupi setiap makhluk. Ketika kita menjualnya, kita mungkin sedang menggadaikan jiwa peradaban itu sendiri.
Artikel Pengelolaan Air Terkait:
Air: Sumber Penghidupan Yang Sedang Dalam BahayaÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI