Air tawar, esensial bagi kehidupan di Bumi, tidak dapat digantikan keberadaannya oleh apapun. Meskipun volume total air di Bumi konstan, distribusinya tidak merata. Sekitar 97% air adalah air asin, dan hanya 3% adalah air tawar yang krusial bagi kehidupan darat. Air tawar ini pun sebagian besar terperangkap dalam bentuk es dan air tanah, menyisakan sedikit sebagai air permukaan. Pertumbuhan populasi, pembangunan yang tidak ramah lingkungan, dan kesalahan pengelolaan air telah memicu krisis air global, mengancam ekosistem, ekonomi, dan nyawa miliaran jiwa. Tren privatisasi air kemudian datang memperparah krisis ini. Tindakan segera konservativ air dan perlawanan terhadap privatisasi air sangat dibutuhkan.
Perubahan Iklim dan Keserakahan
Menurut World Resources Institute (2023), 25% populasi global, sekitar 2 miliar orang, tinggal di wilayah dengan tingkat "stres air ekstrem", di mana permintaan air melebihi ketersediaannya. Sementara itu, laporan PBB (2022) menyebutkan bahwa 2,2 miliar orang tidak memiliki akses ke air minum yang aman, dan 4,2 miliar hidup tanpa sanitasi layak. Di daerah kering seperti Timur Tengah dan Afrika Utara, lebih dari 80% wilayah mengalami kelangkaan air parah akibat iklim kering dan pertumbuhan populasi yang cepat. Â
Perubahan iklim memperburuk siklus hidrologi. Pola curah hujan yang tidak menentu, pencairan gletser, dan kekeringan ekstrem, seperti yang melanda Tanduk Afrika (2020--2023), telah mengurangi pasokan air tawar. Di sisi lain, eksploitasi berlebihan untuk pertanian (70% penggunaan air global), industri, dan rumah tangga mempercepat penipisan sumber daya. FAO memprediksi bahwa permintaan air global akan melampaui pasokan sebesar 40% pada 2030 jika tidak ada perubahan kebijakan. Â
Contoh nyata terjadi di India, di mana 70% sumber air tanah terkontaminasi atau mengalami over-ekstraksi. Sungai-sungai besar seperti Gangga dan Indus terancam mengering, sementara kota-kota seperti Chennai dan Bengaluru pernah hampir kehabisan air bersih. Â
Krisis air memicu efek domino, 1,4 juta orang meninggal setiap tahun akibat penyakit terkait air kotor (WHO, 2023), sementara anak-anak di daerah miskin kehilangan waktu sekolah karena harus mengantre air. Sektor pertanian, penopang ekonomi negara berkembang, terancam gagal panen. Bank Dunia memperkirakan, wilayah dengan kelangkaan air parah bisa kehilangan 6% PDB mereka pada 2050 akibat penurunan produktivitas. Â
Konflik sosial juga meningkat. Di Afrika Sub-Sahara, persaingan air antar komunitas dan migrasi paksa menjadi pemandangan biasa. Bahkan di negara maju seperti AS, kekeringan di California (2021--2023) memicu kebakaran hutan dan kerugian miliaran dolar. Â
Solusi Teknis
Solusi inovatif mulai bermunculan. Teknologi seperti desalinasi (Israel memenuhi 70% air minum dari laut), daur ulang air limbah, dan irigasi presisi (drip irrigation) membantu mengurangi pemborosan. Kebijakan seperti pajak air berkelanjutan di Singapura dan restorasi sungai di Eropa (contohnya. Sungai Rhine) membuktikan bahwa kolaborasi multidisiplin bisa membalikkan tren. Â
Namun, upaya global masih tertinggal. Hanya 0,5% dari total air di Bumi yang bisa diakses sebagai air tawar, dan kita kehilangan 70% lahan basah alami dalam 100 tahun terakhir. Untuk memenuhi target SDG 2030 (akses air untuk semua), investasi infrastruktur air perlu ditingkatkan 3x lipat menjadi $1,7 triliun per tahun (PBB). Â
Krisis air bukan hanya masalah teknis, melainkan ujian bagi kemanusiaan. Setiap tetes air yang terbuang, kebijakan yang tidak pro-lingkungan, atau pembiaran polusi, mempercepat bencana ini. Diperlukan kesadaran global bahwa air adalah hak asasi, bukan komoditas. Dari individu yang menghemat air hingga pemerintah yang mengatur tata kelola sumber daya, semua pihak harus bergerak, sebelum "Day Zero" (hari ketika air keran habis), seperti yang hampir dialami Cape Town (2018), menjadi kenyataan di lebih banyak kota. Â