Mohon tunggu...
Djodi Sambodo
Djodi Sambodo Mohon Tunggu... Penulis - Writing is for fun.

Just imagine one day meet Forrest Gum and run together...keep goin' run.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cerpen) Obat Murah Itu Adalah Odong-Odong

23 Februari 2013   18:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:49 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13616424892064755083

Kecemasan Susi makin memuncak, anak balita semata wayangnya tak kunjung reda panasnya. Ia kuatir bila makin meningkat, maka Tempra harus segera diberikannya. Keadaan yang lebih mencemaskan lagi adalah belum makan dan minum susunya. Sudah disuapkan bubur tapi selalu dimuntahkan setiap masuk ke mulut anak perempuan tiga tahun itu. Susi hanya bisa termenung dan menggerakkan bibirnya seperti mengucapkan sesuatu, Wajah almarhum ibunya kembali terbayang. Senyum damai itu menurunkan cemas, mengembalikan pikiran jernihnya.

 

Selalu mengisi hati dengan namaNya di kala gundah maka ketenangan akan selalu menghampirinya. Ketenangan itu bisa hadir dari senyum ibunya, yang tiba-tiba muncul begitu saja dan mengingatkannya untuk bergerak cepat mengambil air hangat dan meletakkan kompres pada kedua ketiak anaknya yang tertidur pulas. Punggung telapak tangan Susi merasakan panas di leher anaknya menurun. Untuk lebih meyakinkan lagi dimasukkan thermometer ke mulutnya. Angkanya masih di bawah 38 0C. Tiba-tiba dering HP-nya berbunyi, mengalahkan suara hujan yang sejak tiga hari ini tidak pernah berhenti. Perumahan yang lebih rendah sudah direndam banjir setinggi mata kaki.

 

Nomor sahabatnya, Nungki muncul, “Sus, kamu harus bersiap-siap. Air makin tinggi dan tanggul sungai retak sebagian. Kalau sore ini hujan tidak berhenti rumahku akan terendam selutut dan air akan menuju rumahmu.”

 

“Dina, masih panas, Nung. Dia tidak mau makan sejak pagi tadi.”

 

“Aku heran, Sus. Sebelum hujan itu Dina begitu ceria dan banyak makan. Beda banget dengan Heru.”

 

“Iya, Nung. Dina selalu minta disuapin walau mulutnya masih penuh. Bahkan suapan untuk Heru direbutnya,” Senyum Susi terkembangmenepis sedikit sedihnya mengingat kala anaknya masih sehat.

 

“Mang Dudung, tidak kelihatan selama hujan turun ini. Heru selalu merengek ke tempat biasanya mangkal. Jangan-jangan anak-anak kita sudah kecanduan odong-odong.”

 

“Kamu benar, Nung. Dina pasti marah kalau Micky Mouse itu didudukin Heru.”

 

“Sus…sudah dulu. Suamiku dan anakku sudah siap berangkat. Kami akan pindah ke rumah kakakku di Bogor. Cepat sembuh buat Dina, ya.” Kembali suara hujan mendominasi seiring putusnya pembicaraan Susi dan Nungki. Kali ini makin kencang dan deras hingga akhirnya terdengar suara motor suaminya di depan rumahnya. Tampak suaminya, Roni yang terlindung jas hujan membuka pintu pagar dan memasukkan motornya. Ada benda yang terbungkus plastik di belakang motor suaminya. Susi tidak yakin apa isinya. Saat dibawa masuk ke dalam rumah barulah dia tahu, ternyata patung singa yang terbuat dari kayu.

 

“Pesanan Bos, Ma. Belum selesai benar karena bengkel pengrajinnya banjir Papa disuruh mengambilnya dulu. Dina bagaimana, Ma?” Baru selesai bertanya tiba-tiba terdengar suara Dina memanggil isterinya. Mereka berdua saling bertatapan dan Susi melepas tangan suaminya yang disalaminya.

 

 

Dina terbangun dengan tatapan lemah tetapi wajahnya senang melihat ayahnya sudah pulang. Roni memeluk Dina yang masih hangat badannya, lalu menggendong dan membawanya ke ruang tamu.

 

“Papa itu, apa? Micky Mouse, ya?,” tanya Dina pada ayahnya pada benda yang seperti ada di odong-odong Mang Dudung.

“Itu patung singa, Dina. Punya Bosnya Papa,” jelas ayahnya.

 

“Bukan, Pa. Itu Micky Mouse. Mau naik, Pa. Dina, mau naik!!” Tiba-tiba Dina meronta dari gendongan dan merosot turun. Roni tak sanggup menahan tubuh anaknya akhirnya membiarkan dan melawan rasa cemas akan kemungkinan rusak patung milik atasannya. Roni dan Susi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat perilaku Dina. Seakan melupakan sakitnya, anaknya dengan asyiknya menduduki patung singa sambil bernyanyi-nyanyi riang. Tak menyia-nyiakan kesempatan Susi segera menyiapkan bubur Ayam kesukaan Dina. Roni pun menjaga anaknya agar tidak terjatuh sambil mengawasi gerakan Dina agar tidak merusak titipan itu dan membantu menggoyang-goyangkan patung yang membuat anaknya makin senang.

 

Perubahan yang sangat drastis pada Dina, yang semula lemah tidak mau makan akhirnya menghabiskan semangkuk makanan yang disuapkan ibunya. Kecemasan Susipun sirna begitupun Roni yang sudah pasrah saja bila patung Singa itu rusak karena dijadikan odong-odong oleh anaknya.

 

Tak berapa lama kemudian Dina mulai kelelahan, mengantuk dan minta digendong ayahnya. Terasa panas tubuh anaknya sudah jauh berkurang dan sudah mulai mendekati suhu normal. Diantarnya ke tempat tidur dan bibir Dina menyambut dot botol susu yang disodorkan Susi. Dina mulai terlelap lagi dengan menyisakan keriangan bermain patung singa lewat bentuk bibirnya. Susi merasa seperti baru bisa bernafas lagi. Beban pikiran karena anak sakit seakan menghalanginya menghirup udara. Apalagi rengkuhan tangan kekar Roni, benar-benar membuat ringan pundaknya. 

 

Hujan memang masih belum berhenti dan kentungan tanda bahaya banjir mulai terdengar. Tetapi mereka berdua tetaplah tenang. Sedikitpun tidak ada kekuatiran akan banjir. Selain akan dijemput kakaknya Roni yang tinggal di dekat mereka untuk mengungsi bersama di rumah orang tua yang bebas banjir dan mengamankan barang-barang penting, kesembuhan dan kesehatan Dina adalah segalanya. Membawanya ke dokter memang jadi pilihan terakhir tetapi bila ada obat yang jauh lebih murah walau itu hanya odong-odong mengapa tidak? (Tangsel, 24 Pebruary 2013)

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun