Mohon tunggu...
Joehanes Budiman
Joehanes Budiman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Health, Wealth, Happiness and Beyond

Selanjutnya

Tutup

Politik

Permasalahan Etnis Tionghoa

16 Mei 2010   03:39 Diperbarui: 18 Januari 2021   21:29 12447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di jaman Orde Baru, LPKB dianggap memainkan peranan penting dalam menghilangkan kultur, tradisi, agama (Konghucu) dan bahasa tionghoa lewat beberapa peraturan perundangan dan kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden Soeharto (Inpres No. 14/1967). Bahkan di dalam tubuh BAKIN dibentuk sebuah badan (Badan Koordinasi Masalah CinaBKMC) yang khusus mengawasi gerak-gerik etnis tionghoa di Indonesia. 

Di era reformasi, perdebatan Integrasi vs Asimilasi di kalangan etnis tionghoa mulai menghangat kembali ketika kelompok Integrasi, yang kebanyakan berasal dari kalangan muda dan konghucu, mulai mendapat “angin” dari pemerintah. Perdebatan kadang melebar dan menjadi rumit ketika sampai kepada masalah agama di mana kalangan integrasi beragama Konghucu dan Tao kerap mencurigai kalangan institusi agama lain ikut berperan dengan kelompok Asimilasi, atau paling tidak membiarkan terjadinya diskriminasi pada masa orde baru karena institusi agama lain mendapat limpahan umat dari “pelarangan agama” Tao dan Konghucu di Indonesia. 

Apalagi selama ini tokoh-tokoh Asimilasi, termasuk pendukungnya seperti para konglomerat etnis tionghoa yang dekat dengan rezim orde baru, sebagian besar beragama non Konghucu dan Tao. Perdebatan ini seringkali mengkerucut dan mengakibatkan Perpecahan. Semuanya terjadi karena dendam dan trauma yang bersumber dari rasa takut. Padahal yang harus dipertentangkan bukan soal cara Integrasi atau Asimilasi, tapi pemaksaan-nya, apalagi lewat perundangan yang tertulis dan berkekuatan hukum sehingga menimbulkan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Lewat pemikiran jernih, baik asimilasi maupun integrasi sebenarnya sama-sama bertujuan yang sama, yakni menciptakan pembauran sehingga tercipta masyarakat Indonesia yang bisa hidup bersama secara damai. Kalau tujuannya sama, kenapa masih harus memperdebatkan jalan mana yang paling benar? Kecuali bila “Ego dan Dendam ikut bermain.” 

 Kisah Istilah Cina vs Tionghoa. 
Kata Tionghoa ini mungkin berasal dari kata Chung-Hwa, yang adalah suatu gerakan masyarakat di akhir abad ke-19 untuk terlepas dari belenggu kekuasaan Kerajaan/Dinasti di China dan membentuk suatu negara baru yang lebih demokratis. Ketika itu di Nusantara, orang-orang keturunan disebut dengan istilah “orang tjina” yang mungkin berasal dari kata “Ching,” yakni Dinasti Ching. Istilah Tionghoa kemudian digunakan oleh media-media di Indonesia, menggantikan istilah “Tjina” setelah Koran Sin Po–koran Melayu Tionghoa yang pertama kali mempublikasikan Lagu Indonesia Raya ciptaan WR Supratman–mulai mengganti istilah Belanda Inlander menjadi Bumiputera. Banyak yang meyakini bahwa Istilah Cina sendiri lebih bermakna penghinaan seperti kata Nigger untuk orang kulit berkulit hitam di Amerika. Menurut Siauw Tiong Djin (anak Siauw Giok Tjhan), istilah Cina digunakan sebagai istilah untuk menghina golongan tionghoa yang berujung pada timbulnya Inferiority Complex dalam kalangan komunitas tionghoa di Indonesia. dan ada semacam dokumen yang digunakan sebagai referensi untuk kebijakan tersebut. Mungkin yang dimaksud Tiong Djin adalah "Laporan Penutupan Seminar AD ke II/1966 kepada Men/Pangad Letdjen M. Panggabean" yang merumuskan sbb:

  1. to revert to the use of the terms "Republik Rakjat Tjina" and "Warga Negara Tjina" to refer to "Republic Rakjat Tiongkok" and its citizens, "Warga Negara Tionghoa",
  2. one official reason given for the decision is particularly in order to remove a feeling of inferiority on the part of our own people ("Pribumi" - txt added), while on the other hand removing the feeling of superiority on the part of the group concerned within our state ("WNI keturunan Tjina" - txt added). (Sumber: C.A. Coppel. 1983, "Indonesian Chinese in Crisis", p. 89)

Setelah Peristiwa G30S/1965, Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) mengadakan Seminar Angkatan Darat Republik Indonesia ke-2, 25-31 Agustus 1966 di Bandung. Dalam seminar itu dibahas juga masalah tentang Cina, yang juga dihadiri oleh Sindhunata dan Lie Tek Tjeng dari LPKB yang didukung oleh Angkatan Darat. Kala itu Sindhunata adalah seorang tentara Angkatan Laut berpangkat Letnan Muda. Menurut sebuah artikel yang ditulis Benny G Setiono (Perhimpunan INTI), pada bulan September 1999 di Kantor Majalah Gamma, Sindhunata mengaku bahwa dirinya yang merekomendasikan konsep pelarangan perayaan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Seminar AD II/66 itu. Sejak seminar itu terjadi penggantian istilah Tionghoa menjadi Cina diformalkan dengan keluarnya Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera tentang Masalah Cina No. SE-0/Pres.Kab/61/67—Sebutan Cina menggantikan Tionghoa—25 juli 1967 yang ditandatangani Jendral Soeharto (Sumber : Berita Yudha 26/7/67 dikutip CA Coppel 1983, Indonesian Chinese in Crisis) 

Perdebatan tentang Istilah Cina dan Tionghoa terjadi pula dalam komunitas Tionghoa. Ada yang tidak mempermasalahkan, tapi ada juga yang mempermasalahkan. Tapi yang pasti, tujuan pemerintahan Orde Baru untuk menimbulkan Inferiority Complex dalam komunitas tionghoa dengan mengganti istilah Tionghoa dengan Cina tampaknya berhasil efektif karena terbukti sebagian orang-orang tionghoa menolak penggunaan istilah tersebut karena istilah itu dianggap bermakna menghina. Jadi memang lebih baik menggunakan istilah-istilah dimana orang lain tidak merasa tersinggung ketika dipanggil. Pemerintahan RRT pun lebih suka disebut dengan sebutan Tiongkok/China ketimbang Cina, seperti juga Pemerintahan Indonesia sekarang yang lebih suka disebut Indonesia ketimbang dengan Indon di Malaysia.

Mitos Kekayaan Orang Tionghoa di Indonesia.
Ketika beberapa bulan setelah terjadinya kerusuhan Mei 1998, banyak media massa Indonesia maupun luar negeri memberitakan tentang peranan dominan kelompok minoritas keturunan tionghoa (3.5 % populasi) dalam mencengkram 70 % perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Pernyataan ini begitu seringnya diberitakan kalangan media dunia sehingga dipercayai oleh semua orang termasuk orang-orang etnis tionghoa sendiri dan mereka-mereka yang bersimpati dengan nasib-nasib etnis tionghoa di Indonesia. Tapi apakah demikian? Penelitian George J. Aditjondro yang dimuat di Koran Jakarta Post 14 Agustus 1998 menelusuri dari mana “angka 70%” itu berasal. Dalam artikel ini (Indonesia: The Myth of Chinese Domination) dijelaskan bahwa “angka 70%” ini berasal dari hasil penelitian tentang Jaringan Bisnis Overseas Chinese di Asia yang dilakukan oleh Michael Backman—eksekutif dari Departemen Urusan Luar Negeri dan Perdagangan Australia pada Unit Kerja Analisa tentang Asia Timur di tahun 1995. Ternyata, “Penguasaan 70% perekonomian Indonesia” yang dimaksud adalah 70% dari kapitalisasi pasar perusahaan-perusahaan swasta saja di Indonesia, sehingga tidak termasuk kapitalisasi pasar perusahaan-perusahaan asing (seperti PT. Freeport Indonesia, Inc atau Coca-Cola Amatil) maupun Badan-Badan Usaha Milik Negara/Daerah di akhir tahun 1993. Cara perhitungannya pun secara garis besar saja. Misalnya, kelompok usaha BankCentralAsia (BCA) dianggap 100% milik etnis tionghoa, Liem Sioe Liong. Padahal pada tahun 1993, dua anak Presiden Soeharto—Siti Hardijanti Rukmana dan Sigit Hardjojudanto, juga tercatat sebagai pemegang saham BCA dalam porsi jumlah yang cukup besar. [caption id="attachment_142177" align="alignright" width="150" caption="Fortune Cookie"][/caption] Tapi memang kebanyakan etnis tionghoa di Indonesia berbisnis dengan membuka toko-toko retail ataupun distributor barang sehingga menimbulkan kesan bahwa mereka menguasai perekonomian Indonesia. Padahal mungkin hal itu hanya terlihat dari permukaan saja. Perlu penelitan dan riset lebih lanjut untuk menghasilkan data yang lebih ilmiah dan akurat mengenai berapa persen sebenarnya peranan etnis tionghoa dalam perekonomian dunia, terutama untuk konsumsi para jurnalis karena seperti tulisan Mr. Aditjondro dalam artikel tersebut, “ …simply repeating the myth that ‘Chinese-Indonesians, who constitute only 3%-4% of the population, control 70% of the economy,’ without even bothering to verify it with the existing economic and business statistics, does not only reflect sloppy business journalism but it also a convenient and racist way of blaming the victims.”  

Presiden ialah Orang Indonesia “Asli”. 
Pasal 6 Ayat 1 UUD’45 secara eksplisit berbunyi bahwa hanya Orang Asli Indonesia yang bisa menduduki jabatan sebagai Presiden RI. Pasal ini dianggap pasal berbau rasialisme bagi sebagian besar etnis Tionghoa di Indonesia. Padahal Pancasila sebagai Dasar Negara sangat menentang bentuk-bentuk rasialisme. Dalam suatu Seminar (Mei 1981) MENUJU INDONESIA YANG BAIK DENGAN TER-REALISASI-NYA "BHINEKA TUNGGAL IKA," Siauw Giok Tjhan sempat menjelaskan bahwa alasan utama mencantumkan kata “Asli” dalam Pasal 6 Ayat 1 UUD’45, karena pada saat itu Indonesia berada di bawah kekuasaan militer Jepang sehingga timbul kekhawatiran bahwa militer Jepang akan memaksa Rakyat Indonesia untuk menerima seorang Jepang menjadi Presiden Indonesia. [caption id="attachment_142181" align="alignleft" width="190" caption="Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911"][/caption] Hal ini dipertegas oleh Perdana Menteri Juanda di dalam rapat DPR-RI hasil pemilihan umum pertama dan juga di konstituante yang mengatakan: “adanya istilah “Asli” dalam pasal 6 ayat 1, tidak boleh menjadi alasan untuk mengadakan dan mempraktekkan diskriminasi rasial.” Dalam seminar ini, Siauw Giok Tjhan, sempat mengutip Manifesto Politik R.I., 1 November 1945, yang tertulis:“…di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan Rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan Europa menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia!” Manifesto ini memperlihatkan bahwa Republik Indonesia pada saat kemerdekaan tidak memperlakukan perbedaan berdasarkan keturunan. Malah, setiap rakyat didorong untuk berkembang menjadi seorang patriot dan demokrat Indonesia sejati tanpa memperhatikan asal keturunannya. Pelaksanaan manifesto politik negara itu, kemudian, diundangkan menjadi UU Kewarganegaraan R.I pada tanggal 10 April 1946 oleh Badan Pekerja dan Pemerintah R.I. Pasal 6 Ayat 1 UUD’45, kemudian, termasuk salah satu pasal yang diamandemenkan oleh MPR-RI dalam Sidang Tahunan MPR 1-9 Nopember 2001 di jaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang menghasilkan Perubahan ke-3 UUD’45. Pasal itu berbunyi : “ Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. “

Pao An Tui Baru Jilid 2 ???
Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta membawa luka dan trauma mendalam dalam diri hampir setiap etnis tionghoa di Indonesia, dan banyak dari mereka menyadari bahwa hal sama kemungkinan besar akan terulang kembali…dalam waktu semakin dekat…bila dilihat dari kondisi sektor ekonomi riil Indonesia yang semakin melemah, seperti yang sering dilontarkan dalam diskusi-diskusi di kalangan etnis tionghoa sendiri. Semakin takut, maka semakin “rakus” pula para pelaku bisnis etnis tionghoa yang lebih menaruh kepercayaan pada materi ketimbang janji-janji pemimpin atau partai-partai politik. 

Materi ini sangat penting bagi kelompok Flight ini sebagai bekal hidup saat melarikan diri ke luar negeri ketika Kerusuhan anti-tionghoa kembali merebak. Tapi “kerakusan” itu seakan-akan semakin mempertegas generalisasi para bumiputera bahwa etnis tionghoa adalah binatang-binatang ekonomi. Dan itu akan terpicu keluar menjadi kemarahan ketika keadaan ekonomi semakin terpuruk. Semakin takut, maka semakin “beringas” pula para etnis tionghoa yang memutuskan untuk melawan (Fight) segala tindakan kekerasan yang ditujukan kepada kelompok mereka. Sayangnya karena kadang lebih bernasionalisme chauvinis tiongkok dibandingkan Indonesia, maka malah menjadi anasionalis. Bahkan ada wacana dari sekelompok muda tionghoa dari kelompok ini untuk membentuk kembali Pao An Tui dengan dukungan dana dari pihak luar. Pao An Tui adalah Barisan Keamanan yang dipersenjatai untuk mengamankan properti dan orang-orang keturunan tionghoa sewaktu terjadi kerusuhan anti-tionghoa di awal-awal tahun Kemerdekaan Indonesia. 

Dulu, Pao An Tui didirikan di Jakarta oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu, Soetan Sjahrir dan Oei Kim Sen (Komandan Pao An Tui) dengan tujuan membantu menjaga keamanan masyarakat terutama etnis tionghoa yang yang ketika itu (1946) sedang marak terjadi penjarahan dan perampokan terhadap etnis tionghoa oleh laskar-laskar rakyat. Tapi dalam perkembangan berikutnya, Pao An Tui malah dicurigai pro-NICA (Netherlands—Indies Civil Administration) karena memang ada beberapa anggota Pao An Tui, entah karena dendam atau alasan membela diri, berpaling ke Belanda untuk meminta dukungan. Atau karena NICA kembali menerapkan politik “adu domba” antara etnis tionghoa dan bumiputera dengan harapan terjadi kekacauan sipil, yang akan mencoreng nama Indonesia di mata dunia Internasional. Tapi bila Pao An Tui baru kembali terbentuk, apakah hal ini hanya akan menjadi semacam pengulangan sejarah?

“Those who do not learn from history will be condemned to repeat it.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun