Mohon tunggu...
Joehanes Budiman
Joehanes Budiman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Health, Wealth, Happiness and Beyond

Selanjutnya

Tutup

Politik

Permasalahan Etnis Tionghoa

16 Mei 2010   03:39 Diperbarui: 18 Januari 2021   21:29 12447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelompok Pertama (Flight) adalah kelompok “Apatis,” yang tidak mau terlibat sedikitpun dengan masalah politik di Indonesia. Tidak Mau bukan berarti tidak ada keinginan, tapi Tidak Mau karena Takut. Kelompok ini biasanya datang dari kalangan bisnis atau professional. Kelompok ini berusaha melawan rasa takutnya dengan cara Melarikan Diri. Tapi untuk “melarikan diri,” mereka butuh dana atau keahlian tertentu untuk diterima di negara lain (ataupun di negara leluhur), bila tidak ada teman/saudara yang membantu. 

Seorang teman sering bertemu dengan seorang pengusaha wanita yang pada saat Kerusuhan Mei 1998 hampir saja diperkosa oleh tetangga-nya sendiri. Pengusaha ini sampai hari ini berusaha mengeruk sebanyak-banyaknya kekayaan untuk berjaga-jaga bila suatu hari nanti, bila kerusuhan anti tionghoa bergejolak kembali, dengan mudah dia dapat pergi meninggalkan negara ini. Dia tetap bekerja di Indonesia karena menyadari bahwa hanya di Indonesia lah yang paling mudah bagi dirinya untuk berbisnis. Dia menyadari sepenuhnya bahwa bila dirinya berbisnis di luar Indonesia, dirinya tidak akan mendapatkan hasil yang sama dengan upaya yang sama seperti yang sedang dia lakukan di Indonesia. Dia pun menyadari bahwa tidak ada negara lain, termasuk negara leluhur RRT dan negara-negara lain dengan mayoritas etnis tionghoa, yang mau menerima dirinya tanpa uang, ataupun keahlian khusus. Makanya dia bergantung sepenuhnya pada kekuatan materi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (“comfort zone”nya.) Dari sini, selain isu tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, timbul paradigma bahwa kelompok etnis tionghoa bagaikan “mesin ekonomi” atau “binatang ekonomi.” Dan, inilah masalah utama yang dituding oleh banyak para pemerhati sebagai biang keladi masalah tionghoa di Indonesia. Hal sama terjadi pada golongan Tionghoa ber-ekonomi menengah.. Banyak sekali generasi tionghoa yang sejak kecil sudah “dikondisikan” untuk hidup di luar Indonesia ketika dewasa. Disekolahkan dengan pendidikan terbaik ber-biaya tinggi oleh orang tua mereka sebagai bekal hidup nanti bila harus hengkang dari Indonesia, mencari masyarakat yang lebih bersahabat dalam menerima mereka apa adanya. Ini terjadi karena trauma terhadap berbagai kerusuhan yang kerap terjadi di Indonesia. Bahkan, pada suatu masa di jaman Orde Baru, Presiden Soeharto dianggap orang yang paling berjasa bagi orang-orang etnis tionghoa di Indonesia karena perlindungan dan “perlakuan istimewa” dalam bidang ekonomi, tetap saja “membiarkan” terjadinya Kerusuhan Rasial Mei 1998. Malah setelah Orde Baru runtuh terungkaplah berbagai permainan politik pemerintahan Orde Baru juga memakai isu-isu golongan tionghoa sebagai “kambing hitam” dalam berbagai kasus.

Civil Awareness vs Politik Praktis 
Pandangan ini membuat sebagian masyarakat tionghoa tidak mau tahu atau terlibat urusan lain yang tidak terkait langsung dengan diri, keluarga ataupun pekerjaannya. Tapi kadang perilaku ini sering dianggap sebagai ke-engganan etnis tionghoa berpartisipasi dalam bernegara atau bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Serba-Salah. Pemikiran naif sebagian besar orang-orang tionghoa di Indonesia tentang politik sehingga mereka tidak mampu membedakan antara Civil Awareness ataupun Ber-politik praktis yang mereka “haramkan.” Biarpun ke-2nya pasti bersinggungan dengan dunia politik, Ber-politik praktis terjadi ketika ada upaya mempengaruhi massa dengan motivasi mendapatkan kekuasaan demi kepentingan sendiri atau kelompok tertentu, sedangkan Civil Awareness (Kesadaran sebagai seorang warga-negara untuk melakukan tugas kewarganegaraannya) adalah ketika terjadi upaya mempengaruhi massa tanpa motivasi mendapatkan kekuasaan demi kepentingan pribadi/kelompok tertentu, untuk memperbaiki keadaan seluruh masyarakat di negara tersebut. Tapi ke-2nya tetap saja beresiko bagi praktisinya untuk terimbas permainan kotor dalam dunia politik. Mungkin hal ini berkaitan dengan terisolirnya kelompok etnis tionghoa dari percaturan politik praktis sejak tahun 1966 sehingga generasi mudanya hampir-hampir tidak punya referensi tentang perbedaan antara politik praktis dan Civil Awareness

Terkadang untuk membela hak-hak mereka sebagai seorang manusia atau warganegara yang selama ini tertindas untuk setara dengan warga negara lain itupun, selalu digolongkan sebagai “bermain politik praktis.” Ke-engganan kelompok ini untuk membela hak-hak mereka sendiri sebagai sesama warga Indonesia inilah justru membuat kelompok ini sering dijadikan pion dan sasaran permainan politik para politikus di Indonesia. Jadi bila kita melihat sejarah dengan lebih seksama, hampir tidak adanya relevansi antara terlibat/tidaknya etnis tionghoa dalam dunia politik di Indonesia dengan frekwensi terjadinya kerusuhan anti tionghoa di Indonesia. Terlibat atau tidak terlibatnya etnis tionghoa dalam politik, kerusuhan anti tionghoa kerap saja terjadi di Indonesia biarpun ketidakpuasan massa sebenarnya lebih kepada penguasa dibandingkan kepada kelompok tionghoa. Mungkin hanya kelompok etnis tionghoa yang kerap menjadi sasaran bagi kemarahan massa dibandingkan kelompok etnis lain di Indonesia. 

Kelompok ke-2 adalah kelompok yang cenderung melakukan perlawanan (Fight) sebagai respon dari rasa takut pada kelangsungan nasib kehidupan mereka di Indonesia. Mereka percaya bahwa tekanan politik dan sosial dapat memaksa masyarakat untuk menerima golongan tionghoa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia. Masalahnya, seringkali ketika melakukan tekanan sosial, mereka hanya dengan bersosialisasi dengan segelintir pejabat elite atau militer sehingga yang terjadi bukannya proses pembauran, tapi malah nepotisme. Ini terekam jelas dalam benak orang-orang bumiputera sehingga seakan-akan orang-orang tionghoa itu selalu melakukan praktek suap (Korupsi), Kolusi dan Nepotisme (KKN). Padahal tidak demikian, dan tidak semuanya melakukan hal itu. Praktek KKN terjadi hampir di semua golongan etnis di Indonesia. 

Dengan tekanan politik, mereka kadang membawa “bendera” chauvinisme RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan merindukan uluran tangan dari Negara leluhur. Padahal pemerintah RRT, tanpa adanya kepentingan politik atau ekonomi, selalu menolak campur tangan mereka dengan masalah dalam negeri Indonesia karena mereka-pun sudah menganggap orang-orang tionghoa di Indonesia sebagai urusan pemerintahan Indonesia. Jadi ketika masih ada saja kelompok etnis tionghoa yang lebih menghubungkan rasa nasionalisme-nya kepada negara leluhur ketimbang kepada tempat di mana mereka dilahirkan atau dibesarkan, maka hal ini menjadi tidak masuk akal. 

Padahal hubungan etnis tionghoa di Indonesia terhadap RRT seharusnya hanya terbatas kepada hubungan yang lebih bersifat hubungan budaya leluhur atau kemanusiaan, dan membiarkan hubungan lainnya (hubungan ekonomi, sosial, ideologi, dan politik) diurus oleh negara. Kelompok ini tanpa sadar telah memunculkan chauvinisme kepada Tiongkok ketimbang kepada Indonesia. Sikap ini jelas akan mengundang konfrontasi dari kelompok chauvinisme Indonesia yang seringkali menggeneralisasi bahwa semua kelompok etnis tionghoa tidak ada/kurang loyalitasnya pada Indonesia. Memang seringkali kita dengar tentang hubungan erat antara “Saudara Tua” (RRT) dengan “Saudara Muda” (Tionghoa Perantauan), tapi istilah ini baru muncul ketika pemerintahan RRT mempunyai kepentingan tertentu (biasanya ekonomi) terhadap para keturunan tionghoa di negara-negara lain. Misalnya, dulu ada politik Hua Chiao RRT yang mencanangkan bahwa semua tionghoa adalah saudara dan RRC adalah pusatnya. Sekarang bukan rahasia di antara komunitas keturunan tionghoa bahwa sering kali rumah-rumah abu (perkumpulan berdasarkan marga keluarga) didatangi orang-orang dari kedubes RRT di Jakarta. Pada awalnya, memang hanya merupakan acara perkenalan antara “Saudara Tua” dengan “Saudara Muda,” tapi seterusnya, akan diselidiki siapa saja orang-orang kaya yang tergabung dalam perkumpulan marga tersebut dan orang-orang kaya ini akan diajak berinvestasi di RRT. Tanpa kepentingan tertentu, pemerintah RRT menolak memikirkan nasib-nasib warga keturunan tionghoa. Terlihat jelas dalam sejarah dan terbukti ketika Kerusuhan Mei 1998 terjadi, di mana banyak sekali komunitas-komunitas tionghoa di-“serang,” pemerintah RRT hampir-hampir diam seribu bahasa. Bahkan sebuah stasiun TV di RRT yang sering menampung keluhan-keluhan dan membahas Kerusuhan Mei 1998 serta problematik orang-orang keturunan tionghoa yang berdiam di negara-negara Asia Tenggara dibiarkan tutup-bangkrut karena pemerintah RRT memotong anggarannya. Padahal siaran stasiun TV itu, yang dapat disaksikan lewat parabola, telah menjadi tempat keluh-kesah orang-orang tionghoa Indonesia yang pada saat itu sedang stres berat karena “hawa diskriminasi rasial” yang sedang panas-panasnya. 

Asimilasi vs Integrasi 
Kelompok lain adalah kelompok yang sadar bahwa harus terjadi pembauran kelompok etnis tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia. Tapi biarpun bertujuan sama, kelompok ini terbagi menurut cara pembaurannya, yaitu kelompok Asimilasi dan kelompok Integrasi. Kelompok Asimilasi menginginkan pembauran dalam suatu masyarakat menjadi yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya dengan menghilangkan identitas dan budaya asal menjadi satu masyarakat yang satu dan seragam (melting pot), sedangkan Integrasi menginginkan pembauran dalam suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas atau budaya asal (multikulturalisme). 

Kelompok Integrasi dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan yang ikut mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan Asimilasi oleh Sindhunata (Ong Tjhong Hay) yang ikut mendirikan LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa). Karena bangsa Indonesia bukanlah negara yang homogen budaya maupun ras-nya, maka Siauw Giok Tjhan menganggap bahwa etnis tionghoa yang sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia semestinya diakui sebagai salah satu suku bangsa yang sejajar dengan suku jawa, batak, sunda, dstnya. Semua suku-suku bangsa inilah yang akan membentuk sebuah Nation, yaitu : Indonesia, tanpa harus menghilangkan identitas dan budaya asal masing-masing. Menurut beliau, cara ini jauh lebih baik diterapkan di Indonesia, mengingat semboyan negara adalah : Bhinneka Tunggal Ika. Dalam konsep ini, etnis tionghoa tidak perlu mengganti nama, agama ataupun kawin campur untuk menunjukkan bhaktinya bagi Indonesia. Cinta, Pikiran dan Tindakan seseorang-lah yang menentukan bhakti pada Ibu Pertiwi. 

Sebaliknya LPKB berpikiran bahwa untuk menyelesaikan masalah rasial ini secara cepat, etnis tionghoa sebagai minoritas harus meleburkan diri kepada mayoritas dengan cara menghilangkan identitas dan kebudayaan ke-tionghoa-annya. Jika konsep peleburan ini berhasil diterapkan maka tidak akan lagi perdebatan antara satu kelompok dengan kelompok lain karena yang tersisa hanyalah masyarakat Indonesia. Program LPKB menganjurkan proses asimilasi secara serentak di segala bidang kehidupan dengan menitik beratkan pada asimilasi sosial selain asimilasi kulturil, politik, ekonomi dan kekeluargaan (pernikahan campur). 

Pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno tampaknya lebih menyukai konsep Integrasi dibandingkan Asimilasi sehingga Baperki dan Siauw Giok Tjhan menikmati kedekatan-nya dengan pemerintah. Selain dekat dengan pemerintahan orde lama, Baperki juga mendapat dukungan penuh dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Tapi karena hal ini pula, setelah Gerakan 30 September tahun 1965, Baperki dianggap ormas-ormas “berbau” komunis dan “dekat” dengan Tiongkok Daratan sehingga dibubarkan dan dilarang, sedangkan Siauw Giok Tjhan ditahan selama kurang lebih 13 tahun tahun tanpa pernah melalui proses pengadilan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun