Hal lain yang menggelitik adalah dualisme dalam kurikulum. Di satu sisi ada mapel Informatika, di sisi lain ada pelatihan Koding dan KA (Kecerdasan Artifisial). Tapi anehnya... keduanya seperti berjalan di rel sendiri-sendiri. Tidak ada titik temu kurikulum, tidak ada kejelasan peran. Guru informatika tidak tahu harus fokus ke mana. Yang mengajar koding malah bukan guru informatika.
Bukankah akan lebih sehat bila keduanya dilebur, dipetakan ulang, dan ditugaskan dengan jelas? Agar guru tahu apa yang harus diajarkan, dan siswa pun tidak bingung menerima sesuatu yang kabur arah.
Manajemen Kelas Mikro: Guru Juga Butuh Sistem
Yang sering dilupakan oleh banyak fasilitator pelatihan adalah kenyataan ini:
guru pun bisa berperilaku seperti murid.
Kelas bisa gaduh, peserta bisa asyik sendiri, bahkan sulit fokus ketika sudah merasa tidak nyaman atau tidak percaya diri dengan materi. Maka, sama seperti murid, mereka pun butuh struktur.
Saya mencoba menerapkan sistem komando mikro:
Saya sedang mendampingi pelatihan koding dan kecerdasan artifisial untuk guru SMA. Tapi ternyata, seperti murid, para guru pun kadang sulit diatur. Ramai, asyik ngobrol, tidak fokus. Dan yang paling lucu...
ketika saya minta menunjuk satu ketua kelas, mereka justru saling tunjuk satu sama lain — seperti murid SMP yang baru pertama kali belajar tanggung jawab.
Ada yang tersenyum malu-malu, ada yang menolak halus, ada pula yang langsung menyebut temannya:
"Pak itu aja, biasa aktif!"
"Jangan saya, saya pemalu."
"Pak X lebih cocok, dia ketua MGMP."
Momen itu menyadarkan saya: guru pun butuh dilatih untuk menjadi pemimpin dalam sistem.
Maka saya terapkan sistem mikro: