Mohon tunggu...
jody aryono
jody aryono Mohon Tunggu... Konsultan IT dan Developer Sistem Berbasis AI | Assesor LSP Informatika

Seorang Senior IT Konsultan Teknologi dan juga Edukator Koding dan Kecerdasan Artifisial, yang fokus pada pengembangan Sistem berbasis AI dan solusi digital untuk instansi pemerintah, masjid, dan komunitas. Aktif menulis seputar teknologi, produktivitas, serta pemanfaatan kecerdasan buatan dalam kehidupan sehari-hari. Topik favorit saya antara lain: AI, dakwah digital, coding, dan edukasi masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Kabel ke Koding: Ketika Guru IT Justru Belum Siap Belajar Koding

29 Juli 2025   08:00 Diperbarui: 29 Juli 2025   01:30 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta koding KA Fase E/F kelas 11 dan 12 , Dok. FTUMJ

Dari Kabel ke Koding: Ketika Guru IT Justru Belum Siap Belajar Python

Saya tiba agak telat pagi itu. Suasana kelas sudah tenang, peserta duduk rapi di meja masing-masing. Tapi ada yang membuat saya terpaku saat melihat daftar kehadiran: dari 25 guru yang terdaftar di LMS, hanya 16 yang benar-benar hadir.

Bisa jadi karena beban mengajar, mungkin juga karena rasa canggung menghadapi sesuatu yang terdengar asing --- koding dan kecerdasan artifisial. Tapi seiring obrolan dan diskusi berjalan, saya justru menemukan realita yang lebih dalam dan agak menyedihkan: mereka belum siap.

Bukan Tidak Mampu, Tapi Terlalu Banyak Beban

Dari 16 peserta, 6 guru bahkan belum pernah menyentuh dunia koding sama sekali. Mereka bukan dari jurusan informatika, tapi tetap diminta ikut pelatihan ini karena kebutuhan sekolah atau kekosongan guru. Mereka mengajar banyak mapel, mengurus administrasi, dan kadang jadi wali kelas. Lalu masih ditambah pelatihan Python?

Sementara itu, guru-guru yang memang dari rumpun IT pun tak jauh lebih ringan. Alih-alih fokus pada pengembangan materi atau pedagogi digital, mereka justru menjadi tukang kabel di sekolah. Mereka yang dipanggil saat printer rusak, jaringan putus, proyektor mati, atau siswa tidak bisa login ke LMS. Mereka lebih akrab dengan terminal listrik daripada terminal kode.

Python Belum Masuk, Tapi Sudah Ingin Mundur

Suasana Kelas Dalam Penjelasan Koding KA dok Pribadi Jody Aryono
Suasana Kelas Dalam Penjelasan Koding KA dok Pribadi Jody Aryono

Materi Python seharusnya menjadi bagian dari modul pelatihan ini. Tapi hingga hari ini... belum satu baris pun dituliskan di layar. Bukan karena waktunya tidak cukup --- tetapi karena kondisi peserta memang belum memungkinkan untuk langsung loncat ke fase F.

Beberapa guru dengan jujur mengusulkan: 

Boleh nggak kami diajarin fase C dulu? Yang dasarnya aja... logika, urutan instruksi, hal paling dasar

Dan saya, sebagai fasilitator, hanya bisa mengangguk pelan. Bukan karena saya tidak punya modul lanjutan, tapi karena saya sadar 

 

Pembelajaran itu soal kesiapan, bukan paksaan.

Informatika vs Koding: Kenapa Tidak Saling Sapa?

Suasana Kelas Saat Pelatihan Koding KA , Dok Prbadi Jody Aryono
Suasana Kelas Saat Pelatihan Koding KA , Dok Prbadi Jody Aryono

Hal lain yang menggelitik adalah dualisme dalam kurikulum. Di satu sisi ada mapel Informatika, di sisi lain ada pelatihan Koding dan KA (Kecerdasan Artifisial). Tapi anehnya... keduanya seperti berjalan di rel sendiri-sendiri. Tidak ada titik temu kurikulum, tidak ada kejelasan peran. Guru informatika tidak tahu harus fokus ke mana. Yang mengajar koding malah bukan guru informatika.

Bukankah akan lebih sehat bila keduanya dilebur, dipetakan ulang, dan ditugaskan dengan jelas? Agar guru tahu apa yang harus diajarkan, dan siswa pun tidak bingung menerima sesuatu yang kabur arah.

Manajemen Kelas Mikro: Guru Juga Butuh Sistem

Suasana Kelas Berkelompok , Dok Pribad Jody Aryono
Suasana Kelas Berkelompok , Dok Pribad Jody Aryono

Yang sering dilupakan oleh banyak fasilitator pelatihan adalah kenyataan ini:
guru pun bisa berperilaku seperti murid.
Kelas bisa gaduh, peserta bisa asyik sendiri, bahkan sulit fokus ketika sudah merasa tidak nyaman atau tidak percaya diri dengan materi. Maka, sama seperti murid, mereka pun butuh struktur.

Saya mencoba menerapkan sistem komando mikro:

Saya sedang mendampingi pelatihan koding dan kecerdasan artifisial untuk guru SMA. Tapi ternyata, seperti murid, para guru pun kadang sulit diatur. Ramai, asyik ngobrol, tidak fokus. Dan yang paling lucu...
ketika saya minta menunjuk satu ketua kelas, mereka justru saling tunjuk satu sama lain — seperti murid SMP yang baru pertama kali belajar tanggung jawab.

Ada yang tersenyum malu-malu, ada yang menolak halus, ada pula yang langsung menyebut temannya:

"Pak itu aja, biasa aktif!"

"Jangan saya, saya pemalu."

"Pak X lebih cocok, dia ketua MGMP."

Momen itu menyadarkan saya: guru pun butuh dilatih untuk menjadi pemimpin dalam sistem.
Maka saya terapkan sistem mikro:

  • 1 ketua kelas

  • 4 ketua kelompok

  • 4 kelompok kecil

  • Instruksi cukup saya sampaikan ke ketua kelas. Lalu ke ketua kelompok, lalu ke anggota. Seperti rantai amanah, sistem ini berjalan efektif. Ketika saya minta mereka kembali pukul 13:00, semua berjalan dengan tenang dan teratur.

Tugas Ketua Kelas dalam Sistem Ini:

  • Menjadi penghubung utama antara fasilitator dan peserta.

  • Mendistribusikan informasi penting ke semua ketua kelompok.

  • Mengatur waktu istirahat, masuk, dan mulai kerja kelompok.

  • Membuat dan mengelola grup WhatsApp khusus kelas, agar komunikasi tetap aktif.

  • Menjadi titik tanggung jawab jika terjadi kekacauan di kelas.

Tugas Ketua Kelompok:

  • Memastikan anggota kelompok hadir dan terlibat.

  • Menyampaikan tugas dari ketua kelas/fasilitator ke anggotanya.

  • Membagi peran kerja dalam tugas kelompok.

  • Melaporkan progres kerja ke ketua kelas atau fasilitator.

Kalau murid saja perlu struktur... apalagi guru yang sedang belajar hal baru di luar zona nyamannya.

sistem ini juga bisa diterapkan oleh para guru di kelas masing-masing.

Banyak guru mengeluhkan murid yang pasif atau susah diatur --- padahal bisa jadi yang dibutuhkan bukan sekadar teguran, tapi struktur peran yang memfasilitasi kolaborasi. Dengan membuat ketua kelompok, memberikan tanggung jawab, dan membangun budaya saling mengingatkan... kelas akan lebih hidup dan efektif, bahkan tanpa harus banyak teriak.

Rolling Kelompok untuk Mencegah Geng Bestie

Saya juga mengusulkan sistem rolling kelompok secara berkala. Karena di hari pertama, peserta cenderung hanya akrab dengan temannya sendiri. Terlalu individual, terlalu nyaman di zona kecil. Padahal, pembelajaran digital menuntut kolaborasi... bukan hanya kompetensi teknis.

Usulan Serius untuk Para Petinggi Pendidikan

Pelatihan guru bukan sekadar checklist kegiatan. Bukan pula lomba akselerasi digital. Jika ingin melahirkan generasi emas, maka guru harus dipersiapkan dari dasarnya --- bukan langsung disodori Python sebelum sempat menyentuh logika dasar.

Perlu ada pemetaan ulang terhadap:

  • Kesiapan guru

  • Struktur pelatihan

  • Sinergi antar-mata pelajaran

  • Fasilitas sekolah negeri yang masih sangat minim

Dan yang paling penting... beri ruang empati kepada para guru. Mereka bukan mesin. Mereka manusia yang butuh waktu untuk belajar dan berkembang --- sama seperti murid-murid mereka.

Akhir Hari yang Penuh Catatan

Setelah makan siang, datang kabar: dua kelas akan dilebur menjadi satu, karena jumlah peserta tidak mencukupi. Saya tidak lagi dijadwalkan mengajar besok. Tapi pelatihan tetap dilanjutkan hari ini hingga modul 1 selesai. Kami menutup sesi dengan berfoto bersama Guru Guru Hebat.

Foto ini bukan sekadar dokumentasi, tapi pengingat: bahwa perubahan besar, sering kali dimulai dari kelas kecil dengan orang-orang yang belum siap... tapi tidak menyerah.

Dan saya ingin menambahkan satu hal penting:Guru-guru perlu mulai menulis.

Menulis bukan hanya mencatat masa lalu, tapi membaca masa depan. Dengan menulis, kita melatih berpikir terstruktur, menggali makna dari pengalaman, dan menyimpan jejak pembelajaran untuk orang lain. Kita tidak akan selalu ada di ruang kelas... tapi tulisan kita bisa hidup lebih lama daripada suara kita.

Di hari-hari ke depan, saya berencana membuat artikel khusus:
tentang mengapa guru harus menulis --- bukan untuk jadi penulis, tapi untuk jadi guru yang lebih sadar dan berdampak.

Bersama Guru Guru Hebat, Kelas 9.8 Koding KA Dok. Jody Aryono
Bersama Guru Guru Hebat, Kelas 9.8 Koding KA Dok. Jody Aryono

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun