Pemerintah dan DPR baru saja menunjukkan bahwa mereka ternyata bisa bekerja dengan sangat cepat dan efisien. Setidaknya, kalau memang mau. Contohnya? Keputusan DPR tentang RUU TNI yang disahkan dalam waktu relatif singkat dan tanpa banyak perdebatan di ruang. Tapi tentu saja, kecepatan ini rupanya bukan standar untuk semua RUU. Sebab, ketika berbicara tentang RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang melindungi korban kekerasan seksual atau RUU Perampasan Aset (yang bertujuan memberantas korupsi), yang menghadapi proses panjang dan penuh hambatan. Bisa jadi karena dua RUU ini tidak menyangkut kepentingan strategis elite tertentu? Atau karena tidak cukup "mendesak" dibandingkan revisi aturan militer? Mengapa pengesahan RUU TNI mendapat prioritas lebih tinggi dibandingkan regulasi yang berdampak langsung bagi masyarakat? Artikel ini akan mengulik bagaimana kecepatan pengesahan RUU TNI dibandingkan dengan dua RUU lain yang entah kenapa selalu tersandung hambatan teknis dan birokrasi.Â
Kecepatan RUU TNI vs. Lambatnya RUU TPKS & RUU Perampasan Aset
1. RUU TNI: Ketika Pemerintah Bisa Bertindak Cepat (Kalau Mau)
Umumnya, proses legislasi sering kali berlarut-larut di Indonesia. Namun kecepatan pengesahan RUU TNI kali ini mengejutkan banyak pihak. Tidak seperti RUU TPKS yang butuh bertahun-tahun atau RUU Perampasan Aset yang masih belum jelas nasibnya, pengesahan RUU TNI terjadi dengan kecepatan yang luar biasa. Apa rahasianya?
- Dukungan Politik yang Solid -- Berbeda dengan RUU lainnya, revisi UU TNI tampaknya mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan DPR. Tidak ada pihak yang merasa perlu mengulur waktu atau memperdebatkan revisi ini secara mendalam, menunjukkan betapa cepatnya proses legislasi ketika ada kepentingan bersama.
- Minimnya Pengawasan Publik -- Pembahasan yang berlangsung cepat dan relatif tertutup membuat masyarakat kehilangan kesempatan untuk ikut berpartisipasi. Apakah ini merupakan salah satu upaya agar proses legislasi berjalan lancar tanpa gangguan dari kritik atau masukan publik?Â
- Isu Keamanan Nasional sebagai Dalih -- Alasan seperti modernisasi militer dan peningkatan profesionalisme TNI sering kali digunakan untuk mempercepat legislasi di sektor pertahanan. Kepentingan militer, yang dianggap lebih mendesak, seolah lebih penting dibandingkan isu-isu seperti hak-hak korban kekerasan seksual atau pengembalian aset hasil korupsi.Â
Namun, di balik urgensi yang dikedepankan, muncul pertanyaan: Apakah benar ini hanya soal modernisasi militer, atau ada agenda lain yang lebih besar di baliknya?
2. Hidden Agenda di Balik Kecepatan Pengesahan RUU TNI?
Saking cepatnya keputusan DPR tentang RUU TNI, sulit untuk tidak berspekulasi mengenai hasil keputusan yang diambil dalam rapat paripurna pada Kamis, 20 Maret 2025. Apakah ada kepentingan terselubung yang mendorong percepatan regulasi ini?
- Ekspansi Peran Militer di Ranah Sipil -- Salah satu poin krusial dalam revisi RUU TNI adalah potensi peningkatan peran militer dalam kehidupan sipil. Jika ini benar, maka pemerintah berisiko memperluas peran TNI di luar tugas pertahanan, yang bisa mengaburkan batas antara otoritas sipil dan militer. Apakah ini tanda bahwa Indonesia ingin kembali ke masa lalu ketika militer memiliki pengaruh besar di luar ranah pertahanan?Â
- Persiapan Jelang Pemilu dan Stabilitas Politik -- Dengan pemilu yang semakin dekat, ada dugaan bahwa pemerintah berusaha memastikan "stabilitas" politik dengan memberikan lebih banyak ruang bagi TNI di sektor-sektor strategis untuk berperan sebagai "penjaga". Stabilitas siapa yang dimaksud tentu masih menjadi pertanyaan besar.Â
- Kompromi dengan Kelompok Tertentu -- Ini juga bisa jadi bagian dari strategi pemerintah untuk menjaga hubungan baik dengan pihak militer. Mengingat dukungan militer yang selalu "berharga" dalam situasi politik tertentu, mungkin ini merupakan kompromi untuk memastikan kestabilan politik dalam jangka panjang.Â
3. RUU TPKS: Kenapa Tidak Secepat Itu?
Berbeda dengan RUU TNI yang begitu mulus jalannya, RUU Perampasan Aset yang bertujuan memperkuat pemberantasan korupsi harus melalui berbagai hambatan. Meskipun bertujuan untuk menyita aset hasil kejahatan, regulasi ini selalu menemui jalan buntu di tahap pembahasan. Mengapa?
- Perlawanan dari Kelompok Konservatif -- Beberapa fraksi politik dan kelompok agama menolak beberapa klausal dalam RUU TPKS dengan alasan "moralitas" dan "nilai budaya". Padahal, korban kekerasan seksual sudah lama menunggu perlindungan hukum yang lebih kuat dan lebih cepat. Penolakan ini justru memperpanjang perjuangan untuk melindungi hak-hak korban.Â
- Kurangnya Urgensi di Mata Penguasa -- Meskipun penting bagi masyarakat, regulasi yang melindungi kelompok rentan sering kali tidak dianggap prioritas oleh pembuat kebijakan. Perlindungan bagi korban kekerasan seksual sering kali terabaikan karena tidak dianggap sebagai masalah mendesak oleh penguasa.
- Minimnya Urgensi dalam Agenda Politik -- Berbeda dengan RUU TNI yang mendapatkan dorongan kuat dari pemerintah, RUU TPKS harus melalui serangkaian revisi dan perdebatan panjang sebelum akhirnya disahkan. Hal ini menunjukkan bahwa RUU TPKS tidak dianggap sebagai prioritas utama, dengan pihak-pihak yang terlibat lebih fokus pada kepentingan politik mereka masing-masing daripada pada kebutuhan mendesak untuk melindungi korban kekerasan seksual.Â
4. RUU Perampasan Aset: Mengapa Belum Disahkan?
Sementara itu, RUU yang satu ini lebih tragis nasibnya. Meski bertujuan memperkuat upaya pemberantasan korupsi dengan cara menyita aset hasil korupsi dan tindak pidanan lainnya, entah kenapa selalu mentok di tahap pembahasan. Beberapa alasannyaÂ
- Resistensi dari Elite Politik -- RUU ini memungkinkan penyitaan aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Hal ini tentu mengancam kepentingan politisi dan pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi, sehingga banyak pihak yang enggan mendukungnya.Â
- Minimnya dorongan politik -- Tidak seperti RUU TNI yang mendapat dukungan cepat dari DPR, RUU Perampasan Aset harus melewati banyak revisi dan perdebatan panjang. Ini menunjukkan rendahnya urgensi di mata DPR untuk menyelesaikan masalah pemberantasan korupsi.Â
- Banyak yang mempertanyakan "potensi penyalahgunaan"Â -- Beberapa pihak khawatir bahwa regulasi ini bisa disalahgunakan secara politis untuk menargetkan lawan-lawan politik tertentu. Walaupun semua undang-undang bisa disalahgunakan, kekhawatiran ini sering muncul hanya ketika membahas regulasi yang menyasar aset hasil korupsi.Â
5. Mundur dari Reformasi? Kekhawatiran Para Aktivis dan Akademisi
Tak hanya masyarakat sipil, tetapi juga ratusan aktivis dan akademisi menyatakan penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI ini. Mereka menilai bahwa regulasi ini berpotensi melemahkan demokrasi dan mengarah pada kemunduran reformasi yang diperjuangkan sejak era kejatuhan Soeharto. Di masa Orde Baru, militer memiliki peran dominan dalam pemerintahan, tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan, tetapi juga sebagai pengatur kehidupan sosial-politik. Konsekuensinya adalah demokrasi terhambat, kebebasan sipil terpinggirkan, dan pelanggaran HAM terjadi tanpa akuntabilitas yang jelas. Oleh karena itu, banyak yang bertanya-tanya apakah pengesahan cepat RUU TNI ini merupakan langkah maju untuk modernisasi pertahanan, atau justru langkah mundur menuju era di mana militer memiliki cengkeraman kuat dalam politik?
Implikasi terhadap Politik & Hukum di Indonesia
Dengan kecepatan pengesahan RUU TNI dibandingkan dengan RUU TPKS dan RUU Perampasan Aset menunjukkan pola yang menarik. Pemerintah dan DPR sebenarnya bisa bekerja cepat jika regulasi tersebut dianggap "cukup penting" bagi mereka. Jadi, jika sebuah RUU memerlukan waktu bertahun-tahun untuk disahkan, bukan karena sistem yang lambat, melainkan karena belum ada yang merasa mendesak untuk mempercepatnya. Ketimpangan ini memperlihatkan jelas bagaimana politik Indonesia masih dipengaruhi oleh kepentingan elite. Lantas, apa dampak yang perlu diwaspadai ke depan?Â
- Potensi Militerisasi dalam Pemerintahan -- Jika benar bahwa RUU TNI memungkinkan militer lebih terlibat dalam sektor sipil, maka ada risiko kembalinya dominasi militer dalam politik, mengingat sejarah kelam era Orde Baru yang penuh dengan kontrol militer terhadap kehidupan politik dan sosial.
- Ketidakadilan dalam Prioritas Legislasi -- RUU yang lebih berdampak bagi rakyat, seperti RUU TPKS dan RUU Perampasan Aset, sering kali terabaikan hanya karena tidak menguntungkan kelompok tertentu. Ini memperburuk citra DPR yang kini lebih dikenal sebagai "Dewan Perampok Rakyat," lembaga yang lebih banyak mewakili kepentingan kelompok tertentu daripada rakyat yang seharusnya diwakilinya.
- Meningkatnya Kecurigaan Publik terhadap DPR -- Pergeseran fokus pada kepentingan elite dan pengesahan RUU tertentu dengan cepat semakin menurunkan kepercayaan publik terhadap DPR. Jika DPR terus mengabaikan aspirasi rakyat, citra mereka sebagai wakil rakyat sejati akan semakin tercoreng, dan kecurigaan terhadap lembaga ini akan terus meningkat.Â
Ketimpangan dalam pengesahan RUU dalam politik Indonesia menimbulkan berbagai pertanyaan tentang transparansi dan prioritas pemerintah dalam merumuskan regulasi. Dugaan adanya hidden agenda semakin memperkuat persepsi bahwa hukum di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kekuatan politik elite. Apakah Indonesia benar-benar semakin mendekat pada keadaan "Indonesia Gelap"?  Apakah masyarakat yang semakin kritis dan aktif dalam mengawasi kebijakan pemerintah dan DPR dapat membawa perubahan, meskipun pemerintah dan DPR cenderung mengabaikan suara rakyat? Apakah benar pengesahan ini merupakan langkah untuk memenuhi urgensi nasional atau ada faktor lain yang memengaruhi keputusan tersebut?Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI