Mohon tunggu...
Julian Abednego Wibisono
Julian Abednego Wibisono Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Rocket up your fantasy beyond supremacy.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Takdir, Impian, dan Penguasa Waktu

11 September 2020   23:00 Diperbarui: 14 September 2020   01:48 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Takdir, sebuah kata benda yang perwujudannya semu namun pasti, nyata tapi tidak jelas. Sedihnya, takdir kadang dapat mengkhianati impian. Hidup sehat sejak dini, namun wafat di usia belia. Bapaknya seorang yang taat beribadah, namun anaknya taat pesta maksiat. Semacam itulah takdir, apa yang sudah direncanakan dan dilakoni dengan matang hari ini belum tentu masa depannya seturut dengan apa yang dikehendaki. Bak film yang dijeda pada suatu adegan kemudian dipercepat beberapa detik untuk mencapai suatu peristiwa berikutnya, demikian pula dewa waktu yang menghentikan detik kondisi kehidupan manusia dan dialihkan kepada kondisi yang sudah ditakdirkan.

Oh iya, apakah kalian percaya dengan eksistensi dewa yang mampu mengendalikan waktu? Tidak perlu dipuja, mereka selalu ada untuk menjadi pelengkap kehidupan kalian.

            "Cepat hitung semuanya, Pelayan!"

"Totalnya 77 rular, Tuan."

            "Err. . ini 80 rular. Ambil saja sisanya," ucap seorang pemuda yang setengah mabuk.

            "Terima kasih, Tuan. Apakah Anda ingin mengadakan pesta yang besar, Tuan?" tanya pelayan itu dengan ramah sambil menaruh tujuh botol bir itu ke dalam kantong plastik.

            "Err. . bukan urusanmu." Pemuda itu mengambil barang belanjanya secara kasar dan pergi ke luar dengan langkah yang tidak beraturan menuju mobil Volvo tuanya.

            "Chronos, bersiaplah! Segeralah kamu hampiri seorang remaja yang bernama Ponix Amale. Dia akan berada di depan gerbang sekolahnya di kota Solis sekitar lima menit dari sekarang. Dia membutuhkanmu," ucap si pelayan kepada rekan kerjanya.

            "Laksanakan, Kai!" Tanpa basa-basi, Chronos sigap menjalankan tugas tersebut.

Tunggu dulu. Jangan mengira kisah ini tentang pemuda mabuk dan kedua pelayan kafe 'Time Trio' yang ramah dan berpakaian rapi tadi. Sang karakter utama dalam kisah ini adalah seorang remaja berumur tujuh belas tahun yang cerdas dan pemberani. Dia bercita-cita menjadi seorang polisi yang kuat, bijak dan baik hati dalam melindungi dan melayani orang yang membutuhkan tanpa memandang bulu. Seorang remaja ini bernama. . .

            "Oh iya, siapa namanya?"

            "Ponix Amale."

            "Betul. Ponix Amale. Terima kasih sudah mengingatkan, Kai."

Bel pulang sekolah telah berdenting, siswa-siswi bersiap-siap untuk kembali ke rumahnya. Akan tetapi, di salah satu kelas di mana Ponix berada, terjadi sebuah drama yang tidak seorang pun menduganya. Dua orang perempuan yang manis menghampiri Ponix.

            "Poik. . amu mau ulan beama denku?," ucap Mei, si perempuan itu.

            "Em. . Mei? Maaf, aku enggak mengerti maksudmu," balas Ponix.

            "Mei tadi bertanya 'kamu mau pulang bersama denganku?'. Paham?" terang Eris.

            "Em. . maaf, Mei, Eris. Aku harus pergi duluan."

Panik dan peluh hinggap, Ponix langsung berlari ke luar. Dia kebingungan bagaimana harus merespon. Dia tidak pandai dan sangat gugup ketika bercengkrama dengan perempuan. Tambah lagi, dia tidak paham jika berbicara dengan Mei sebab dia seorang tunarungu dan tunawicara. Eris berusaha menghibur Mei supaya dia tidak merasa kecewa. Tetapi sebaliknya, Mei menjadi semakin berapi-api untuk mengejar Ponix.

Mei pergi ke luar kelas, menuruni tangga, dan menyusul lelaki yang dia sukai itu sampai di depan gerbang sekolah. Setelah dia berhasil melihatnya, dia berteriak, "Poik!" sekeras mungkin, secara berulang kali.

Ponix berhenti. Dia merasa lengah. Kali ini dia menengok ke belakang, menatap Mei dengan degupan jantung yang membalap. Jika hanya sesama teman laki-laki masih tidak masalah. Parahnya, Ponix tidak terbiasa berbicara dengan perempuan sebab dia takut salah bicara terhadap perempuan. Namun kali ini, dia ingin mencoba membuka diri dan berubah.

            "Jangan mendekat dan cukup diam di situ! Apa maumu?"

Sungguh respon yang sangat brutal dari seorang Ponix Amale. Setelah menerima kata-kata seperti itu, Mei mengeluarkan sebuah amplop merah muda dari saku roknya, dan berusaha memberikannya kepada Ponix agar dia lebih mengerti maksud dari tindakan Mei daripada harus menerka rangkaian kata yang keluar dari mulut Mei. 

Sekali lagi, Ponix memberanikan diri untuk mengambil surat itu, namun Ponix berjalan ke arah Mei sambil menutup matanya dan perlahan berjalan ke arahnya. Ketika amplop itu hampir diraih oleh Ponix, pemuda mabuk yang mengendarai mobil Volvo tadi menghempaskan Mei ke tembok gerbang sekolah. Nyawa Mei dan pemuda itu tidak terselamatkan.

Sesaat setelah kejadian itu, Ponix membuka matanya, terdiam lemas memandang kedua jasad di depannya. Seorang lelaki yang bermimpi menjadi polisi itu tidak henti menyalahkan dirinya karena gagal melindungi orang di sekitarnya. Dalam hatinya, dia mengecap dirinya sebagai sebuah kegagalan. Menjerit tanpa suara, menangis tanpa air mata, begitulah kondisinya. Pada saat yang tepat, Chronos telah tiba dan menjumpai Ponix.

            "Permisi. Apakah kau yang bernama Ponix Amale?"

            "I-iya. Itu namaku, si payah ini."

            "Hai, Ponix. Namaku Chronos. Apa keluhanmu?"

Ponix menceritakan semua kronologi yang terjadi di depan matanya serta menceritakan perasaannya sekarang. Tanpa berlama-lama, Chronos menjentikkan jarinya. Secara ajaib, dia membalikkan semua keadaan pada lima menit sebelum peristiwa tragis itu terjadi. Ponix yang tiba-tiba berada kembali di dalam ruang kelas terkejut saat melihat realita yang berubah seketika. Sementara itu, Chronos duduk di samping Ponix.

            "Hei, Nak. Cepatlah bertindak. Waktumu sisa lima menit," bisik Chronos.

            "Bertindak? Apa maksudmu?" tanya Ponix sambil mengangkat satu alisnya.

            "Apa kau lupa? Sebentar lagi, perempuan yang duduk di sana akan meninggal karena ulah bodohmu." Chronos menunjuk ke arah Mei.

            "Mei? Mei!" Ingatan Ponix mulai kembali.

Bel pulang sekolah telah berdenting, siswa-siswi bersiap-siap untuk kembali ke rumahnya. Akan tetapi, di salah satu kelas di mana Ponix berada, terjadi sebuah drama yang tidak seorang pun menduganya. Dua orang perempuan yang manis menghampiri Ponix.

            "Chronos, temanku, apa yang harus aku lakukan?" rengek Ponix.

            "Bukannya kau ingin menjadi polisi seperti yang kau impikan? Kalau begitu bertindak secara dewasalah dan bentuk karakter itu mulai dari sekarang."

Chronos menghilang. Saat itu juga, ketika Mei dan Eris tiba di depan Ponix, secara agresif, Ponix menarik lengan Mei dan pergi ke luar bersamanya. Pada kesempatan ini, Ponix memberanikan diri untuk mengobrol dengannya. Di sisi lain, wajah Mei memerah, malu mengungkapkan isi hatinya apalagi setelah melihat sikap Ponix yang begitu agresif. 

Mei mengeluarkan sebuah amplop merah muda dari saku roknya dan dan berusaha memberikannya kepada Ponix agar dia lebih mengerti daripada harus menerka rangkaian kata yang keluar dari mulut Mei. Surat telah diterima, dan Mei pergi meninggalkan Ponix dengan perasaan malu sekaligus bahagia. Chronos muncul kembali.

            "Ponix! Apa yang kau pikirkan? Mengapa kau biarkan Mei pergi sekarang?"

            "Em. . . bukannya aku sudah mengatasi rasa takutku? Hanya itu saja yang harus aku lakukan, bukan?" jawab Ponix dengan santai.

            "Itu saja? Ayo sini." Mereka berdua menyusul Mei ke depan gerbang sekolah.

Untuk kedua kalinya, Ponix menyaksikan Mei dan pemuda yang mabuk itu meninggal di hadapannya. Seorang lelaki yang bermimpi menjadi polisi itu tidak henti menyalahkan dirinya karena gagal melindungi orang di sekitarnya. Dalam hatinya, dia mengecap dirinya sebagai sebuah kegagalan. Menjerit tanpa suara, menangis tanpa air mata, begitulah kondisinya. Akan tetapi, kali ini Ponix langsung memperhatikan sekitarnya.

            "Chronos, tolong ulangi sekali lagi. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku lagi."

            Dan sekali lagi, Chronos menjentikkan jarinya. Secara ajaib, dia membalikkan semua keadaan pada lima menit sebelum peristiwa tragis itu terjadi.

            "Ponix, apa kau masih mengingat siapa aku dan apa yang akan terjadi setelah ini?" Chronos bertanya sekaligus untuk menyadarkan Ponix.

            "Chronos?" tanya Ponix sambil menatap pintu gerbang sekolah dari dalam kelas.

            "Iya?"

            "Aku baik-baik saja. Aku paham apa yang harus aku lakukan." Ponix tersenyum.

Bel pulang sekolah telah berdenting, siswa-siswi bersiap-siap untuk kembali ke rumahnya. Akan tetapi, di salah satu kelas di mana Ponix berada, terjadi sebuah drama yang tidak seorang pun menduganya. Dua orang perempuan yang manis menghampiri Ponix.

Ponix akhirnya sudah terbiasa bercengkrama dengan teman-teman sekelasnya yang perempuan. Dengan bantuan Eris, Ponix mampu memahami dan menikmati waktu mengobrol dengan Mei. Lima puluh sembilan detik sebelum lima menit berakhir, Ponix menarik lengan Mei dan membawanya ke luar kelas. Chronos muncul kembali.

            "Ponix, kau mau pergi ke mana?"

            "Bukannya sudah jelas?" Ponix kembali tersenyum kemudian pergi.

Pada babak ini, Ponix telah siap berjaga untuk menghalau si pemuda yang mabuk tadi, setidaknya melesetkan mobilnya yang akan menghantam tembok gerbang sekolah. Disuruhnya Mei berdiam diri tepat di belakangnya. Walau terdengar gila, Ponix tetap akan meneruskan tindakannya sebab impiannya yang baru, yakni untuk membentuk karakter yang tepat sebelum menjadi polisi.

Volvo tua yang dikendarai pemuda mabuk itu akhirnya muncul. Sesuai perhitungan, Ponix menutup, mengunci pintu gerbang sekolah, dan "BAM!", mobil tersebut terhentikan. Tepat sekali. Mobil itu menuju ke arah manapun Mei berada, maka dari itu Ponix menempatkan Mei di belakangnya. Nyawa pemuda yang menyetir mobil Volvo juga telah terselamatkan karena tekanan tabrakan yang dia terima tidak separah ketika menabrak tembok yang lebih solid. Ponix menyimpan segala realita yang terjadi di dalam hatinya.

            Sementara itu, waktu seketika berhenti saat Kai menghampiri Eris di ruang kelas.

            "Lama tidak berjumpa, Eris, sang dewi perselisihan."

            "Sangat tidak terduga. Kairos, Chronos, dan Aion, tiga sosok dewa waktu menghentikan permainanku."

            "Bukan kami, tetapi Ponixlah pahlawannya. Segera juga, lepaskan kutukan yang kau letakkan pada Mei, atau kau akan rehat dari semesta ini."

            "Benar juga. Kutukanku tidak akan mempan melawan kekuatan mahadahsyat kalian."

Eris mengalah, karena jika tidak dia akan dikurung di 'penjara waktu' mereka. Dia melepaskan kutukannya, lalu semua tentang Eris telah lenyap. Seketika waktu telah kembali normal. Ponix berhasil menjadi pahlawan hari ini.

Sepuluh tahun berlalu, Ponix menepati janjinya. Kini, realita yang dicapainya melebihi impian yang dia impikan dahulu, namun hal itu tidak mematahkan karakteristik sempurna yang telah diemban olehnya. Malam ini, Ponix dan Mei menikmati sajian malam di kafe 'Time Trio' dengan menggunakan tiket promo pemberian Mei sewaktu di sekolah.

            "Cepat hitung semuanya, Teman!" sapa Ponix kepada Chronos.

            "Laksanakan, Mayor Ponix!" Kali ini Chronos, saudara kami, tersenyum.

Sekalipun aku, Kairos, dan Chronos adalah dewa waktu yang tidak perlu disembah, kami selalu membenahi dimensi waktu kalian agar takdir dan impian segenap makhluk hidup tetap stabil dan memiliki arti bagi sekitarnya. Akhir kata dariku. Salam hangat. Aion.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun