KH. Abbas bin Abdul Jamil adalah sosok ulama besar sekaligus pejuang kemerdekaan yang memiliki peran sangat penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, terutama dalam peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Ia lahir pada tahun 1879 di Pekalangan, Cirebon, sebagai putra sulung dari KH. Abdul Jamil, yang merupakan penerus Pondok Buntet Pesantren, sebuah pesantren tertua yang didirikan oleh Mbah Muqoyyim pada abad ke-18.
Keluarga KH. Abbas memiliki garis keturunan ulama dan mufti Kesultanan Cirebon yang dikenal tegas menentang penjajahan Belanda. Sejak kecil, KH. Abbas dididik langsung oleh ayahnya dan para ulama terkemuka di wilayah Cirebon, seperti KH. Kriyan Buntet dan KH. Hasan Jatisari, yang menanamkan nilai-nilai keagamaan dan semangat perjuangan dalam dirinya.
Dalam perjalanan menuntut ilmu, KH. Abbas melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Tebuireng, Jombang, yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy'ari, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama yang sangat berpengaruh. Di sana, KH. Abbas semakin mengasah ilmu agama dan kepemimpinannya. Tidak hanya itu, ia juga menimba ilmu di Makkah dari ulama-ulama besar seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syekh Mahfudh at-Termasi.
Sepulang dari Tanah Suci, KH. Abbas menjadi santri senior yang dihormati dan bahkan membimbing para pelajar dari Nusantara yang menuntut ilmu di Makkah, menunjukkan kapasitasnya sebagai ulama yang mumpuni dan pemimpin spiritual yang disegani.
Setelah menuntut ilmu di berbagai tempat, KH. Abbas kembali ke Cirebon dan mengambil alih kepemimpinan Pondok Buntet Pesantren. Di bawah kepemimpinannya, pesantren ini berkembang pesat menjadi pusat pendidikan agama sekaligus basis pergerakan sosial dan perjuangan kemerdekaan.
KH. Abbas menerapkan metode pembelajaran yang menggabungkan sistem formal berupa madrasah dan sistem nonformal melalui pengajian kitab kuning, yang menjadi ciri khas pesantren tradisional. Selain itu, ia membekali para santri dengan keterampilan kewirausahaan dan ilmu bela diri sebagai persiapan menghadapi tantangan perjuangan kemerdekaan.
Pondok Buntet juga menjadi tempat lahirnya laskar-laskar jihad seperti Hizbullah, Sabilillah, dan PETA, yang berperan besar dalam perlawanan terhadap penjajah.
Peran KH. Abbas dalam perjuangan kemerdekaan sangat sentral, terutama dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya yang menjadi titik balik perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Bersama para ulama Nahdlatul Ulama, ia turut merumuskan Resolusi Jihad yang menjadi landasan spiritual dan moral bagi rakyat untuk melawan penjajah.
KH. Hasyim Asy'ari secara khusus meminta KH. Abbas memimpin laskar santri dalam pertempuran tersebut, bahkan menunda serangan hingga KH. Abbas tiba di Surabaya. Sebagai komandan tertinggi Laskar Hizbullah, KH. Abbas mengorganisasi pasukan dari berbagai daerah, membangun jaringan intelijen, dan membakar semangat juang para pejuang.
Ia dikenal dengan julukan "Singa dari Jawa Barat" karena keberanian dan karomahnya. Dalam cerita rakyat perjuangan, KH. Abbas digambarkan memiliki kekuatan spiritual luar biasa, seperti mampu mengubah biji kacang menjadi tentara dan menggunakan tasbih untuk menghancurkan pesawat musuh, simbol dari kepemimpinan dan kekuatan spiritual yang dimilikinya.
KH. Abbas wafat pada tahun 1946 dan dimakamkan di kompleks Pondok Buntet Pesantren, Cirebon. Warisannya tidak hanya berupa lembaga pendidikan yang terus berkembang, tetapi juga semangat jihad dan cinta tanah air yang diwariskan kepada generasi santri dan masyarakat luas.
Perjuangannya diakui sebagai bagian penting dalam sejarah Hari Pahlawan, dan ia dikenang sebagai ulama pejuang yang mengabdikan hidupnya untuk agama, bangsa, dan negara.
Selain sebagai pejuang fisik, KH. Abbas juga dikenal sebagai mursyid tarekat Syattariyah dan Tijaniyah, yang menunjukkan kedalaman spiritual dan keilmuan yang dimilikinya. Kepemimpinannya menjadikan Pondok Buntet sebagai benteng pertahanan laskar Hizbullah dan pusat perjuangan santri melawan penjajah.
KH. Abbas bin Abdul Jamil adalah sosok ulama, pendidik, sekaligus pejuang yang menjadi inspirasi dalam sejarah Indonesia. Kepemimpinannya dalam Pertempuran 10 November 1945 membuktikan bahwa peran ulama dan santri sangat vital dalam mempertahankan kemerdekaan.
Dedikasi dan pengorbanannya menjadikan beliau sebagai salah satu pahlawan bangsa yang patut dikenang sepanjang masa, tidak hanya sebagai tokoh agama tetapi juga sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan. Pesantren Buntet yang dipimpinnya tetap menjadi pusat pendidikan Islam dan simbol perjuangan santri yang terus menginspirasi hingga kini.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI