Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Wartawan Itu Saksi Peristiwa

11 Juni 2021   17:01 Diperbarui: 11 Januari 2022   15:32 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Susi Susanti dan Alan Budikusuma berpose untuk wartawan-wartawan Indonesia setelah usai pertandingan di Pavello de Marbella, Barcelona 4 Agustus1992. Foto: Jimmy S Harianto (1992)

Wartawan itu saksi peristiwa. Kata-kata Jakob Oetama ini mengiang di telinga seperti mantram, karena setiap kali diungkapkan beliau saat Rapat Besar tiga bulanan bersama seluruh wartawan dan anggota Redaksi dengan Pemimpin Umum Harian Kompas.

Mantram ini juga sering kali diucapkan hampir di setiap Rapat Pagi maupun Rapat Sore dengan segenap Redaktur untuk evaluasi harian liputan kemaren, perencanaan liputan hari itu, maupun hasil liputan yang akan disajikan esok hari -- dalam Rapat Sore yang di Kompas biasa disebut sebagai "Rapat Budgeting". Budgeting berita apa yang bisa di-share pada publik esok hari, tentunya. Sama sekali bukan rembukan tentang budgeting finansial.

Pak Jakob (selanjutnya saya sebut Pak JO) tidak hanya menguasai teori dasar jurnalistik, ataupun publisistik, dan ilmu politik. Akan tetapi ia juga kuat melobi berbagai kalangan, bergaul dengan wartawan peliput lapangan dan fasih mengajarkannya setiap hari pada anggota Redaksi melalui rapat temu muka, yang tidak jarang bisa berlangsung berjam-jam pada saat-saat penting.

Pak JO ini juga bukan tipe boros kata. Atau hamburan kata-kata bos yang hanya menghitung untung. Setiap kata yang dikeluarkan dari mulut seperti sudah diperhitungkan isi, konteks dan--juga tak ketinggalan--berbagi filosofi. Beliau jago ekonomisasi kata-kata, agar tidak berhamburan kata-kata tak perlu. Tiada hari tanpa "pelajaran hidup" jika bertemu muka dalam rapat-rapat Redaksi seperti itu dengan Pak JO.

Selorohnya? Yang paling sering ya: Ha, ha, ha.... You boleh! Sembari tangan kanannya mengusap bagian wajah, dari hidung sampai ke mulut. Khas Pak JO. Dan salah satu kata kesenangannya adalah kata: Passion!

Ya, menurut Pak JO, wartawan itu harus memiliki "passion". Dimana pun ia berada, harus selalu ada passion di dirinya. Ditaruh di bidang yang tidak disukai sekalipun? Kudu memunculkan passion, menghayati bidang yang dikerjakannya dengan mendalam. Mengerti yang dilakukan, dan melakukannya pun sepenuh hati, bukan seperti robot yang mengeksekusi perintah sang majikan. Selesai dikerjakan, habis perkara!

Tidak heran, jika wartawan Kompas -- di era belum digital dan serba "real time" dalam satu klik jari tangan seperti sekarang ini -- wartawan itu kudu meliput langsung di lapangan. 

Wartawan Kompas kudu aktif wawancara dengan narasumber di lapangan, serta wawancara narsum lain untuk framing peristiwa yang terjadi. Bukan cuma jadi "wartawan statistik" lihai bermain angka, bermain rekor, bermain data tercatat dalam rekaman arsip, akan tetapi juga harus menjadi "wartawan liputan" yang hadir langsung di lapangan, dan melakukan wawancara langsung. Bukan memutar rekaman dari cakram rekam teman yang hadir, atau bahkan lebih parah lagi copy paste dari berbagai sumber. (Yang terakhir ini, mestinya hanya pantas dilakukan oleh wartawan pensiunan seperti saya, tanya mbah Google, dan klik mbah Wiki, atau nyontek arsip pdf, paling-paling baca buku untuk framing tulisan dan ngobrol dengan narsum secukupnya...)

Mengapa wartawan harus hadir di lapangan, pada saat kejadian, meskipun sudah banyak wartawan lain bahkan kamera televisi yang mengabadikannya? Ya tidak lain "wartawan itu saksi peristiwa". Bukan cuma jadi 'kemporter' alias kempongan reporter, alias menulis dari liputan orang lain seperti wartawan pensiunan saja. Itu liputan bo'ongan, liputan pangsiunan.

(Tidak heran jika ketika Pak JO wafat pada 9 September 2020 silam, Ganjar Pranowo yang merasa diri dulu pernah jadi "cah ra cetho" alias bocah ora jelas di hadapan Jakob Oetama saat Gubernur Jawa Tengah ini masih muda, Ganjar katakan bahwa "Pak Jakob Oetama itu tokoh media yang menjadi saksi hidup perubahan besar bangsa Indonesia...," Antara 9/9/2020).

Apakah "wartawan liputan" itu sudah tidak diperlukan, pada zaman yang serba "dudal-dudul" dari gadget habis perkara? Ngapain, kata pemimpin surat kabar masa kini, koran harus mengirim wartawan ke pertandingan Piala Eropa yang kini akan mengharu-biru jagat olahraga? Atau turnamen tenis Grand Slam Perancis Terbuka yang diawali dengan huru-hara mundurnya jagoan tenis kebanggaan Asia, Naomi Osaka? Ngabisin budget?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun