Wartawan, pada masa Jakob Oetama masih Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi harian Kompas, adalah "aset perusahaan". Bukan hanya sekrup pabrik, yang puas dengan posisi sekrup. Wartawan harus menjadi saksi peristiwa, saksi kejadian dan bahkan saksi zaman seperti Pak JO. Dan pada saatnya, wartawan itu juga harus menjadi pemimpin yang tentu saja penuh pengalaman liputan, dan pengalaman menulis. Sehingga tulisannya tidak kering berisi statistik melulu, catatan data melulu.
Akan tetapi juga ada "duduh" (kuah pada sayur di meja makan) berupa penggambaran atmosfer atau suasana peristiwa yang tengah atau pernah disaksikan langsung. Dan tidak sekadar menyajikan tulisan yang kering kerontang seperti gorengan dengan minyak jenuh mbah Google dan mbah Wiki semata.
Apakah tiada guna, mengirim wartawannya ke lapangan, dalam peristiwa olahraga seperti Piala Eropa, UEFA Euro 2020 seperti yang sekarang tengah akan berlangsung ini?
Bagi sebuah media besar, yang menganggap "wartawan adalah aset perusahaan" dan bukan sekadar buruh, tentu menjadi saksi berbagai peristiwa itu perlu. Meski liputan rutin sudah dihabisin oleh media televisi, media cetak raksasa dunia, atau kantung berita (pool pemberitaan) seperti juga terjadi di setiap peristiwa dunia. Setidaknya, wartawan di zaman "dudal-dudul" ini seharusnya masih menjadi saksi peristiwa. Dan ia bisa menceritakan, nuansa di balik berita. Tidak sekadar berita tertulis hasil liputan dunia, yang tentu saja habis dilalap semua media. Akan tetapi juga menulis berita yang memiliki "kedekatan" dengan publik pembacanya, publik Indonesia tentunya. Bukan versi mata Barat semata.
Proximity, kedekatan juga harus dihadirkan di zaman jurnalisme serba real time, dudal-dudul seperti sekarang ini. Sehingga peristiwa yang jauh di mata, di Eropa, bisa hadir ke Jakarta sesuai dengan kedekatan hati publik pembacanya. Menghadirkan suasana Eropa dengan nuansa yang perlu diketahui oleh warga Jakarta, warga Nusantara.
Bagaimana seorang tidak terjerumus menjadi semata-mata wartawan statistik, jika tidak pernah melihat langsung -- bagaimana suasana merdekanya tribun Roland Garros di 2 Avenue Gordon Bennet, 16e Arrondissement Paris? Bagaimana enaknya pelayanan terhadap jurnalis, kalau tak boleh dibilang terbaik jika dibandingkan dengan Grand Slam lain, Wimbledon, ataupun Australia Terbuka? Bagaimana bisa mengungkap sisi lain serta memahami peristiwa Naomi Osaka, yang didenda jutaan hanya karena menolak tampil dalam jumpa pers di Roland Garros, kalau tak pernah merasakan betapa hangatnya suasana wawancara di ruang pers dengan para petenis, di Perancis Terbuka, Australia Open, Wimbledon, atau berbagai kejuaraan sepak bola Eropa, Piala Dunia dan Olimpiade? Semua pengalaman itu akan memperkaya wawasan sang wartawan yang bukan hanya sekrup perusahaan. Dan suatu ketika si wartawan akan ikut menjalankan roda perusahaan.
Suatu ketika jadi komentator olahraga, komentar politik? Akan terlihat, mana yang dulunya menjadi "saksi peristiwa" seperti mantram jurnalistik yang diungkapkan oleh Pak Jakob Oetama. Atau hanya seumur-umur 'kemporter' yang pengalamannya semata-mata mengoper berita, dari dunia maya ke dunia nyata. Tanpa beranjak dari tempat duduk....*
(Jimmy S Harianto, wartawan Kompas 1975-2012)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H