Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Potret Emosional dalam Karya-karya Kartono Ryadi

2 Juli 2020   16:29 Diperbarui: 7 Juli 2020   02:37 1754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diolah Penulis | Sumber foto: dok. Karono Ryadi

Potret Emosional dalam Karya-karya Kartono Ryadi

Andai saat lahir dia sudah bisa memotret, maka potret-potret yang dibuat Kartono akan sangat dramatis. Kartono Ryadi alias Go Joe Kiat lahir di Pekalongan saat tiga wilayah Pekalongan yakni Brebes, Tegal, Pemalang sedang mengalami pergolakan akibat politik Tanam Paksa oleh kolonial Belanda.

Go Joe Kiat lahir di Pekalongan pada 30 Juni 1945, jelang kemerdekaan Republik Indonesia, dan meninggal di Jakarta sudah pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 31 Agustus 2005.

Potret-potret wartawan foto Kompas yang lama tinggal di Gang Sentiong Kramat Jakarta Pusat ini umumnya menyentuh rasa kemanusiaan, dari ekspresi sedih, senang, gejolak, kacau, atau mengangkat yang tak terlihat mata orang biasa, menjadi sesuatu yang menyentuh.

Dari Pangeran Bernhard dari Belanda memeluk orang utan ketika berkunjung ke Indonesia (1975), sampai mata Susi Susanti berkaca-kaca sampai menitikkan air mata, lantaran untuk pertama kalinya Indonesia berhasil meraih medali emas di arena Olimpiade Barcelona, melalui raket bulu tangkisnya (1992).

Sejarawan Onghokham (1975) menuliskan, Pekalongan secara sosio-ekonomis pada 1945 itu diwarnai tekanan, penindasan, kesengsaraan dan kemelaratan akibat dijalankannya politik Tanam Paksa. 

Eksploitasi di lapangan ekonomi tidak saja dijalankan oleh pemerintah jajahan, akan tetapi juga oleh penguasa-penguasa tradisional. Sejak di dalam perut ibunya pun, Kartono sudah mengalami berbagai tekanan hidup.

Nah, Kartono Ryadi sebagai fotografer kebetulan juga banyak menyiratkan suasana keterjajahan suasana hati pada masa pemerintahan otoriter Orde Baru, era Soeharto. 

Di tengah pembatasan ketat pada jurnalis-jurnalis tulis, Kartono Ryadi sebagai wartawan foto bisa menangkap sisi-sisi menyentuh melalui jepretan kameranya, yang masih pakai filem seluloid. 

Tingkat kesulitan tersendiri, pakai filem seloloid jika dibanding dengan fotografi era digital yang bisa langsung tahu hasil jepretannya saat itu juga, real time. Memotret pakai seluloid, benar-benar memotret pakai khayalan, abstrak, baru tahu hasilnya setelah berjam-berjam memotret.

Kartono itu makhluk penuh akal. Tidak hanya suka ngerjain teman dalam candanya setiap hari, akan tetapi juga mencari akal dalam serba keterbatasan sikon. 

Sebelum ada teknologi foto melalui drone? Kartono Ryadi biasa memanjat pagar, memanjat gedung, atau menyandarkan skuter Vespa-nya, dan berdiri di atas sadel untuk memotret obyek di balik tembok pabrik, misalnya.

Sebelum ada teknologi internet? Pakai cara siluman, mengirimkan rol filem hasil potretannya melalui Bandar udara, mencegat penumpang yang mau berangkat ke Jakarta untuk dititipi filem. Ini terjadi misalnya, di pesta olahraga SEA Games Bangkok 1983, 1985, Asian Games 1986, Olimpiade 1992 dan berbagai event Piala Dunia Sepak Bola (World Cup) seperti Piala Dunia 1994 Amerika Serikat.

Saya kebetulan sering menjemput rol filem Kartono Ryadi di arena olahraga. Entah itu di ring tinju SEA Games Singapura, arena atletik SEA Games Bangkok, arena bulu tangkis Olimpiade Barcelona untuk kemudian saya larikan ke bandara. Mencegat penumpang yang mau dititipi rol filem (ini tidak mudah, orang cenderung nggak mau dititipi barang, takut dititipi narkoba), itu perlu trik tersendiri. 

Dan di Bandara tujuan, entah Halim Perdana Kusuma maupun di Cengkareng, si penumpang yang membawa rol filem sudah dijemput mobil dinas kantor Redaksi Kompas, dan si penumpang yang baik hati itu diantarkan sampai ke rumah. 

Ini trik Kompas, untuk mengakali cepat kirim foto ke Tanah air, sehingga pembaca Kompas sering bertanya-tanya, bagaimana Kompas bisa memuat foto olahraga secepat itu? Dan selengkap itu?

Langganan Overweight

Perlengkapan telephoto juga dimiliki Kompas. Dan Kartono Ryadi paling sering "kebagian" overweight bagasinya, karena perlengkapan fotonya tersebut berat-berat luar biasa. 

Dari lensa 1000 mm yang panjangnya sepaha, sampai perlengkapan telephoto yang koper khususnya beratnya setengah mati. Kartono perlu menyediakan khusus stroller pembawa bagasi untuk menggeret perlengkapan telephoto nya, dari bandara ke hotel tempat kami menginap.

Bisa dibayangkan, jika untuk mengirim satu frame foto via telephoto, perlu setidaknya setengah jam, sampai sejam kalau terganggu error sinyalnya. Diulang dari awal lagi bila error. Belum kudu mencuci filem dulu, dengan "kantung gelap" di tangan, sebagai ganti kamar gelap. Bagaimana bisa mengejar deadline kalau kudu mengirim semuanya via telephoto?

Tidak hanya langganan overweight bagasi pesawatnya, yang seharga seribuan dollar lebih. Kartono sangat sering, mendapat tagihan pulsa telpon hotel membengkak, lantaran peralatan telephoto memerlukan waktu jam-jaman untuk pengiriman foto-foto utamanya ke Redaksi Kompas di Jakarta.

Di arena olahraga multi event di berbagai belahan dunia, seperti SEA Games, Asian Games, Olimpade, atau Piala Dunia Sepak Bola kami tim Kompas biasanya dulu berangkat bertiga, berlima bahkan berdelapan. 

Di Barcelona 1992, bahkan kami mengontrak sebuah rumah di tengah kota dari seorang Peru yang tinggal di Spanyol, selama sebulan penuh untuk keperluan liputan bertujuh termasuk Kartono Ryadi. Mengantisipasi momen bersejarah, emas pertama kalinya bagi Indonesia sejak keikutsertaan di Olimpiade sejak 1952 Helsinki, Finlandia maka perlu kami mengontrak khusus rumah di Barcelona. Tentu saja, tidak murah.

Sehari-hari di Jakarta, Kartono Ryadi memiliki kebiasaan selalu mampir di Mess Wartawan Kompas di Kramat Kwitang IB no 17 Jakarta Pusat. Rutin, selepas dia mengantar isterinya, Kristianti yang berangkat bekerja di Gramedia Jakarta Kota, pagi-pagi sekali Kartono singgah di mess. 

Skuter bututnya berwarna coklat muda, selalu membangunkan kami (1975) ketika ia menyandarkan kendaraan kumuhnya (jarang dicuci) di asrama kami. Ia mampir di Mess Kwitang, menunggu telpon dari kantor, menunggu perintah (assignment) khusus dari Redaksi Kompas di Palmerah Selatan.

Lokasi Mess Kwitang, sengaja dipilih Kompas di jantung kota Jakarta Pusat. Lantaran tempat tersebut sangat dekat ke berbagai spot penting pemberitaan baik itu untuk berita politik (Istana Negara) ataupun ekonomi (Departemen Keuangan). Spot itu memang merupakan sumber berita penting harian Kompas yang berbasis berita-berita politik dan ekonomi, di samping juga human interest.

Gaya Kartono Ryadi sehari-hari tidak pernah berubah, jika mampir di Mess Kwitang. Duduk bersilang kaki di kursi anyam plastik di garasi motor kami, mengisap rokok Gudang Garamnya, serta membolak-balik lembar koran Kompas yang pagi-pagi sekali biasanya sudah sampai di asrama.

"Bo, hari ini Rendra main di TIM?" tanya Kartono. Ya, foto-foto Kartono Ryadi pada berbagai pementasan penyair dan dramawan Rendra juga sangat sering menghiasi lembar budaya Kompas. Rendra merupakan salah satu obyek foto menarik, dengan latar belakang hitam, kontras dan eye catching untuk Kompas yang masih hitam putih pada tahun 1970-an itu. Apalagi kalau kericuhan terjadi. Pentas dramawan Rendra sering dihentikan oleh aparat keamanan dengan lemparan bom amoniak, lantaran kritikan-kritikan tajamnya pada pemerintah Orde Baru, terutama orasi Rendra terhadap keluarga Cendana....

Tidak terasa, Kartono Ryadi sudah mendahului kita menghadap Sang Pencipta lima belas tahun tahun silam. Jejak salah satu fotografer emas negeri ini terasa begitu tegap langkahnya, menjadi tambah sepi juga tanpa kehadirannya....

* JIMMY S HARIANTO (Taman Alfa Indah, 02/07/2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun