Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tjung Ban Hok, Keren Juga Kok!

18 April 2017   09:51 Diperbarui: 18 April 2017   15:26 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

 

Pak Ahmadi Hadibroto mengantar status 'dari Soe Hok Gie hingga Rudi Hartono, lalu Ahok' yang kemarin diteruskan di wall pribadinya dengan kalimat yang sangat menarik. Berikut saya kutipkan :

'Buat teman-teman para Akuntan Indonesia, ingatlah 9 dari 11 pendiri Ikatan Akuntan Indonesia pada tahun 1957 adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.'

Pagi ini saya menelusuri komentar rekan-rekan beliau di sana. Salah satu dialog membetot perhatian dan membuat saya terhenyak seketika. Penggalannya --- obrolan antara pak Ahmadi Hadibroto (AH) dengan rekan beliau (YT) --- adalah sebagai berikut ini :

YT : Nama saya udah Indonesia banget sih, dan udah Indonesia luar dalam.

AH : Pada masa itu belum ada yang ganti nama, tapi ke-indonesia-an mereka tidak diragukan.

YT : jaman itu belum wajib ganti nama ya pak? Semoga setelah ganti nama makin DITERIMA ya hehe. Bukan malah dibeda-bedakan apalagi untuk urusan yang kurang tepat --- (penggantian dengan huruf besar pada kata 'diterima' sebagai penekanan saya atas pemicu keterhenyakan di atas tadi - red).

 

+++

 

Suatu masa, di tengah kekuasaan Suharto dan Orde Baru selama 32 tahun itu, dikeluarkanlah kebijakan bagi turunan Tionghoa untuk mengganti nama asli mereka dengan sesuatu yang 'terdengar' lebih Indonesia. Tulisan yang menggunakan aksara leluhur mereka di ruang-ruang publik pun tak lagi diperkenankan. Kemudian, banyak turunan dari kelompok itu yang menuruti. Sudono Salim, Williem Soerjadjaja, Eka Tjipta Wijaya, hingga Basuki Tjahaja Purnama adalah sebagian diantara 'korban'-nya.

Di masa kepemimpinan Gus Dur, semua kebijakan berbau diskriminatif itu dicabut. Masyarakat Tionghoa di Indonesia bahkan bisa menerbitkan harian (surat kabar) resmi yang menggunakan aksara dan bahasa moyangnya. Sejak 16 tahun lalu, Metro TV bahkan menyiarkan program berita regular 'Metro Xin Wen' yang diantar dengan bahasa Mandarin. Barongsai pun hadir di mal-mal dan pusat keramaian saat Perayaan Imlek.

 

+++

 

Saya tak pernah memahami bagaimana mungkin penggantian nama mampu mengubah kesejatian identitas seseorang. Apalagi jika dilakukan bukan karena sebuah penghormatan. Seperti gelar maupun julukan yang disematkan pada sejumlah tokoh yang dianggap istimewa pada masyarakat feodal ataupun keagamaan.

Penggantian ataupun penggunaan nama lain yang bukan bawaan lahir, juga sering dilakukan atas dasar pertimbangan komersial. Hal ini masih mudah dipahami. Sebab yang bersangkutan memang diuntungkan dan kadang justru membutuhkan. Acap dilakukan aktor dan aktris panggung, layar lebar, maupun layar kaca.

Lalu, apakah semua warga turunan Tionghoa yang menggunakan nama pengganti yang lebih Indonesia, memperoleh dan menerimanya sebagai suatu kehormatan?

Kemungkinan mereka melakukannya karena sebuah 'keharusan' yang tak mesti sejalan dengan 'keikhlasan'. Nama istimewa yang diberikan kedua orangtua yang melahirkan dan membesarkan mereka dengan sepenuh cinta-kasih dan harapan yang setinggi langit, (mungkin) terpaksa dikorbankan. Demi berdamai dengan berbagai kemungkinan pembedaan dan pengucilan yang bakal dihadapi di tengah kehidupan bermasyarakat sehari-hari.

Kita saksikan, Ahok pun sering lebih nyaman memanggil dirinya sebagai Ahok. Panggilan kecil dari nama Cina-nya, Tjung Ban Hok. Bukan yang terkait, berasal, atau bersinggungan dengan nama Indonesia-nya, Basuki Tjahaja Purnama.

 

+++

Sebagian masyarakat Indonesia --- umumnya bukan turunan Tionghoa --- memang ada yang terbiasa mengganti nama. Biasanya karena pertimbangan klenik karena nama semula dianggap terlalu 'berat', membawa 'kesialan', dan anggapan-anggapan keburukan subyektif lainnya. Upacara penggantian nama itu kadang disertai dengan prosesi khusus yang tak mudah dan tak murah. Bahkan ada yang sampai perlu dimandikan air sungai yang dingin di tengah malam, lengkap dengan persembahan sesajian.

Penggantian seperti itu tentu didasari pada kesadaran dan keinginan pribadi (keluarga) yang bersangkutan. Sesuatu yang memang diyakini akan membawa kebaikan. Bukan karena pertimbangan agar mampu 'menutupi' asal-usulnya dan dapat 'disejajarkan' dengan yang lain.

+++

 

YT, rekan pak AH yang komentarnya menarik perhatian saya itu, tak mampu menutupi sesuatu yang getir. Kegundahan karena terlahir sebagai warga turunan. Mungkin Tionghoa.

'Nama saya sudah Indonesia BANGET sih.'

'Semoga setelah ganti nama SEMAKIN diterima ya'

 

YT, bersama warga negara Indonesia turunan yang lain --- baik Tionghoa,  Arab, India, Portugis, Belanda, Jepang, dan sebagainya --- mestinya tak perlu, tak harus, bahkan tak boleh merasakan kegalauan itu. Sekecil apapun. Setipis apapun.

 

+++

Bangsa kita memang telah melakukan kesalahan panjang membiarkan --- bahkan mungkin memelihara --- sikap diskriminatif itu. Kebijakan mengganti nama dan tidak memperkenankan penggunaan aksara maupun bahasa leluhur bagi para keturunan Tionghoa sebagaimana yang diulas di atas, adalah salah satu bukti nyatanya.

Pada suatu masa dulu, anak-anak Tionghoa pun pernah tak mudah untuk mengenyam pendidikan di sekolah ataupun perguruan tinggi negeri. Saya tak ingat seorang pun teman sejak Sekolah Dasar hingga Menengah Atas yang Tionghoa. Mereka belajar di sekolah-sekolah swasta yang mayoritas pelajarnya memang segolongan.

Ketika memasuki bangku kuliah di Bandung, walaupun jumlahnya amat sedikit, baru ada beberapa teman yang turunan Tionghoa. Konon, kebijakan demikian memang sengaja dilakukan agar kapasitas tempat yang tersedia diprioritaskan untuk menampung anak-anak 'pribumi'.

Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa bukan hanya dalam akses pendidikan, tapi juga yang lain. Mulai dari kemudahan pengurusan administrasi penduduk di kelurahan hingga soal keamanan dan pengamanan lingkungan tempat tinggal maupun usaha. Sudah menjadi rahasia umum, berbagai anekdot tentang 'pemerasan' dan 'kesemena-menaan' yang sehari-hari harus mereka hadapi. Seandainya tak semua, sebagian guyonan itu sesungguhnya ada juga benarnya.

 

+++

Kita tak membahas lebih jauh soal implikasi sosial, budaya, dan adat-istiadat pembaurannya di tengah masyarakat Indonesia maupun bangsa-bangsa lain dimana mereka memperoleh perlakuan yang kurang lebih sama. Tapi satu hal yang menonjol, pada umumnya mereka memang lebih ulet, gesit, dan lihai. Saya kira, marginalisasi-lah yang menempa sederet keunggulan itu.

Sebagian besar yang hidup dan berkiprah di tengah kita sekarang, termasuk Ahok, adalah turunan Tionghoa yang lahir dan besar di negeri ini. Berbeda dengan orangtua, kakek-nenek, atau buyut mereka yang mungkin masih perantau langsung dari Daratan Cina.

Mereka adalah bagian dari kita, Indonesia. Titik.

 

+++

Kebijakan yang diambil pada era kepemimpinan Presiden Gus Dur tentang keleluasaan masyarakat turunan Tionghoa untuk merayakan adat-istiadat dan budayanya — termasuk penggunaan bahasa dan aksaranya — memang belum mampu mengenyahkan ‘rasialisme terselubung’ yang sudah terlanjur berkembang. Terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi, mereka masih sering dicibir, dicurigai, atau dituduh ‘tidak’ Indonesia.

Persoalannya semakin runyam karena beberapa tahun menjelang akhir kekuasaannya, Soeharto mulai bersikap lunak terhadap kelompok agama Islam. Sejarah mencatat, kritik dunia Barat terhadap soal demokratisasi di era pemerintahannya membuat Presiden RI kedua itu gerah dan mulai melirik persekutuannya dengan dunia Arab. Organisasi-organisasi yang bernafaskan Islam kemudian berkembang, termasuk ICMI, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, dan FPI, Front Pembela Islam. Keleluasaan kelompok-kelompok yang berbasis agama Islam justru semakin menguat setelah ia dilengserkan. Apalagi, Gerakan Reformasi 1998 yang melatar-belakangi perkembangan demokrasi politik Indonesia hari ini — atas nama kebebasan berkumpul dan berserikat — memberi ruang yang jauh lebih leluasa.

Maka, setelah masyarakat turunan Tionghoa, ‘diskriminasi terselubung’ yang lain mulai berkembang terhadap kelompok masyarakat non Muslim. Terutama di wilayah-wilayah yang mayoritas masyarakatnya Muslim. Sejumlah peristiwa penolakan terhadap pendirian rumah ibadah menjadi biasa dan kerukunan beragama sesungguhnya amat semu.

 

+++

Pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta kali ini — untuk masa bakti 2017 hingga 2022 — rupanya membuka jalan bagi terkuaknya kedua borok besar ‘diskriminasi terselubung’ bangsa yang memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini. Pertama, soal turunan Tionghoa. Kedua, soal non Muslim.

 

+++

Kita harus mengakhirinya sekarang.

Mari teruskan apa yang sudah dimulai oleh almarhum Presiden Gus Dur sebelumnya. Enyahkan fikiran, julukan, label, tudingan, pengelompokan pada warga negara yang kebetulan turunan Tionghoa. Pandang, perlakukan dan terimalah mereka seperti saudara-saudara kita lainnya yang berasal dari Tapanuli, Padang, Sunda, Jawa, Madura, Dayak, Papua, Ambon, Makassar, Aceh, dan seterusnya. Semua adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki hak dan kedudukan yang sama. Titik.

Kita juga harus menyingkirkan perbedaan agama dan keyakinan dalam bermasyarakat. Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, Aliran Kepercayaan, sama-sama memiliki hak dan kewajiban untuk hidup berdampingan dan saling menghormati. Tak ada yang lebih istimewa meski jumlahnya paling banyak seperti Islam. Sebagai mayoritas mereka justru harus mengayomi, bukan mengenyahkan atau menindas. Titik.

Kalau tak ada perbedaan dalam hidup ini, kalau aku dan kau tak berbeda, maka sungguh tak asyik dan sangat membosankan.

 

Jilal Mardhani, 18 April 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun