Puisi sering dipuja sebagai obat bagi jiwa yang terluka.Â
Namun, tak banyak yang menyadari bahwa puisi juga bisa menjadi racun yang membius dengan indah.Â
Kata-kata manisnya kerap meninabobokan rasa sakit, bukan menyembuhkannya.Â
Kita diajarkan untuk memeluk duka, menuliskannya, lalu merasa lega, padahal mungkin kita hanya makin tenggelam.Â
Dalam dunia di mana derita dijual sebagai estetika, puisi menjadi panggung bagi luka yang terus diromantisasi.Â
Berikut puisi yang akan mengajak kita menelusuri sisi gelap dari bait-bait yang selama ini dianggap penyelamat.
Resep Puisi dari Dokter Palsu
Puisi adalah pil manis dalam bungkus luka,
Disuguhkan oleh dokter yang tak pernah belajar sembuh,
Ia menjanjikan tenang di tengah bising dunia,
Tapi menyelipkan racun dalam setiap suku kata yang luluh.
Ia berkata: "Tulislah rasa, maka kau akan lega,"
Padahal ia tahu, tinta hanya memperdalam sayatan,
Kata demi kata, suntikan ilusi tanpa jeda,
Mengubah air mata jadi karya yang ditertawakan.
Kertas jadi altar, tempat patah hati dikurbankan,
Dibakar bersama mimpi yang sudah mati,
Kita puja rasa sakit dengan penuh pengabdian,
Karena katanya, derita membuat puisi jadi abadi.
Lihatlah, harapan menjelma kata kerja pasif,
Bersolek dalam diksi seperti gadis jual diri,
Ia duduk manis di antara metafora yang destruktif,
Sambil menggoda pembaca agar ikut menangis lirih.
- Jiebon Swadjiwa - bdg,2025/7-5