Mohon tunggu...
Jiebon Swadjiwa
Jiebon Swadjiwa Mohon Tunggu... Penulis

📖 Penulis | Jurnalis | Content Writer | Hidup untuk ditulis, menulis untuk hidup, dan apa yang saya tulis itulah diri saya!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bikin Menggelitik Sekaligus Sedih! Ketika Buku di Negeri Ini Dibiarkan Tergelatak di Depan Toko Tanpa Takut Dicuri

25 April 2025   08:13 Diperbarui: 25 April 2025   08:34 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rak buku dibiarkan terbuka di toko kecil karena rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. (ImageFX)

"Buku-buku tak pernah menolak disentuh. Tapi kita, terlalu sering menolaknya."

Ada hal yang membuat saya tertawa geli sekaligus menggelitik getir ketika melihat unggahan dari akun Instagram @ardian.purwoseputro.

Dalam unggahan itu, dia menyoroti seorang pedagang buku yang dengan tenangnya membiarkan rak bukunya berdiri di luar toko, tanpa pengaman, tanpa gembok, tanpa penjaga.

Tapi bukan visualnya yang bikin saya tergelak.

Yang lebih menggelitik justru kata-kata pedagangnya, seolah ini menjadi indikator orang Indonesia pintar.

Begini bunyinya: "Tenang aja... orang Indonesia belum mau jadi pintar," katanya sambil menyimpulkan senyuman dibibirnya.

Sarkasme tipis yang terasa manis di awal, tapi pahit di akhir.

Sebab, kalau kita jujur, ada kebenaran pahit di dalam kalimat itu yang tidak bisa kita tolak.

Literasi yang Sekarat, Tapi Tak Dirasakan Sakitnya

Pedagang itu tak khawatir bukunya hilang.

Bukan karena lingkungannya aman, tapi karena barang dagangannya bukan barang rebutan.

Buku tak masuk daftar incaran pencuri, sebab ilmu bukan hal yang dicari.

Di Indonesia, literasi bukan hal mendesak.

Menurut data UNESCO, minat baca kita termasuk yang terendah di dunia---hanya 0,001 persen.

Itu berarti, dari setiap 1.000 orang, cuma satu yang benar-benar membaca.

Buku-buku boleh tersedia di perpustakaan, dijual murah lewat bazar, atau bahkan dibagikan gratis.

Tapi tetap saja tak banyak yang tertarik menyentuhnya.

Karena membaca bukan budaya, melainkan pilihan terakhir, kalau pun itu pernah dipilih.

Ilmu Kalah Pamor, Karena FYP Lebih Menggiurkan

Hari ini, pengetahuan bersaing dengan algoritma.

Satu video joget bisa dilihat jutaan kali, sementara satu esai reflektif butuh waktu berhari-hari untuk tembus seratus views.

Sastra hanya viral jika disajikan sebagai potongan audio-visual dramatis.

Sejarah cuma dilirik kalau dibumbui teori konspirasi.

Ilmu pengetahuan?

Lebih sering jadi bahan meme atau bahan debat ngawur di kolom komentar.

Kita hidup di zaman ketika popularitas lebih menarik daripada kedalaman.

Dimana "menjadi tahu" bukan karena proses belajar, tapi karena takut ketinggalan tren.

Buku, Sastra, dan Sejarah Tertinggal di Rak, Tertawa di TikTok

Di TikTok, konten edukasi sering kalah jauh dengan video prank atau lipsync.

Sementara itu, kutipan puisi dan sejarah hanya laku bila dikemas dengan musik sedih dan font Instagramable.

Sastra menangis di pojok rak, pelajaran sejarah terbatuk-batuk karena lama tak disentuh.

Ironisnya, kita hidup di masa ketika informasi berlimpah, tapi makna malah mengering.

Pengetahuan kini harus bersaing dengan algoritma.

Seseorang bisa viral hanya karena joget 15 detik, tapi video bedah isi buku Pramoedya Ananta Toer?

Yah, itu mungkin hanya diklik oleh segelintir orang yang masih mencintai kata.

Apakah ini tragedi literasi atau komedi akademik?

Mungkin keduanya.

Karena saat pengetahuan menjadi bahan guyonan, dan membaca dianggap kuno, kita sedang menonton teater absurditas pendidikan.

Apakah Kita Korban Budaya, Sistem, atau Diri Sendiri?

Masalah ini tidak berdiri sendiri.

Ia tumbuh dari budaya yang tidak menempatkan buku di tengah rumah, dari sistem pendidikan yang lebih mengagungkan angka daripada rasa ingin tahu, dari masyarakat yang lebih bangga anaknya viral daripada anaknya gemar membaca.

Kita menormalisasi ketidakpedulian terhadap ilmu.

Kita bilang "ah, yang penting bisa kerja", seolah kerja dan ilmu tak bisa berjalan bersamaan.

Kita ejek orang yang banyak tahu sebagai "sok pintar", padahal justru mereka yang membuat dunia bergerak.

Dan lama-lama, kita terbiasa.

Terbiasa untuk tidak tahu.

Terbiasa untuk tidak belajar.

Terbiasa untuk tidak peduli.

Mungkin Kita Tak Perlu Jadi Pencuri Ilmu, Tapi Mari Jadi Penjemputnya

Kita tak harus mencuri buku seperti di zaman dulu ketika ilmu langka.

Sekarang, ilmu bertebaran di toko, di internet, di ponsel kita.

Yang perlu kita lakukan hanya mau mencarinya.

Karena buku tak pernah membenci dibuka.

Ilmu tak pernah pilih kasih kepada siapa ia mengalir.

Ia hanya butuh seseorang yang cukup ingin tahu.

Mungkin perubahan itu tak bisa cepat.

Tapi semua bisa dimulai dari satu hal kecil: Buka satu buku, baca satu bab, dan ajak satu teman untuk melakukannya juga.

Karena jika satu orang bisa menyalakan satu lilin, maka banyak orang bisa menerangi satu bangsa.

Jangan Sampai Buku Tetap Aman, Tapi Kita yang Kehilangan Arah

"Tak perlu gembok, ya kalau bukunya hilang berarti Indonesia mau pintar."

Kalimat ini sederhana, tapi mencubit nurani.

Karena yang tak dianggap berharga, tak akan pernah dijaga.

Kalau hari ini buku masih aman dari pencurian, jangan-jangan karena kita telah kehilangan rasa lapar untuk belajar.

Dan jika itu yang terjadi, maka bukan hanya literasi yang sekarat, tapi masa depan kita juga.

Mari baca, bukan demi terlihat pintar, tapi agar kita tak lagi hidup dalam ketidaktahuan yang disamarkan dengan viralitas.

Karena bangsa yang besar bukan hanya karena jumlah pengikut, tapi karena kualitas pikirannya. ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun