Ada sesuatu yang tidak pernah diajarkan dengan kata-kata, tapi dirasakan oleh setiap jiwa yang pernah duduk diam di tengah malam, kesendirian.Â
Kesendirian bukan sekadar ketiadaan suara, bukan pula lubang gelap dalam keramaian. Ia adalah semacam kehadiran yang terlalu halus untuk disentuh, terlalu jujur untuk disangkal. Ia datang seperti embun pada dini hari, diam-diam melingkupi dedaunan batin yang retak.
Kesendirian adalah doa yang tak pernah diucapkan. Bukan karena kita tak ingin memanjatkannya, tapi karena kata-kata tak mampu menampung air mata yang diam.Â
Dalam kesendirian, jiwa menatap langit dalam dirinya sendiri, bertanya tanpa suara, menggigil tanpa pelukan, dan menyusun puisi dalam bentuk keheningan.
Pernahkah kau mendengar desir angin yang lewat di sela-sela daun mati? Di sanalah suara kita tersembunyi. Bukan dalam sorak sorai pesta, bukan dalam deru tepuk tangan, tetapi dalam jeda yang panjang di antara dua helaan napas.Â
Seorang pengelana pernah berkata: "Aku mendaki bukit bukan untuk sampai ke puncak, tapi untuk mendengar detak jantungku sendiri." Mungkin, itulah yang dilakukan kesendirian pada kita, mengantar kita pulang ke tubuh yang telah lama kita tinggalkan.
Manusia, pada dasarnya, adalah makhluk yang terluka oleh keterhubungan. Kita mengejar suara agar tak tenggelam, kita menggenggam tangan lain agar tak hanyut dalam arus waktu.Â
Tapi ironisnya, dalam keramaian yang kita idamkan, kita sering kali kehilangan makna. Suara menjadi gema tanpa asal, nama menjadi topeng tanpa wajah.Â
Maka kesendirian datang bukan untuk menghukum, melainkan untuk mengundang: mari kembali menjadi utuh dalam diam.
Ada seorang anak kecil, tak bernama, duduk di bawah pohon tua yang menghitam karena petir. Ia tidak menangis, tidak tertawa, hanya memeluk lututnya sendiri.Â
Orang-orang melewatinya seperti bayangan yang terlalu sibuk mengejar cahaya. Tapi ia tahu, dalam diamnya yang panjang, ada semesta yang sedang menunggu untuk didengar.
Kesendirian bukan tentang menjadi satu-satunya, melainkan tentang menjadi satu dengan diri. Ia adalah mata air paling murni yang hanya bisa ditemukan oleh pejalan kaki paling sunyi.Â
Di sanalah kita mengurai simpul yang tak pernah bisa dilepaskan orang lain. Di sanalah kita belajar bahwa luka tidak selalu butuh obat, kadang hanya butuh ruang untuk bernapas.
Kesendirian juga adalah penulis yang tak dikenal, yang menulis puisi di dinding hati kita setiap malam. Kita membacanya saat dunia memalingkan wajah, saat tirai lampu telah diturunkan, dan yang tersisa hanya bayang-bayang perenungan. Ia menulis dengan tinta yang tak tampak, tapi menggores lebih dalam dari pena mana pun.
"Aku tidak pernah sendiri, hanya terlalu dalam berada di sisi yang tak terlihat."
Pada akhirnya, kesendirian bukanlah musuh. Ia adalah cermin retak yang memantulkan serpih-serpih keberadaan kita. Bukan untuk membuat kita utuh kembali, tetapi untuk menunjukkan betapa indahnya menjadi tak sempurna dalam kejujuran.
Dan barangkali, pertanyaannya bukanlah "Bagaimana caranya keluar dari kesendirian?"
Melainkan, "Apa yang selama ini kau hindari untuk temui di dalamnya?"
Silakan, dengarkan baik-baik. Mungkin, dari balik diam yang paling pekat, ada suara Tuhan yang paling dekat. ***
- Jiebon Swadjiwa - Bdg, 2025/5-4
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI