Mohon tunggu...
Jiebon Swadjiwa
Jiebon Swadjiwa Mohon Tunggu... Penulis

📖 Penulis | Jurnalis | Content Writer | Hidup untuk ditulis, menulis untuk hidup, dan apa yang saya tulis itulah diri saya!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tangan Kanan Memberi, Tangan Kiri Insta Story! Ketika Berbagi Berkah Jadi Ajang Pamer Demi Pahala Digital

17 Maret 2025   12:09 Diperbarui: 17 Maret 2025   12:09 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangan Kanan Memberi, Tangan Kiri Insta Story! (Ilustrasi by AI)

"Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu." (QS. Al-Baqarah: 271)

Di era media sosial, berbagi bukan lagi sekadar tindakan kebaikan, tetapi sering kali menjadi konten.

Kita semakin sering melihat video seseorang memberikan bantuan kepada orang miskin, membagikan makanan, atau menyantuni anak yatim, lengkap dengan angle kamera yang sempurna dan caption penuh doa.

Apakah ini bentuk kepedulian, atau ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya?

Berbagi vs Branding Pribadi

Zaman dulu, orang-orang bersedekah dalam senyap. Ada kepuasan batin yang datang dari memberi tanpa ada yang tahu. Namun kini, sedekah kerap kali terekam dalam resolusi tinggi, lengkap dengan musik latar haru biru dan editan cinematic.

Tidak jarang, kita melihat mereka yang menerima bantuan tampak canggung, bingung apakah harus tersenyum ke kamera atau tetap pada ekspresi mereka yang sebenarnya.

Fenomena ini sering disebut dengan 'pahala digital', sebuah istilah yang merujuk pada tindakan berbagi yang dilakukan dengan harapan mendapat apresiasi dari dunia maya, selain dari Tuhan.

Ada elemen branding yang tidak bisa diabaikan. Semakin banyak engagement, semakin tinggi eksposur akun media sosial, dan tidak jarang berujung pada keuntungan pribadi.

Apakah ini berarti berbagi dengan merekam adalah tindakan salah? Tidak juga. Niat tetap menjadi inti. Jika dokumentasi itu menginspirasi orang lain untuk ikut berbagi, tentu ini adalah hal baik. Tetapi, jika tujuan utamanya adalah mendapatkan validasi sosial, apakah ini masih bisa disebut sebagai ketulusan?

Antara Eksistensi dan Pengakuan

Jean-Paul Sartre dalam filsafat eksistensialismenya mengatakan bahwa manusia cenderung ingin diakui oleh orang lain. Dalam bukunya Being and Nothingness, Sartre menjelaskan konsep the Look, di mana manusia bertindak bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk dilihat dan dinilai oleh orang lain.

Jika kita kaitkan dengan fenomena ini, berbagi di media sosial bisa jadi bukan hanya soal membantu, tetapi juga tentang eksistensi diri.

Semakin banyak orang melihat kebaikan kita, semakin kita merasa "ada". Kita ingin diakui sebagai orang baik, ingin dipuji, ingin dikenang. Ini adalah naluri dasar manusia yang sering kali terjadi tanpa kita sadari.

Namun, apakah ini yang dimaksud dengan ikhlas? Jika tangan kanan memberi, tetapi tangan kiri sibuk memegang kamera, apakah esensi berbagi tetap utuh?

Inspirasi atau Normalisasi Pamer?

Tidak bisa disangkal, ada sisi positif dari fenomena ini. Banyak orang yang akhirnya tergerak untuk ikut berbagi setelah melihat video inspiratif tentang sedekah.

Kita melihat tren "berbagi" di bulan Ramadan meningkat pesat, bukan hanya di kehidupan nyata, tetapi juga di linimasa media sosial.

Namun, di sisi lain, ada dampak negatif yang bisa muncul.

Kebaikan yang seharusnya menjadi sesuatu yang alami dan tulus malah berubah menjadi ajang kompetisi. Siapa yang lebih banyak berbagi? Siapa yang paling banyak mendapat pujian?

Eksploitasi Penerima Bantuan

Tidak semua orang nyaman wajahnya terpampang saat menerima sedekah. Beberapa dari mereka mungkin merasa harga diri mereka tergerus. Ini seperti "membantu" sambil secara tidak langsung merendahkan mereka di mata publik.

Ketergantungan pada Validasi Sosial

Jika segala bentuk kebaikan harus direkam dan diunggah, bagaimana kita bisa yakin bahwa niat kita benar-benar tulus? Apakah kita akan tetap berbagi jika tidak ada yang melihat?

Akhirnya, Kita Harus Bertanya pada Diri Sendiri...

Berbagi adalah perbuatan mulia, tidak peduli apakah ada kamera atau tidak. Namun, sebelum menekan tombol "unggah," ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri:

Apakah saya melakukan ini untuk membantu, atau untuk diperhatikan?

Apakah orang yang saya bantu nyaman dengan ini?

Apakah ini benar-benar menginspirasi, atau sekadar pencitraan?

Jika jawaban kita masih ragu, mungkin sudah saatnya kita mengingat kembali sabda Rasulullah:

"Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, salah satunya adalah seseorang yang bersedekah dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan tangan kanannya." (HR. Bukhari & Muslim)

Jadi, apakah kita benar-benar berbagi, atau sedang membangun citra? ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun