Antara Eksistensi dan Pengakuan
Jean-Paul Sartre dalam filsafat eksistensialismenya mengatakan bahwa manusia cenderung ingin diakui oleh orang lain. Dalam bukunya Being and Nothingness, Sartre menjelaskan konsep the Look, di mana manusia bertindak bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk dilihat dan dinilai oleh orang lain.
Jika kita kaitkan dengan fenomena ini, berbagi di media sosial bisa jadi bukan hanya soal membantu, tetapi juga tentang eksistensi diri.
Semakin banyak orang melihat kebaikan kita, semakin kita merasa "ada". Kita ingin diakui sebagai orang baik, ingin dipuji, ingin dikenang. Ini adalah naluri dasar manusia yang sering kali terjadi tanpa kita sadari.
Namun, apakah ini yang dimaksud dengan ikhlas? Jika tangan kanan memberi, tetapi tangan kiri sibuk memegang kamera, apakah esensi berbagi tetap utuh?
Inspirasi atau Normalisasi Pamer?
Tidak bisa disangkal, ada sisi positif dari fenomena ini. Banyak orang yang akhirnya tergerak untuk ikut berbagi setelah melihat video inspiratif tentang sedekah.
Kita melihat tren "berbagi" di bulan Ramadan meningkat pesat, bukan hanya di kehidupan nyata, tetapi juga di linimasa media sosial.
Namun, di sisi lain, ada dampak negatif yang bisa muncul.
Kebaikan yang seharusnya menjadi sesuatu yang alami dan tulus malah berubah menjadi ajang kompetisi. Siapa yang lebih banyak berbagi? Siapa yang paling banyak mendapat pujian?
Eksploitasi Penerima Bantuan