"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."(QS. Ar-Rum: 41)
Berbuka puasa adalah momen yang selalu ditunggu-tunggu. Setelah seharian menahan haus dan lapar, kita berkumpul dengan keluarga atau teman, menyantap hidangan yang menggugah selera.
Namun, pernahkah kita benar-benar memperhatikan apa yang tersisa setelah hidangan itu usai?
Bukan hanya piring-piring kosong, tetapi juga tumpukan plastik, bekas botol air mineral, kantong kresek, sendok dan garpu plastik, hingga styrofoam dari makanan yang dibeli secara praktis.
Di balik kehangatan berbuka, ada dosa ekologis yang diam-diam kita lakukan: merusak bumi dengan limbah yang tak terurai. Ironisnya, di bulan yang mengajarkan kesabaran dan pengendalian diri, kita justru menjadi konsumtif.
Filosofi Kesederhanaan, Antara Makna Puasa dan Kebiasaan Konsumtif
Jika menilik makna puasa, sejatinya ibadah ini mengajarkan kita untuk lebih sederhana dan bersyukur. Dalam hadits disebutkan:
"Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan punggungnya. Jika tidak bisa, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk napasnya." (HR. Tirmidzi)
Puasa seharusnya menjadi latihan untuk menahan diri, bukan hanya dari makan dan minum, tetapi juga dari kerakusan yang sering kali tidak kita sadari. Namun, realitas di meja iftar berbicara lain. Alih-alih mengurangi, kita justru menumpuk plastik demi kenyamanan sesaat.
Ada sebuah fenomena menarik: di bulan Ramadan, justru konsumsi masyarakat meningkat. Takjil dibungkus dalam plastik, makanan pesan-antar hadir dalam kemasan sekali pakai, air mineral dalam botol-botol kecil memenuhi meja iftar. Semua ini menjadi paradoks, kita berpuasa untuk menahan nafsu, tetapi begitu adzan berkumandang, kita kembali pada kebiasaan konsumtif.
Dosa Ekologis, Alam yang Terluka oleh Gaya Hidup Kita
Sebagian besar sampah plastik yang kita hasilkan saat berbuka puasa tidak akan hilang dalam semalam. Sebuah botol plastik butuh waktu 450 tahun untuk terurai di alam, sedangkan styrofoam bahkan tidak bisa terurai sama sekali. Bayangkan, berapa banyak "warisan" yang kita tinggalkan untuk bumi hanya karena kita ingin berbuka dengan praktis?
Fenomena ini tidak hanya terjadi di rumah tangga, tetapi juga di masjid dan acara buka puasa bersama. Dalam banyak masjid, ribuan paket berbuka dibagikan setiap hari, lengkap dengan nasi kotak dan air kemasan. Niat berbagi yang mulia, tetapi sayangnya, sering kali tanpa pertimbangan dampaknya bagi lingkungan.
Bukankah kita yang merusak, tetapi kemudian meminta alam untuk tetap memberi? Bukankah kita yang mencemari, tetapi mengharap langit tetap bersih? Jika berbuka adalah momen untuk bersyukur, mengapa kita membiarkan bumi menanggung beban atas rasa syukur yang kita wujudkan dengan cara yang salah?
Kembali ke Kesadaran, Bisakah Kita Berbuka Tanpa Merusak?
Dalam literatur sufi, kesadaran adalah kunci utama menuju kebaikan. Jalaluddin Rumi pernah berkata:
"Kemarin, aku cerdas, jadi aku ingin mengubah dunia. Hari ini, aku bijaksana, jadi aku mengubah diriku sendiri."
Mungkin kita tidak bisa mengubah dunia dalam semalam, tetapi kita bisa mengubah kebiasaan kita sendiri. Mulai berbuka dengan cara yang lebih ramah lingkungan:
- Gunakan wadah dan gelas yang bisa dipakai ulang -- Alih-alih membeli air kemasan, kenapa tidak membawa botol sendiri?
- Kurangi penggunaan plastik saat membeli takjil -- Bawa wadah sendiri saat membeli makanan di luar.
- Pilih masakan rumahan -- Selain lebih sehat, ini juga mengurangi limbah plastik dari makanan siap saji.
- Edukasi keluarga dan lingkungan -- Ingatkan orang-orang di sekitar kita bahwa sampah plastik bukan hanya masalah kecil, tetapi juga warisan yang akan merugikan anak-cucu kita kelak.
Kita sering berbicara tentang meninggalkan warisan yang baik untuk generasi mendatang. Namun, pertanyaannya: warisan seperti apa yang sedang kita tinggalkan? Apakah meja iftar kita hari ini akan menjadi beban bagi bumi di masa depan?
Di bulan yang suci ini, mungkin sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri, "Apakah berbuka puasa kita benar-benar membawa berkah, atau justru menambah luka bagi alam?" ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI