Fenomena ini tidak hanya terjadi di rumah tangga, tetapi juga di masjid dan acara buka puasa bersama. Dalam banyak masjid, ribuan paket berbuka dibagikan setiap hari, lengkap dengan nasi kotak dan air kemasan. Niat berbagi yang mulia, tetapi sayangnya, sering kali tanpa pertimbangan dampaknya bagi lingkungan.
Bukankah kita yang merusak, tetapi kemudian meminta alam untuk tetap memberi? Bukankah kita yang mencemari, tetapi mengharap langit tetap bersih? Jika berbuka adalah momen untuk bersyukur, mengapa kita membiarkan bumi menanggung beban atas rasa syukur yang kita wujudkan dengan cara yang salah?
Kembali ke Kesadaran, Bisakah Kita Berbuka Tanpa Merusak?
Dalam literatur sufi, kesadaran adalah kunci utama menuju kebaikan. Jalaluddin Rumi pernah berkata:
"Kemarin, aku cerdas, jadi aku ingin mengubah dunia. Hari ini, aku bijaksana, jadi aku mengubah diriku sendiri."
Mungkin kita tidak bisa mengubah dunia dalam semalam, tetapi kita bisa mengubah kebiasaan kita sendiri. Mulai berbuka dengan cara yang lebih ramah lingkungan:
- Gunakan wadah dan gelas yang bisa dipakai ulang -- Alih-alih membeli air kemasan, kenapa tidak membawa botol sendiri?
- Kurangi penggunaan plastik saat membeli takjil -- Bawa wadah sendiri saat membeli makanan di luar.
- Pilih masakan rumahan -- Selain lebih sehat, ini juga mengurangi limbah plastik dari makanan siap saji.
- Edukasi keluarga dan lingkungan -- Ingatkan orang-orang di sekitar kita bahwa sampah plastik bukan hanya masalah kecil, tetapi juga warisan yang akan merugikan anak-cucu kita kelak.
Kita sering berbicara tentang meninggalkan warisan yang baik untuk generasi mendatang. Namun, pertanyaannya: warisan seperti apa yang sedang kita tinggalkan? Apakah meja iftar kita hari ini akan menjadi beban bagi bumi di masa depan?