Mohon tunggu...
Jhosef Nanda
Jhosef Nanda Mohon Tunggu... Relawan - Pekerja sosial

Menulis itu kemerdekaan, menjadi humanis itu keharusan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bagaimana Bercita-cita di Era Disrupsi?

10 Februari 2022   13:24 Diperbarui: 11 Februari 2022   06:13 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
  ilustrasi anak-anak sedang menggunakan produk teknologi mutakhir | Sumber: pexels.com

Sedikit mengenang masa lalu, dulu sewaktu kecil penulis bangga sekali menjawab ketika besar nanti ingin menjadi tentara. 

Bagi penulis saat itu, menjadi tentara adalah hal yang menantang, asik, seru karena berpetualang dan juga tampak gagah perkasa dengan seragam lorengnya. 

Tentara juga merupakan profesi yang bagi penulis amat misterius. Sehingga membuat orang lain bertanya-tanya.

Saat bercita-cita menjadi tentara, penulis hobi sekali menonton film-film laga yang berkisah tentang prajurit berani dengan pasukan khususnya. Atau penulis suka sekali menonton aksi seorang anggota intelijen yang mahir berkelahi menggunakan pisau belati. Penulis sangat mengidolakan tokoh-tokoh film seperti itu.

Waktu berlalu, zaman berubah. Selama perkembangan kehidupan penulis banyak menemukan hal baru. Baik itu di lingkungan rumah maupun di sekolah. Wawasan sedikit demi sedikit meluas, pemikiran berkembang. 


Tanpa disadari, cita-cita penulis yang dipeluk erat sejak kecil pun ternyata juga berubah. Penulis menemukan jenis-jenis pekerjaan baru yang sama sekali tidak penulis kenali saat kecil dulu. 

Kala bersekolah di bangku kelas 8 SMP dulu, kali pertama penulis mendengar istilah vlogger dan youtuber, yang tidak pernah penulis ketahui sebelumnya. 

Di kemudian waktu penulis tahu bahwa banyak orang memilih pekerjaan itu sebagai sumber mata pencahariannya! Begitulah penulis banyak mengenal hal-hal baru dan jenis pekerjaan baru.

Semenjak saat itu ternyata penulis sudah meninggalkan impian ingin menjadi seorang tentara. Perlahan menemukan idola dan cita-cita baru.

Tanpa disadari ternyata zaman yang berubah cepat ini membuat seseorang khususnya anak-anak memiliki perubahan cita-cita yang cepat pula. Informasi yang tak terbatas yang mudah diakses melalui gadget merangkai beraneka ragam imajinasi dalam pikiran mereka. 

Hal ini membuat anak-anak mudah mengidentifikasikan diri dengan beragam tokoh idolanya masing-masing dengan beragam spesifikasi. Sehingga gambaran tentang masa depannya pun mudah berubah sesuai stimulasi idola yang ia terima dari mana-mana. Cita-cita pun bisa jadi menjadi sering berubah.

Persoalan era sebelumnya mungkin sebatas bagaimana seseorang konsisten memperjuangkan cita-citanya dengan tekad dan kesungguhan. Tapi di era sekarang, tekad kuat dan kesungguhan saja tidak cukup. 

Seseorang dengan mimpinya juga harus bertransformasi. Anda boleh bermimpi, tapi apakah relevan mimpi itu di dunia sekarang dan mendatang? Kemudian yang terpenting bagaimana kita menjadi menusia yang survive meuwujudkan mimpi kita di era disrupsi?

Disrupsi

Beberapa tahun belakangan banyak kajian tentang perubahan besar di era ini. Tentang hal itu, Profesor Rhenald Kasali menulis buku yang menarik berjudul Disruption. 

Disrupsi sendiri sangatlah tepat dalam menggambarkan keadaan sekarang di dalam berbagai bidang kehidupan.

Sekian tahun yang lalu terjadi keributan di beberapa lokasi. Di mana driver ojek konvensional bentrok dengan driver ojek online. Kelompok konvensional mengeluh lantaran pelanggan yang menggunakan jasanya menurun drastis. 

Mereka menilai, hal ini terjadi karena munculnya driver online. Kelompok konvensional tidak terima karena merasa dirugikan dengan munculnya platform ojek online yang dapat diunduh gratis oleh siapa saja.

Walau demikian, bagi masyarakat jasa ojek online dinilai lebih praktis dan efesien. Mereka tidak perlu jauh-jauh datang ke pangkalan ojek konvensional. Hanya dengan menggunakan aplikasi di gadget, masyarakat bisa langsung memilih dan kemudian menghubungi driver ojek online. Tinggal menunggu beberapa menit saja, driver ojek online yang dipilih pun datang menjemput.

 Ilustrasi pengendara ojek online | Sumber: pexels.com
 Ilustrasi pengendara ojek online | Sumber: pexels.com

Lalu bagaimana dengan nasib driver ojek konvensional? Bukankah mereka yang nampak dirugikan dalam contoh kasus ini? Lalu siapa pihak yang salah dalam hal ini?

Demikianlah contoh nyata dari disrupsi. Bahwa kenyataannya ada pekerjaan dan jasa tertentu yang sudah tidak digunakan dan kurang diminati lagi. Banyak pekerjaan yang sudah jarang ditemui.

Anda tentu masih ingat ketika 10 atau 5 tahun yang lalu, pedagang koran di pinggir jalan masih cukup eksis. Pengemudi yang berhenti di lampu merah disambut dengan surat kabar yang diperdagangkan. Koran masih cukup laku, masih cukup diminati. Tapi sekarang? Pedagang Koran yang setia bekerja tiap hari sejak pagi hingga petang pun makin sulit mendapat duit. 

Masyarakat lebih nyaman membaca berita melalui aplikasi di gadget. Informasi yang didapat dari internet pun lebih cepat dan mudah diakses serta praktis. Tentu, inilah disrupsi.

Ilustrasi media cetak koran semakin tak diminati | 
Ilustrasi media cetak koran semakin tak diminati | 

Karakteristik Era Disrupsi

Disrupsi dalam KBBI memiliki dua arti. Pertama berarti hal tercabut dari akarnya. Kedua, interupsi pada proses atau kegiatan yang telah berlangsung secara berkesinambungan. Definisi yang kedua mungkin lebih mudah dipahami dalam menerka zaman ini.

Proses kehidupan masyarakat yang sudah berlangsung secara berkesinambungan dipaksa mengecap hal-hal baru dengan tantangan-tantangannya yang baru pula. 

Era sebelumnya lebih mudah dipahami dan diprediksi (tidak sekompleks sekarang ini). Hal ini mungkin karena zaman disrupsi tidaklah linier. Pergerakannya cepat, bisa berubah kapan saja ke berbagai arah dan bidang kehidupan.

Untuk memahami zaman disrupsi, kita perlu mengenal karakteristik dari disrupsi itu sendiri. Penulis memaparkan beberapa  poin penting yang para ahli sebut sebagai karakteristik era disrupsi.

1. Volatility

Ilustrasi perubahan cepat | Sumber: pexels.com 
Ilustrasi perubahan cepat | Sumber: pexels.com 

Karakteristik pertama dari era disrupsi ada;ah tentang perubahan yang cepat, masif dan cenderung tidak terduga. Poin ini cukup sulit dipaparkan oleh penulis. Tapi, yang jelas kita sedang mengalaminya. 

Penulis menggunakan contoh dari teori mekanika kuantum yang dipopulerkan oleh Austria Erwin Schrodinger dan Werner Heisenberg. 

Berbeda dengan teori atom sebelumnya, teori mekanika kuantum berpendapat bahwa posisi elektron tidak hanya terpaku pada lintasan-liintasan yang pasti saja. Elektron bisa berubah pada lintasan lain di waktu yang hampir bersamaan. Posisinya hanya bisa diprediksi saja, tidak pasti.

Demikianlah segala hal didalam berbagai bidang kehidupan sekarang ini ibarat elektron dalam suatu atom menurut teori mekanika kuantum. Tidak hanya mengorbit  secara lazim, melainkan bisa berubah haluan kapan saja secara tak terduga. 

2. Uncertainity

Ilustrasi kebingungan | Sumber: pexels.com 
Ilustrasi kebingungan | Sumber: pexels.com 

Perubahan yang masif, cepat dan tak terduga pada era disrupsi ini kemudian berakibat pada sebuah keadaan yang serba tidak pasti (uncertainity). Tentu karakteristik ini sangat menonjol di era pandemi covid-19 yang membuat bingung seantero bumi.

Keadaan yang tidak pasti ini mempengaruhi suatu pemerintahan dalam produksi kebijakan undang-undangnya. Sehingga masyarakat pun harus merasakan berbagai keadaan tidak pasti. 

Seperti misalnya kebijakan pemerintah mengenai PPKM. Keputusan mengenai hal tersebut cukup membingungkan bagi banyak orang, meskipun bertujuan amat baik demi keamanan kolektif masyarakat. Tapi coba saja bayangkan betapa banyak pekerja yang terpengaruh oleh kebijakan tersebut. Ketidakpastian inilah yang kemudian menjadi tanggungjawab penuh masing-masing pribadi. 

3. Complexity

Sumber : pexels.com | Ilustrasi kompleksitas
Sumber : pexels.com | Ilustrasi kompleksitas

Karakteristik ketiga disrupsi adalah complexity (kompleksitas). Ini berkaitan dengan penyebab suatu perubahan yang tidak hanya bersumber dari satu faktor saja. 

Perubahan disebabkan oleh beragam faktor yang tidak sederhana. Dalam bidang akademik, tentu suatu persoalan kehidupan kemudian tidak bisa ditinjau dari satu disiplin ilmu saja.

Poin ini sedikit penulis singgung dari sudut pandang pendidikan. Bahwa perlu dikritisi, pendidikan kita tidak boleh terlalu mengarah kepada spesialisasi kompetensi. Meskipun di zaman ini tidak dipungkiri, keahlian yang spesifik juga penting. 

Tapi jangan lupa, pendidikan disini berfungsi untuk menumbuhkan anak-anak muda yang mampu membaca zaman dan menjadi motor perubahan. Bukan hanya menghasilkan orang-orang yang menjadi alat sebuah sistem yang mengendalikan zaman. 

Demikian complexity yang menjadi karakteristik era disrupsi harus serius di sikapi. Khususnya dari sudut pandang pendidikan.

4. Ambiguity

Sumber: pexels.com
Sumber: pexels.com

Pada artikel Ambiguitas Norma Sosial : Penyebab Konflik Orangtua dan Anak?, penulis beropini bahwa di era ini terjadi sebuah fenomena di mana norma sosial tidaklah sejernih/sejelas era sebelumnya. Dari mana sumber norma sosial tidaklah sejelas zaman sebelumnya. 

Dalam hal ini, media sosial cukup berperan dalam menghasilkan nilai-nilai baru yang berlaku secara tidak tertulis di masyarakat. Nilai-nilai baru tersebut bahkan sama sekali berbeda dengan nilai-nilai norma sosial di era sebelumnya.

Begitulah contoh bagaimana era disrupsi yang sarat akan perubahan cepat meninggalkan ambiguitas di berbagai aspek kehidupan. Arah perubahan tidak bisa diukur secara akurat. Kita hanya bisa berusaha membaca laju perubahan, bahkan hanya bisa menebaknya karena semua serba ambigu! Inilah karakteristik terakhir era disrupsi.

Bercita-cita di Era Disrupsi

Dunia anak-anak adalah dunia sarat cita-cita. Tak ada sesuatu yang membatasi seseorang untuk bercita-cita pada masa anak-anak. 

Lihat saja ketika dalam suatu kelas sekolah dasar, anak-anak ditanyai mengenai cita-cita. Mereka tak akan ragu menjawab (meskipun dengan wajah lugu dan malu-malu) apa profesi yang menjadi cita-cita mereka. 

Tapi apakah Anda sadari kalau pada era sekarang ini, ciri khas anak-anak yang bebas bercita-cita ini semakin melebar. Artinya, anak-anak menjadi semakin bebas bercita-cita. 

Stimulus yang mereka terima dari berbagai sumber informasi menjelma menjadi mata air inspirasi bagi anak-anak untuk bermimpi. 

Ketika yang mereka idolakan adalah seorang youtuber, maka kemungkinan besar anak-anak akan bercita-cita menjadi seorang youtuber. Jika idola seorang anak berprofesi sebagai penyanyi, maka ia berpotensi bermimpi menjadi seorang penyanyi. 

Letak persoalannya adalah bahwa medium informasi dan komunikasi yang mudah diakses anak-anak menyuguhkan manusia dengan beragam profesinya. 

Anak-anak bisa bisa saja mengidolakan banyak orang, dan kapan saja bisa berubah. Artinya, secara logika cita-cita mereka juga sangat berpotensi untuk berubah sewaktu-waktu.

Lalu ketika orangtua menasihati anaknya untuk belajar dan bekerja keras untuk menggapai cita-cita, apakah hal ini sudah cukup? 

Apakah cukup ketika anak sudah konsisten memeluk erat cita-citanya? Apakah profesi yang anak-anak cita-citakan masih eksis dikemudian hari? 

Berikut beberapa pendapat penulis mengenai amunisi yang perlu disiapkan dalam berjuang menggapai cita-cita di era disrupsi. Tentu tidak hanya untuk anak-anak, orang dewasa pun bisa mengadopsi poin-poin berikut.

Berpikir Lateral

Sederhananya, berpikir lateral adalah kemampuan menyikapi suatu persoalan atau keadaan dari sudut pandang berbeda. Ini penting bagi anak-anak ataupun orang dewasa dalam mengimajinasikan dirinya di masa depan (bercita-cita) di era disrupsi. Mengapa demikian? 

Pada bagian atas, sudah penulis paparkan 4 karakteristik dari era disrupsi. Salah satu poinnya adalah complexity, kompleksitas. Bahwa beragam persoalan kehidupan menuntut keahlian dan kreativitas manusia. Penyelesaian persoalan zaman juga tidak bergantung pada satu disiplin ilmu saja. 

Sumber: pexels.com
Sumber: pexels.com

Untuk itu prinsip berpikir lateral dalam bercita-cita sangat perlu. Seseorang boleh saja memiliki cita-cita yang spesifik. Tapi dalam proses perjalanan menggapainya, pola pikir lateral harus diterapkan. 

Founder salah satu ojek online, gojek adalah seorang yang paham mengenai teknologi. Tentu ia bisa coding (programming), sehingga bisa menghasilkan aplikasi berbasis website, android ataupun iOS. Tapi apakah si founder hanya punya satu keterampilan itu? 

Dalam mengembangkan bisnis tersebut, apakah si founder tidak memahami ekonomi? Apakah ia tidak memiliki keterampilan komunikasi dan pengetahuan akan hukum? 

Tentu ia menyelami banyak bidang, meskipun core-nya adalah teknologi. Dengan kemampuannya tersebut, produk teknologinya bisa digunakan oleh banyak sekali orang, membuka lapangan pekerjaan dan menyelesaikan persoalan yang cukup penting. Inilah contoh riil dari implementasi berpikir lateral.

Prinsip Luwes

Bercita-cita di era disrupsi sedikit membutuhkan suatu hal yang berbeda, sekaligus menarik. Jika pada era sebelumnya untuk menggapai cita-citan seseorang dituntut untuk konsisten memperjuangkan mimpinya, justru pada era disrupsi konsistensi si pemimpi harus didefinisikan ulang. Konsisten yang seperti apa yang harus diterapkan?

Ilustrasi luwes | Sumber: pexels.com 
Ilustrasi luwes | Sumber: pexels.com 

Penulis membagikan prinsip sederhana, bahwa konsisten dalam menggapai mimpi di era disrupsi adalah konsisten yang luwes. Artinya, selama proses menggapai cita-cita seseorang tidak boleh kaku. Ia harus perhatikan apakah jenis pekerjaan atau profesi yang diidamkan tersebut masih eksis di masa depan. Juga, perlu diselidiki apakah profesi yang dicita-citakan tersebut dipengaruhi oleh disrupsi teknologi di masa sekarang. 

Hal ini penting, jangan sampai upaya keras untuk menggapai mimpi tersebut akan sia-sia ketika seseorang hanya menggunakan prinsip konsisten yang tradisional. Perlahan, kita harus beralih kepada prinsip konsisten yang luwes.

Bertindak Humanis

Pada poin terakhir ini, penulis berbagi tentang kekuatiran di era disrupsi sekarang dan juga mendatang. Pekerjaan yang sudah lenyap tidaklah sedikit akibat disrupsi. Inilah yang menyebabkan kekuatiran banyak orang. Mereka bertanya-tanya, apakah pekerjaan sekarang ini masih bertahan hingga masa mendatang?

 Ilustrasi humanity | Sumber: pexels.com 
 Ilustrasi humanity | Sumber: pexels.com 

Penulis yakin bahwa pekerjaan yang menyentuh aspek-aspek yang paling manusiawi tidak akan pernah tergantikan dengan teknologi. Manusia memiliki unsur yang tidak bisa digantikan dengan mesin, seperti rasa dan emosi. Untuk itulah sejak dini, siapapun perlu dilatih untuk humanis. 

Menguasai teknologi boleh-boleh saja, tapi sentuhan-sentuhan hangat penuh cinta kepada sesama harus dilatih sejak anak-anak. Sehingga apapun cita-cita seseorang, jika dalam proses menggapainya pribadi tersebut bertindak humanis maka lingkungan akan banyak memberi cukup banyak ruang kepadanya. 

Sekali lagi, sentuhan rasa dan emosi tidak mungkin bisa digantikan oleh mesin dengan teknologi apapun.

Refleksi

Demikianlah bagi penulis bercita-cita itu gratis. Kita bebas bercita-cita setinggi langit manapun. Hanya saja kita perlu berhenti sejenak, berpikir bagaimana menyiapkan roket yang tepat menuju kepada cita-cita kita masing-masing. Hal tersebut penting dilakukan agar roket kita tidak terhantam oleh hujan batu meteor di angkasa, langit-langit disrupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun