Pada artikel Ambiguitas Norma Sosial : Penyebab Konflik Orangtua dan Anak?, penulis beropini bahwa di era ini terjadi sebuah fenomena di mana norma sosial tidaklah sejernih/sejelas era sebelumnya. Dari mana sumber norma sosial tidaklah sejelas zaman sebelumnya.Â
Dalam hal ini, media sosial cukup berperan dalam menghasilkan nilai-nilai baru yang berlaku secara tidak tertulis di masyarakat. Nilai-nilai baru tersebut bahkan sama sekali berbeda dengan nilai-nilai norma sosial di era sebelumnya.
Begitulah contoh bagaimana era disrupsi yang sarat akan perubahan cepat meninggalkan ambiguitas di berbagai aspek kehidupan. Arah perubahan tidak bisa diukur secara akurat. Kita hanya bisa berusaha membaca laju perubahan, bahkan hanya bisa menebaknya karena semua serba ambigu! Inilah karakteristik terakhir era disrupsi.
Bercita-cita di Era Disrupsi
Dunia anak-anak adalah dunia sarat cita-cita. Tak ada sesuatu yang membatasi seseorang untuk bercita-cita pada masa anak-anak.Â
Lihat saja ketika dalam suatu kelas sekolah dasar, anak-anak ditanyai mengenai cita-cita. Mereka tak akan ragu menjawab (meskipun dengan wajah lugu dan malu-malu) apa profesi yang menjadi cita-cita mereka.Â
Tapi apakah Anda sadari kalau pada era sekarang ini, ciri khas anak-anak yang bebas bercita-cita ini semakin melebar. Artinya, anak-anak menjadi semakin bebas bercita-cita.Â
Stimulus yang mereka terima dari berbagai sumber informasi menjelma menjadi mata air inspirasi bagi anak-anak untuk bermimpi.Â
Ketika yang mereka idolakan adalah seorang youtuber, maka kemungkinan besar anak-anak akan bercita-cita menjadi seorang youtuber. Jika idola seorang anak berprofesi sebagai penyanyi, maka ia berpotensi bermimpi menjadi seorang penyanyi.Â
Letak persoalannya adalah bahwa medium informasi dan komunikasi yang mudah diakses anak-anak menyuguhkan manusia dengan beragam profesinya.Â
Anak-anak bisa bisa saja mengidolakan banyak orang, dan kapan saja bisa berubah. Artinya, secara logika cita-cita mereka juga sangat berpotensi untuk berubah sewaktu-waktu.