Beberapa hari yang lalu, anak pertama saya yang duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar (SD) bercerita dengan semangat. Sepulang dari sekolah, dia menyampaikan proses belajar di ruang kelas bersama guru dan teman-teman satu kelasnya.
Kali ini dia bercerita dengan bangga dan penuh percaya diri. Dia mengatakan bahwa gurunya akan memberikan pekerjaan rumah kepada murid-murid, tetapi dia langsung tunjuk tangan menyampaikan keberatan. "Bu, pekerjaan rumahnya jangan terlalu banyak", katanya.
Bu guru terdiam dan kemudian bertanya dengan penasaran, "Memangnya kenapa?"
Dengan tegas si anak menyatakan, "Pekerjaan rumah saya sudah banyak, Bu. Saya mencuci piring, mencuci baju, melipat baju, menyetrika, menyapu, mengepel, memasak, membersihkan kolam ikan, mencabut rumput, menjaga adik, memandikan adik, mencebok adik..."
Ibu guru kemudian bertanya, "apakah ada yang tugas rumahnya sebanyak itu?" Akan tetapi, tidak ada yang menjawab.
Ibu guru pun akhirnya tersenyum dan terharu. Dia mengatakan, "luar biasa, mari kita berikan tepuk tangan untuk Irfan. Kalian semua harus bisa seperti dia".
Pendidikan dari Rumah
Cerita di atas merupakan kesaksian anak saya setelah pulang dari sekolah. Dia begitu bangga bercerita kepada kami (orang tuanya) karena dia diberikan apresiasi oleh guru kelasnya. Tepuk tangan dari teman-teman satu kelas membuatnya senang.
Sebagai orang tua, kami juga tentu bangga dan bahagia ketika dia memiliki kepercayaan diri berkomunikasi dengan guru kelasnya dalam menyampaikan pengalaman dan pendapatnya.
Kami juga bahagia, ketika dia selalu menyampaikan perasaan, pikiran, dan juga kemarahannya kepada kami. Terkadang, dia membawa kata-kata baru yang kurang baik, keluhan tentang kelakuan teman-temannya, dan membandingkan dirinya dengan teman-temannya.
Namun, hal itu menjadi kesempatan yang baik bagi orang tua untuk memberi nasihat kepada anak. Kesempatan itu juga bisa digunakan untuk mendorong semangat belajar, menjaga kesehatan, kemandirian, dan tanggung jawab.
Semua pekerjaan rumah yang disampaikannya kepada ibu guru tersebut memang pernah dilakukannya, tetapi tidak semuanya rutin setiap hari. Sejak usia lima tahun, dia sudah dilatih menyapu, mencuci piring, dan pekerjaan lainnya.
Ketika duduk di kelas satu SD, dia memiliki pekerjaan rutin di rumah, yaitu mencuci piring, merapikan tempat tidur sendiri, menyapu, dan melipat pakaian sendiri. Memasuki kelas dua, pekerjaannya ditambah dengan mencuci dan menyetrika seragam sekolahnya.
Pekerjaan rumah tersebut menjadi kewajibannya setiap hari, ditambah dengan pekerjaan tambahan seperti menyapu, mengepel, memasak nasi dan telur dadar, dan sebagainya. Memang kalau dibuat daftarnya, pekerjaan rumah sepertinya tidak ada habis-habisnya. Banyak sekali.
Dalam beberapa pekerjaan, awalnya si anak merasa kesulitan untuk mengerjakannya seperti menyetrika baju. Tetapi lama kelamaan, pekerjaan itu terasa biasa. Tidak ada lagi protes dan alasan untuk tidak mengerjakannya.
Saya dan istri sama-sama anak pertama dan sejak kecil juga sudah terbiasa melakukan pekerjaan yang sama dengan anak kami. Pengalaman itu menjadi salah satu dasar ketika mendidik anak untuk bisa belajar mandiri dan bertanggung jawab dengan hal kecil seperti pekerjaan rumah.
Selain itu, kami juga memiliki pemahaman yang sama bahwa pendidikan itu harus dimulai dari rumah sejak dini. Anak-anak dengan usia dini perlu dilatih untuk menjadi generasi berkarakter sehingga mendarah daging hingga di usia tua.
Meskipun demikian, pekerjaan rumah tersebut tidak menjadi halangan/alasan bagi si anak untuk mengerjakan tugas yang diberikan sekolah. Apalagi pada masa sekarang, tugas rumah yang diberikan oleh guru kepada siswa tergolong sedikit. Hal ini berbeda dengan masa tahun 1990an ketika saya duduk di bangku SD.
Sebenarnya anak saya merasa keberatan dengan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan oleh gurunya bukan karena dia tidak memiliki waktu. Bukan juga karena terlalu banyak pekerjaan yang kami berikan bagi dia.
Akan tetapi, dia sudah memiliki tugas dari tempat kursus/les yang menuntutnya mengerjakan soal-soal setiap hari. Kami juga menugaskannya untuk membaca buku satu halaman dan menjawab soal-soal matematika setiap hari. Untuk mengerjakan pekerjaan tersebut, paling tidak dia membutuhkan waktu minimal 45 menit setiap hari.
Pendidikan Bermutu
Orang tua pasti menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan yang bermutu. Untuk mencapai hal tersebut, orang tua tidak hanya mendidik anak dari rumah, tetapi juga memilih sekolah yang terbaik bagi anak-anaknya.
Namun, untuk mendapatkan sekolah yang terbaik, seringkali dibatasi oleh kemampuan ekonomi, jarak, kemampuan anak, dan daya tampung sekolah yang terbatas. Namun, sekolah adalah tempat kedua dalam mendidik anak. Tempat pertama adalah dari rumah.
Di sekolah mana pun si anak mengecap pendidikan, tidak menjadi penghambat untuk mendapatkan pendidikan bermutu asalkan ada dukungan orang tua. Sebab, orang tua memegang peran penting dalam mendukung pendidikan anak mulai dari rumah, di sekolah, dan kembali ke rumah. .
Anak saya mengecap pendidikan di SD negeri yang jaraknya dekat dengan rumah. Sekolah ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam mewujudkan pendidikan bermutu. Sebagai orang tua, tidak bisa sepenuhnya mengharapkan sekolah untuk memberikan bekal pendidikan kepada anak.
Bila bertemu dengan teman-teman komunitas, banyak diantara mereka yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta elite. Kami juga pernah berencana menyekolahkan anak di sana.
Kami sudah melakukan survei secara langsung dan mencari informasi tentang sekolah tersebut. Fasilitasnya lengkap, lingkungan sekolah nyaman dan aman, guru-guru profesional, disiplin, dan sebagainya.
Ada rupa ada harga, biaya di sekolah tersebut memang cukup mahal tetapi sebanding dengan pelayanan yang diberikan. Uang masuk di sana puluhan juta dan biaya bulanan jutaan rupiah.Â
Selain karena pertimbangan biaya yang mahal, kami tidak jadi menyekolahkan anak ke sana adalah karena jaraknya yang cukup jauh. Akhirnya sekolah negeri yang hanya sekitar 200 meter dari rumah menjadi pilihan terbaik.
Fasilitas sekolah yang lengkap tidak menjadi jaminan utama untuk menghasilkan generasi yang cerdas. Semua tergantung pada diri si anak, dukugan orang tua, guru, lingkungan, dan hal lain yang mendorong pendidikan anak.
Untuk menambah kemampuan anak, beberapa orang tua memberikan les tambahan bagi anak di luar jam sekolah. Anak kami misalnya, mengikuti dua les di dua tempat. Satu tempat untuk les mata pelajaran, dan yang satu lagi kursus Bahasa Inggris.
Orang tua juga bisa menjadi guru dan pendamping bagi anak untuk mengasah kemampuan akademiknya. Misalnya dengan memberikan latihan soal, pendampingan saat belajar, dan penjelasan materi pelajaran.
Orang tua juga memiliki peran dalam menjaga kesehatan anak dengan memberikan arahan tentang makanan yang sehat, menerapkan pola hidup sehat, membatasi penggunaan handphone, bahaya asap rokok, dan sebagainya. Bagaimanapun juga, pendidikan bermutu harus sejalan dengan kesehatan anak-anak.
Kami tidak memberikan uang jajan kepada anak setelah kami memberikan nasihat/arahan yang disertai dengan contoh nyata. Makanya, dia tidak pernah minta uang jajan sebagaimana dengan kebanyakan teman-temannya.
Kami selalu menyatakan bahwa jajan itu tidak baik buat kesehatan. Lebih baik uang jajannya ditabung untuk membayar uang les, membeli makanan sehat seperti buah-buahan, dan membeli sesuatu yang berguna.
Penutup
Orang tua memiliki peran sangat penting dalam mewujudkan pendidikan bermutu bagi anak yang dimulai dari rumah. Anak-anak dengan usia dini perlu dilatih belajar hidup mandiri dan bertanggung jawab.
Dalam bidang akademis, orang tua juga diharapkan menjadi guru/pendamping bagi anak untuk mengembangkan potensinya. Dukungan orang tua  bisa melalui pengajaran materi, memberikan  latihan soal, dan pendampingan saat belajar.
Orang tua juga perlu menjaga kesehatan anak dengan keteladanan dan menerapkan pola hidup. Sebab, kesehatan menjadi faktor penting dalam mendukung pendidikan bermutu. Semua itu dimulai dari rumah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI