Mohon tunggu...
Jhon Rivel Purba
Jhon Rivel Purba Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti BRIN

Hidup sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Juli

20 Juli 2023   00:07 Diperbarui: 20 Juli 2023   00:37 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan mengingatnya kembali, aku selalu bertanya-tanya di dalam hati. "Mengapa banyak orang yang memiliki nama yang sama?". Juli. Nama itu begitu sering kudengar. Mereka yang bernama Juli ada di mana-mana. Mulai dari tetangga, teman satu kelas, senior dan junior sewaktu di sekolah dan kampus, teman satu organisasi, teman kursus, dan muridku. Secara umum, nama itu diambil dari nama bulan kelahiran mereka. Bulan Juli.

Dari sekian banyak yang bernama Juli, ada satu sosok yang bagiku sangat luar biasa. Bukan karena dia cantik dan manis, tapi karena dia mempunyai mimpi yang jarang dimiliki perempuan lainnya. Dia bagaikan kartini-kartini masa kini yang mencoba melawan arus budaya yang mengikat.

Tiga tahun lalu, awal mulanya aku mengenal sosok perempuan tangguh itu. Tepat di bulan Juli. Selama setahun komunikasi kami masih lancar. Aku tahu banyak hal tentang keluarganya, kondisinya, karakternya, dan cita-citanya. Dia cerdas. Menguasai bahasa Inggris dan Jerman. Bahkan aku sempat belajar bahasa Inggris darinya selama dua bulan.

Dulunya aku berharap bisa menguasai bahasa Inggris seperti dia agar aku bisa sekolah ke Belanda, tepatnya di Universitas Leiden. Tapi, mimpiku dihambat ketidakseriusanku. Aku hanya bisa menggali ilmu di dalam negeri.

Juli pernah berjanji padaku. Janjinya itulah yang hingga kini ingin kutagih. Janjinya pertama adalah mentraktirku makan dari gaji pertamanya, dan kedua adalah membantuku dalam mendanai sekolah yang kubangun. Tapi sejak kepergiannya ke Jerman dua tahun lalu, sepertinya janji itu telah dikubur waktu. Sudah dua tahun tak ada komunikasi dengannya.

Aku selalu mencoba melupakan dirinya termasuk janjinya. Tapi tak bisa. Masalahnya setiap hari aku memanggil nama Juli dan bertemu dengan orang yang bernama Juli. Otomatis aku langsung teringat dengan Juli yang menurutku masih di Jerman.

"Juli, jangan ribut. Kerjakan tugasnya!" perintahku kepada siswa yang kudidik. Lagi-lagi aku teringat dengan Juli yang entah di mana rimbanya kini.

Sekolah yang kubangun khusus untuk orang miskin ini telah berdiri hampir satu tahun. Dari dua puluh sembilan siswanya, ada dua orang bernama Juli. Satu laki-laki dan satu perempuan. Aku tidak mungkin mengeluarkan kedua orang itu dari sekolah ini kalau hanya untuk melupakan si Juli.

Siswa-siswa di sekolah ini berasal dari anak buruh kebun dan petani gurem. Diantara mereka ada yang sudah putus sekolah karena orangtuanya tak sanggup membayar biaya pendidikannya. Mereka semua ditampung di sekolah ini dan menjadi satu keluarga. Sekolah ini bernama Sekolah Merdeka.

Nama itu dibuat bukan hanya karena di sekolah ini bebas uang sekolah dan pungutan apapun. Tetapi intinya sekolah ini mengajarkan kemerdekaan berpikir dan berkreatifitas. Di sekolah ini siswa tak ditakut-takuti seperti di sekolah formal. Siswa bebas berekspresi menggali dan mengembangkan potensi masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun