Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dilema Lulusan Sarjana Pendidikan

14 Juni 2016   05:53 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 1789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sarjana Pendidikan. Sumber : ISPI

Sarjana Pendidikan atau disingkat dengan S.Pd merupakan gelar yang didapatkan oleh mahasiswa setelah lulus dari kuliah kependidikan. Semua mahasiswa yang mendapatkan gelar tersebut adalah mahasiwa yang kuliah di pendidikan dengan jurusannya masing-masing. Tujuannya satu, bagaimana cara untuk menghasilkan tenaga pendidik yang berkualitas bagi anak-anak bangsa. Itu adalah esensi dasar dari dari Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) di mana para lulusannya nanti akan diterjunkan langsung untuk mengajar di sekolah formal maupun informal.

Namun, tidak semua harapan LPTK sejalan dengan kemauan para lulusan. Berdasarkan pengamatan penulis, hanya 20% yang memilih atau kebetulan menjadi guru atau tenaga pengajar di sekolah-sekolah formal maupun informal. 5% di antaranya mengikuti program SM3-T (Sarjana Mendidik Daerah Tertinggal, Terdepat, dan Terluar) yang nantinya benar-benar menjadi guru PNS. Jadi, 80%-nya ke mana? Sebagian besar dari mereka lebih memilih aman, kerja kantoran, bekerja di bank, melanjutkan pendidikan ke jenjang S2,  wirausaha, atau menjadi PNS di instansi lain.

Apa yang dirasakan oleh mahasiswa kependidikan, calon lulusan, dan wisudawan kependidikan adalah sebuah kewajaran karena ketidakpastian yang diberikan oleh pemerintah kepada lembaga LPTK. Lembaga LPTK macam UNJ, UPI, UNP, UNIMED dan lain-lain harapaannya seperti digantungkan karena kurang jelasnya regulasi untuk menjadi tenaga pendidik professional (guru). 

Bayangkan, pemerintah memberikan kesempatan yang terbuka dan sama kepada lulusan sarjana murni untuk menjadi guru profesional, padahal mereka sama sekali tidak dibekali dengan pendidikan pedagogiknya, hanya andragogiknya saja, atau 99% materi asli. Jadi, bagaimana bisa mereka menjadi guru profesional? Bukankah lulusan sarjana kependidikan lebih memahami bagaimana cara mengajar yang baik, metode belajar yang baik, strategi belajar yang baik, memahami karakter siswa, memahami psikologi siswa ketimbang lulusan sajaran murni yang hanya mengerti materi melulu saja?

Jika guru adalah profesi, bagaimana dengan kedokteran atau dokter? Bukanlah itu bidang yang disamakan dalam profesi juga? Jika syarat menjadi dokter haruslah sarjana kedokteran, bukankah guru harus demikian juga? Jika untuk menjadi seorang dokter harus berlatar belakang bidang kedokteran yang mumpuni, bukankah seorang guru telah ditempa menjadi guru profesional yang memiliki kemampuan yang mumpuni di bidangnya?

Bagaimana dengan sarjana murni? Bukankah dengan membuka pintu lebar-lebar kepada para sarjana murni adalah sebuah penjajahan yang tidak etis kepada lulusan sarjana kependidikan? Banyak orang yang berpikiran jika menjadi guru itu adalah hal yang sangat mudah. Tidak. Tidak semudah apa yang anda pikirkan. Para sarjana pendidikan telah ditempa mentalnya bagaimana untuk mendidik seorang anak agar mengerti dan sesuai dengan tuntuan kurikulum pendidikan.

Distorsi yang demikian membuat dilema yang harus dihadapi oleh para lulusan sarjana kependidikan. Mau tidak mau, banyak di antara lulusan kependidikan terpinggirkan karena tes yang diberikan 80% merupakan tes materi pada saat tes keguruan, bukan materi seputar kependidikan. Jadi, mereka yang sarjana pendidikan mau dikemanakan? Bukankah ini adalah sebuah hal yang sia-sia, membuang-buang benih di tengah gurun kehausan yang abadi? Jika kebiasaan membuang benih di gurun tersebut tidak dihentikan, sampai kapan pendidikan yang berakhlak dan bermoral tinggi bisa terwujud sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri?

Mereka lulusan sarjana kependidikan yang memilih untuk bekerja tidak sesuai dengan bidangnya akan lebih menjadi dilema besar lagi dalam kehidupannya. Seberapa besar peluang yang akan mereka dapatkan dengan membawa modal S.Pd ini? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja lebih doyan kepada sarjana murni, apalagi dengan lembaga lainnya? perusahaan bonafide dan mulitnasional mana yang mau menerima para lulusan Super Pendidik ini? Sudah barang umum jika perusahaan dan perkantoran menomorduakan sarjana pendidikan daripada Sarjana murni terutama yang berkaitan dengan bidang yang bersangkutan.

Jika demikian, sampai kapan distorsi yang seperti ini masih berlanjut? Negara Indonesia harusnya perlu belajar kepada Finlandia. Di Finlandia, guru adalah profesi paling mulia dan paling susah untuk dicari. Bayangkan, setiap tahunnya, kampus jurusan kependidikan adalah kampus favorit di sana, dan peluang untuk lolos di kampus kependidikan di Finlandia pun sangat kecil, 1 : 8 jika dibandingkan dengan kedokteran. Sungguh luar biasa bukan?

Indonesia perlu membangun sebuah paradoks yang menyatakan bahwa pendidikan adalah yang paling tinggi di atas segalanya. Pendidikanlah yang membangun fondasi akhlak dan moral manusia sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang mampu bersaing dan bermoral tinggi. Jika pendidikan yang demikian telah ditata sedemikian rupa, maka tenaga kependidikan sudah sepantasnya di nomor satukan, bukan dinomor berikutkan lagi agar motivasi menjadi tinggi saat ingin menjadi sarjana kependidikan sehingga output yang dihasilkan jelas semakin berkualitas.

Pada saat yang sama, pemerintah juga perlu membuat regulasi yang jelas soal calon tenaga pendidik atau guru. Seseorang yang menjadi guru haruslah lulusan kependidikan sebagaimana dengan dokter yang berasal dari lulusan kedokteran. Dengan demikian, tercapailah keseimbangan dan keinginan yang setara dalam pengembangan pendidikan secara menyeluruh. Sarjana pendidikan tidak kehilangan haknya, pendidikan Indonesia akan semakin maju.

Jhon Miduk Sitorus

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun