Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Buka Tutup Keran Ekspor Batu Bara, Antara Wibawa Negara dan Kontribusi terhadap Ekonomi Global

13 Januari 2022   19:22 Diperbarui: 14 Januari 2022   05:38 1328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi proses pengangkutan hasil tambang Batu Bara dengan menggunakan kapal Tongkang | Sumber: REUTERS/VOA Indonesia via Kompas.com

Sesuai dengan rencana 2021, pemerintah resmi melarang ekspor batu bara ke negara lain selama 1 bulan (1-- 31 Januari 2022) demi memaksimalkan supply ke semua Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). 

Ada 20 PLTU baik PLN maupun Independent Power Producer (IPP) dengan daya 10.850 Mega Watt (MW) yang mengalami krisis pasokan batu bara, di mana diperkirakan cadangannya hanya mampu mendukung operasi hingga 20 hari saja, hal ini memang menjadi warning mengingat kebutuhan listrik dalam negeri yang disumbang oleh batu bara yang masih sangat dominan, yaitu 61%. PLTA hanya mampu menyumbang 8%, diikuti PLTP sebesar 3%.

Namun, baru 11 hari larangan ekspor berjalan, Indonesia sudah membuka kembali keran ekspor batu bara. Protes keras dari Jepang, Korea Selatan, dan Filipina menjadi salah satu penyebabnya secara eksternal. 

Alasan internal, pemerintah beralasan bahwa kebutuhan PLTU terhadap batu bara sudah terjaga dengan baik (sudah melewati masa kritis) sesuai dengan laporan PLN kepada pemerintah sebelum larangan ekspor dicabut. Per hari Rabu, 12 Januari 2022, kegiatan ekspor batu bara telah mulai dilakukan secara bertahap.

Larangan ekspor batu bara ini sempat menjadi euforia dan mengundang apresiasi dari berbagai pihak, termasuk lawan politik Jokowi yang mendukung larangan ekspor tersebut. 


Berbagai pihak bahkan berspekulasi bahwa pemerintah akan membangun stockpile atau gudang penyimpanan batu bara dalam skala besar demi menjaga stok dan cadangan masa depan batu bara kita, mengingat batu bara merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (akan habis sekali pakai).

Kebijakan ini lebih membuat Indonesia serasa di atas angin lagi karena 3 negara (2 diantaranya negara maju) Jepang, Korea Selatan, dan Filipina langsung mengajukan protes terhadap Indonesia karena menutup keran ekspor batu bara. 

Ini artinya, 3 negara ini sangat tergantung kepada negara Indonesia dalam bidang batu bara, kebutuhan listrik ketiga negara ini sangat tergantung pada pasokan batu bara Indonesia. 

Artinya, Indonesia sangat bisa melakukan embargo batu bara jika pada suatu saat tertentu ada peselisihan yang tidak adil bagi Indonesia. Risikonya? 

Ya, ketiga negara tersebut akan mengalami krisis energi dan belum siap untuk mencari penggantinya. Tak hanya negara itu, Tiongkok, India, dan Malaysia juga sebenarnya terancam krisis energi imbas dari kebijakan yang sangat populer bagi Indonesia ini.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), distribusi ekspor batu bara Indonesia terhadap 5 besar negara pengimpor/tahun terbanyak adalah negara Tiongkok sebesar 127,7 juta ton, India 97,5 juta ton, Filipina 27,4 juta ton, Jepang 26, 9 juta ton, Malaysia 26,1 juta ton serta Korea Selatan 24,7 juta ton.

Khusus negara Tiongkok, ekspor ke negara tersebut mencapai 32% dari total ekspor batu bara Indonesia keseluruhan. Kontribusi batu bara Indonesia terhadap kebutuhan Tiongkok adalah sebesar 70-80% untuk memenuhi kebutuhan 1.082 PLTU (50% lebih dari total PLTU dunia) di Tiongkok. 

Sedangkan India juga tak kalah amat tergantung terhadap batu bara asal Indonesia. Kontribusi batu bara Indonesia memenuhi 40-50% kebutuhan dalam negeri India dimana 60%nya dikhususkan untuk PLTU sebanyak 281.

Keputusan Populer untuk Wibawa, tapi Dilema untuk Global

Bagi Indonesia, larangan ekspor batu bara ini sangat populer. Artinya, secara psikologis seluruh elemen negara akan mendukung keputusan ini, mengingat ketergantungan negara-negara raksasa terhadap batu bara Indonesia sangat tinggi. 

Harga batu bara tentu sangat murah juga karena batu bara sifatnya bahan mentah dan bahan baku juga harga batu bara selalu mengikuti harga pasar global, bukan sesuai dengan ketentuan dari Indonesia sendiri.

Menutup keran ekspor batu bara berarti menegaskan bahwa Indonesia sendiri bisa berdaulat dibidang energi fosil serta menegaskan hasil sumber daya alam Indonesia harus dikelola dan dinikmati oleh rakyat Indonesia sendiri seutuhnya. 

Kebijakan ini sejalan dengan kebijakan Jokowi untuk melarang ekspor nikel dan CPO demi menaikkan nilai tambah didalam negeri kita sendiri.

Meski demikian, ada dampak lain yang dirasa signifikan adalah berkurangnya devisa negara dari sektor ekspor batu bara. Rata-rata ekspor bulanan Indonesia mencapai 25-28 juta ton dengan nilai Rp 20 -- 24 Triliun per bulannya.

Dampak eksternal lebih mengerikan, larangan ekspor batu bara Indonesia membuat dunia seakan mati sekejap. Dunia akan mengalami kelangkaan pasokan batu bara yang mengakibatkan harga batu bara meningkat tajam. Ini baik untuk Indonesia, tetapi tidak baik untuk global dan kesehatan ekonomi dunia. 

Kelangkaan pasokan dan harga yang tinggi mengakibatkan rantai pasokan global terganggu. Supply terhadap kebutuhan pembangkit energi listrik semakin sedikit sehingga mengakibatkan krisis energi yang parah.

Krisis energi ini akan mengakibatkan pemulihan ekonomi global akan terganggu apalagi dunia sedang dibayang-bayangi oleh varian baru Covid-19, B.1.1.529 (Omicron). 

Bank Dunia bahkan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 4,3% menjadi 4,1%. Padahal, Ekonomi Global sudah sempat rebound ke angka 5,5% pada tahun 2021 lalu. Kasus harian yang semakin meningkat diberbagai negara, bukan tidak mungkin realisasi pertumbuhan ekonomi global 2022 akan lebih rendah dari angka 4,1%.

Antara memikirkan wibawa bagi negara kita, atau ikut serta dalam menyelamatkan global dari krisis energi dan baying-bayang rendahnya pertumbuhan ekonomi yang semakin menghantui, dilematis sebenarnya. 

Meski demikian, membuka keran ekspor tak sepenuhnya menunjukkan jika pemerintah tidak konsisten, apalagi belum sebulan kebijakan ini berjalan. Kebijakan ini sebenarnya situasional, jika stok untuk pasokan PLTU di dalam negeri sudah aman dalam jangka waktu tertentu, maka tidak ada salahnya juga ikut membantu negara lain sambil menggelorakan semangat mengembangkan energi terbarukan.

Ikut serta menjaga ketahanan global dari krisis energi adalah suatu bentuk dari negara berdaulat dan berpengaruh besar dalam kancah perekonomian dunia. 

Bagi pemerintah, kesempatan ini sekaligus menjadi momentum untuk mempersiapkan dan memaksimalkan hilirisasi segala sumber daya alam agar kedepannya kita bisa manfaatkan untuk kebutuhan kita sendiri. Hasilnya tentu akan jauh lebih produktif baik secara kualitas maupun kuantitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun