Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan featured

Apresiasi terhadap Atlet Indonesia Masih Sekadar Omong Kosong?

25 Mei 2017   23:44 Diperbarui: 9 September 2019   14:51 3636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Atlet Angkat Berat Sandra Diana Sari bersama rekannya mengumpulkan dana sumbangan demi mengikuti kejuaraan nasional di Medan, Agustus 2017. Sumber : superball.tribunnews.com

Jika ada pertanyaan, atlet negara manakah yang sering diabaikan oleh pemerintahnya? Saya pikir 8 dari 10 orang akan menjawab nama Indonesia masuk dalam list jawabannya. Saya juga sepakat dengan pendapat yang demikian.

Baru-baru ini, dunia olahraga Indonesia dihebohkan dengan berita permasalahan yang dialami oleh lifter (Angkat Berat) putri asal Sumatera Barat, Sandra Diana Sari yang terpaksa turun kejalan untuk mengamen demi uang receh dari orang-orang yang lewat dijalanan.

Sandra bersama dengan rekan atlet lainnya membentangkan spanduk dan membawa kardus untuk mengumpulkan uang  receh didepan kantor Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat. 

Uang tersebut akan dipergunakan untuk keperluan latihan, serta membeli berbagai keperluan untuk latihan. 

Latihan tersebut harus dilakukan dengan rutin demi mengikuti kejuaraan yang akan berlangsung di Medan, Sumatera Utara pada Agustus 2017.

Bila dilihat dari latar belakang seorang Sandra, nasib yang dialaminya sangat memprihatinkan bagi dunia olahraga Indonesia. 

Sandra adalah peraih 4 medali emas di kejuaraan Angkat Berat Asia, prestasi yang sangat mentereng bagi seorang atlet nasional Indonesia karena ukuran 4 medali emas bukanlah hasil yang biasa-biasa.

Menurut pengakuan Sandra dari berbagai sumber, dirinya tidak begitu mengharapkan bantuan dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) karena bantuan tersebut hanya janji belaka. 

Sejak meraih 4 medali emas tingka Asia di Bandung, bantuan finansial yang diberikan oleh KONI tak turun hingga sekarang. 

Padahal, dirinya tampil begitu ciamik dengan mengalahkan atlet asal India yang berpeluang lebih untuk juara.

Atlet Minim Apresiasi dan Akuntabilitas Lembaga Olaharaga

Salah satu penyebab utama minimnya prestasi olahraga Indonesia adalah karena minimnya apresiasi yang diberikan kepada para atlet sehingga tidak bisa berkontribusi secara maksimal. 

Apresiasi real biasanya diberikan dalam bentuk finansial, atau uang yang akan dipergunakan oleh atlet dalam memenuhi kebutuhannya baik sebagai manusia biasa ataupun statusnya sebagai seorang atlet.

Mayoritas atlet Indonesia yang diberikan tunjangan juga hanyalah atlet-atlet yang berada di pelatnas atau sedang mengikuti kejuaraan internasional tertentu. 

Biasanya mereka akan diberikan bonus jika mampu mendapat medali, tetapi selebihnya tidak akan diberikan apa-apa lagi.

Itu  artinya begitu selesai turnamen, tidak ada apresiasi jangka panjang terhadap mereka seperti tunjangan bulanan secara tetap, dana pensiun, atau pemberian fasilitas seperti rumah dan lain-lain.

Jika ditelisik masalah keuangan, sebenarnya lembaga keolahragaan yang bersangkutan bukannya kekurangan finansial untuk memberikan dukungan yang lebih pantas kepada para atlet Indonesia. 

Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) misalnya, ada  sebanyak 3,14 triliun dianggarkan dari APBN 2017. 

Tak hanya itu, even olahraga biasanya disertai dengan sponsorship dari berbagai perusahaan-perusahaan bonafit sehingga dipastikan tidak ada masalah kekurangan dana bagi atlet manpun sepanjang Kemenpora mampu mendistribusikan dana dengan baik.

Demikian juga KONI yang selalu mendapat gelontoran dana dari APBD daerah masing-masing ditambah dengan kontribusi pemerintah daerah secara langsung.

Rasanya tidak mungkin para atlet mengalami nasib seperti yang dialami Sandra jika memang dana dukungan finansial disampaikan secara transparan dan akuntabel.

Berkaca Kepada Jerman

Indonesia mungkin tidak layak jika disandingkan dengan Jerman dalam olahraga apapun, mungkin hanya bulutangkis yang patut untuk dibanggakan dari Indonesia terhadap Jerman. 

Tetapi, jangan ragukan soal bagaimana keseriusan pembinaan atlet sejak usia dini. Jerman bahkan telah membangun berbagai fasilitas olahraga untuk membina para putra daerah di daerah masing-masing sejak 30 tahun yang lalu.

Dukungan penuh dari pemerintah adalah salah satu kunci kesuksesan Jerman dalam membina atletnya. 

Dukungan yang diberikan diusakan secara menyeluruh sehingga para atlet benar-benar merasa nyaman sehingga fokus untuk aktivitasnya sebagai seorang olahragawan. 

Tak lupa juga setiap aktivitas yang mereka jalani selalu diberi apresiasi tinggi oleh pemerintah dan masyarakat setempat sehingga semakin meningkatkan rasa percaya diri para atlet.

Sejak dini, kesejahteraan mereka sudah diutamakan oleh para organisasi olahraga di Jerman bersamaan dengan pembangunan pusat fasilitas olahraga yang modern. 

Memang membutuhkan biaya mahal untuk mendirikan fasilitas dan apresiasi terhadap para atlet, tetapi modal yang mahal tersebut jelas akan terbayar pada saat atlet sudah matang dan siap untuk menghadapi turnamen. 

Begitulah, sehingga Jerman mampu merengkuh trofi piala dunia 2014 lalu, tidak bisa kita membohongi bahwa Jerman memang benar-benar melakukan persiapan untuk meraihnya jauh tahun sebelumnya.

Belajar dari Sejarah

Indonesia pernah memiliki atlet berprestasi luar biasa hingga dibanggakan oleh dunia Internasional tetapi sayang.

Apresiasi terhadap karya dan dedikasi mereka terhadap bangsa hilang bak ditelan bumi. Begitu turnamen selesai, mereka terabaikan, nama merekapun tak pernah terdengar hingga kini.

Amin Ikhsan, mantan atlet senam yang pernah menduduki peringkat 7 kejuaraan dunia tahun 2003 di Tokyo, Jepang harus menjual barang-barang rongsokan dari sisa bangunan yang telah dirobohkan demi menyambuh hidup. 

Bahkan rumahnya pun turut menjadi korban penggusuran pemkot Bandung pada tahun 2015.

Anang Ma’ruf, mantan bek kanan Persebaya dan Timnas Indonesia era 1990-an harus banting setir menjadi pengendara ojek online. 

Padahal dirinya pernah mempersembahkan medali perak di ASEAN Games 1998 dan medali perunggu pada tahun berikutnya.

Maria Segendi, mantan atlet pencak silat peraih medali emas Sea Games 1981, Filiphina harus menjadi sopir taksi meski pada tahun 2013 baru menerima penghargaan dari pemerintah.

Suharto, mantan atlet balap sepeda yang kini berprofesi sebagai tukang becak, dirinya pernah merebut medali emas Sea Games 1979 di Malaysia untuk nomor “Team Time Trial” jarak 100 Km.

Demikian juga dengan Hasan Lobubun (tinju), Lenni Haeni (Dayung), Ellias Pical (tinju) yang harus menjadi satpam disebuah tempat hiburan, Tati Sumirah (bulutangkis) Jatmiko (angkat besi), Denny Thios (angkat besi), dan masih banyak atlet yang terabaikan nasibnya kini, padahal mereka berjasa besar bagi negara.

The question is, jika atlet dan pahlawan yang sudah mempersembahkan medali prestisius saja bisa terabaikan bagai kacang lupa kulitnya, bagaimana dengan atlet yang sedang dalam tahap berjuang hingga kini? 

Barangkali itu yang membuat Sandra bepikiran harus mencari dana sendiri tanpa mengharapkan dana dari pemerintah karena hanya janji belaka.

Toh suatu saat nanti para atlet-atlet hebat masa kini akan terabaikan oleh omong kosong janji manis pemerintah, untuk apa mengharapkan dana dari mereka? Kurangnya fasilitas dan apresiasi menjadi dilemma tersendiri bagi atlet Indonesia masa kini. 

Di satu sisi, mereka harus bersikap professional sebagai seorang atlet, tetapi disisi yang lain mereka juga seorang manusia biasa, yang butuh dukungan finansial dan moral demi menyambuh kehidupan.

Karena, biar bagaimanapun, mereka hidup bukan untuk diri sendiri dah perut semata, tetapi ada tanggungjawab lain yang amat berat untuk dipikul.

Sejarah telah membuktikan jika Indonesia begitu abai terhadap atlet Indonesia. Kebiasaan yang telah membudaya ini perlu diubah agar meningkatkan semangat dan prestasi atlet Indonesia. 

Pemerintah jangan hanya berfokus kepada atlet-atlet ternama saja, tetapi harus fokus dan memberikan perhatian yang sama kepada atlet daerah karena potensi terbesar prestasi nasional Indonesia berasal dari mereka, di sanalah bibit alami masa depan Indonesia tumbuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun