Di bawah lampu kota yang tak pernah benar-benar terang,
Ada anak kecil menawar harapan dengan sebungkus permen.
Matanya tak meminta,
tapi siapa pun bisa membaca luka dari tatapannya.
Di trotoar sempit yang dilupakan perencana kota,
Nenek renta menjajakan kue kering dan doa,
Ditawar seribu oleh mereka
yang tak pernah tahu rasanya lapar bukan karena diet.
Di layar kaca,
mereka berkata: "Negeri ini tumbuh, ekonomi membaik."
Tapi di gang sempit dan rumah kardus,
yang tumbuh hanya utang dan barisan antrean sembako.
Lalu siapa yang mendengar tangisan
dari balik pintu-pintu rumah kontrakan?
Siapa yang peduli pada lelaki tua
yang mengais sisa nasi dari tempat sampah swalayan?
Kami bukan tak mau diam,
tapi diam hanya mempertebal tembok-tembok acuh.
Puisi ini bukan sekadar kata,
ini jeritan yang tak pernah masuk berita utama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI