Mohon tunggu...
Jerry Listya
Jerry Listya Mohon Tunggu... -

-

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Lapangan Pekerjaan di Era Digital, Hilangkah?

25 November 2017   16:00 Diperbarui: 26 November 2017   18:58 1681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Indonesia menjadi saksi betapa pesatnya pertumbuhan teknologi dalam sepuluh tahun terkahir. Awal pertumbuhan di era milenial ini bermula dengan ditemukannya komputer dan berkembang lagi dengan muncul alat komunikasi pintar atau smartphone. Pada awalnya komputerisasi ini hanya menjadi alat untuk mempermudah aktifitas perekonomian seperti pada sektor industri. 

Namun, dengan kehadiran internet dan dengan kemudahan akses internet tersebut melalui smartphone, industri bergerak melenceng dari proyeksi-proyeksi yang dibuat 10-15 tahun lalu. 

Dalam era kemajuan teknologi yang begitu masif ini, hampir semua sektor ekonomi berlomba-lomba mengubah pola pelayanannya dan menambahkan fasilitas digital dalam menyediakan jasa. Para pelaku ekonomi melihat fitur digital ini memberi peluang lebih bagi mereka untuk menjangkau pasar dan mengurangi biaya operasional dari pengusaha itu sendiri.

DUA SISI FITUR DIGITAL

Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah kenapa fitur digitalini menjadi faktor pengurang biaya produksi dan faktor dari efektifitas untuk menjangkau pasar. Jika dilihat dari sisi supply chain,kehadiran fitur digital ini memangkas jarak hubungan pemilik usaha dan konsumen. Fitur digital ini secara kasat mata menggantikan posisi pekerja yang dalam susunan struktur organisasi adalah sebagai perantara atau middle-men.Apakah ini hal yang bagus? Tentu situasi ini harus dikaji sisi positif dan negatifnya.

Dari sisi positif, ada beberapa hal yang dapat memperkuat kehadiran fitur digitalini diantaranya (1) turunnya harga karena pengusaha dapat meminimalkan operasional costs,(2) memperluas jangkauan pemasaran, (3) hilangnya barrier to entrybagi usaha-usaha rintisan. Operasional costsdisini adalah biaya setelah proses produksi selesai. 

Biaya ini misalnya biaya sewa gedung untuk mendirikan toko, biaya perawatan, biaya gaji karyawan dan biaya lain guna mendukung proses distribusi. Ambil contoh toko onderdil kendaraan di jalan Dewi Sartika, Jakarta. Untuk membuka toko, si pengusaha harus sewa ruko atau pun membelinya. Untuk operasionalnya tentu saja perlu listrik dan air serta perawatan seperti alat kebersihan. Selain itu, si pengusaha harus membayar gaji karyawan tiap bulannya. 

Biaya-biaya seperti ini tidaklah sedikit. Memang secara teori si pengusaha dapat membebankan biaya-biaya ini ke konsumen dalam bentuk proporsi harga barang tergantung tergantung dari tingkat elastisitas harga barang yang dijual. Jika bisnis ornderdil ini dijalankan secara digital, si pengusaha dapat menekan operasional coststadi dengan cara menyimpan barang dagangan dirumah, tidak ada kebutuhan memiliki karyawan dalam jumlah besar dan biaya-biaya lainnya.

Terlepas dari operasional costs tersebut, fitur digital memudahkan pengusaha untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Karateristik borderlessdari sistem internet ini membuka peluang bagi pengusaha untuk dapat secara instan memasarkan barangnya melalui baik media sosial atau aplikasi perdagangan lainnya. 

Pada pola ekonomi sebelumnya, pemasaran membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan batasan biaya tersebut yang membuat pengusaha kecil-menengah mengalami kesulitan menjangkau pasar yang lebih luas dan tentu saja berimbas pada besaran skala usaha mereka.

Fitur digitaldan akses ke internet ini juga menjadi insentif bagi pengusaha perintis yang dahulu kesulitan untuk memulai usahanya dikarenakan besarnya biaya establishment. Biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha untuk melakukan penetrasi ke pasar atau sering disebut barrier to entry menjadi minimal. 

Saat ini, pengusaha kecil tidak perlu kawatir akan kebutuhan modal besar karena costsmulai dari pendirian fisik tempat usaha, pemasaran dan operasional terpangkas oleh fitur digital.Coba kita tengok pengusaha makanan. Sekarang mereka tidak perlu mempunyai restoran yang besar dan nyaman untuk menarik pelanggan. Mereka cukup memikirkan unsur pembedanya lalu memasarkannya secara digital.

Di sisi negatif, hal yang paling mencolok adalah munculnya usaha baru tidak berjalan positif dengan penciptaan lapangan kerja. Kemampuan fitur digitaluntuk memangkas jarak pemilik usaha dan konsumen membuat pekerjaan middle-men seperti karyawan dan tenaga pendukung lainnya menjadi berkurang atau bahkan hilang. 

Para pengusaha, baru atau lama, tidak membutuhkan banyak pekerja untuk menjalankan bisnisnya seperti pola usaha terdahulu. Kemampuan otomasi dari sistem digital menggantikan tugas yang dulu digarap oleh karyawan. Sebut saja pekerjaan mengambilkan barang yang diinginkan konsumen di toko kovensional. Di toko digital,barang akan disusun secara otomatis dan konsumen hanya perlu melakukan pencarian melalui keywordtertentu.

Selain itu, sifat borderlessdari fitur digitalini membuat skala dari aktifitas ekonomi ini tidak dapat tertangkap oleh metode-metode penghitungan pertumbuhan. Pada metode yang saat ini digunakan, penghitungan dapat diambil dari catatan arus keluar masuk barang dengan mekanisme perpajakan dan bea masuk/keluar. Ini dapat dilakukan karena pengusaha memiliki aset fisik usaha yang tercatat dengan baik dan penjadi subjek pajak. 

Dengan masuknya sistem digital, jejak fisik tersebut tersebut hilang. Bahkan batas kedaulatan negara yang juga menjadi acuan perdagangan menjadi hilang. Sebagai contoh, arus transaksi dari amazon.com akan sulit dilacak karena kantor perusahaan, gudang penyimpanan dan shippingorigin serta konsumennya bisa berasal dari negara yang berbeda-beda. Dengan demikian, pemerintah akan sulit menentukan objek pajak dari aktifitas perdagangan ini. Hal ini dikarenakan (1) sulitnya pelacakan aktifitas fisik, (2) sulitnya penerapan sistem perpajakan terkait sovereignityatau kedaulatan bangsa jika supply chain office-nya berada di negara berbeda dan (3) belum terintegrasinya sistem informasi perbankan global.

PERGESERAN POLA PENYEDIAAN LAPANGAN KERJA

It is about raising the pace of growth and enlarging the size of the economy, while levelling the playing field for investment and increasing productive employment opportunities.

-World Bank-

World Bank menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang inklusif tidak hanya laju pertumbuhan itu sendiri yang menjadi perhatian, namun memperbesar ukuran ekonomi juga menjadi perhatian. Besarnya ukuran ekonomi memberikan arti bahwa ruang dari kesempatan kerja dan kesejahteraan harus mampu menjangkau sebanyak mungkin dari populasi. 

Dengan demikian kesenjangan pendapatan menjadi menipis. Hal ini tampaknya sangat bertolak belakang dengan trend yang terjadi saat ini dengan berkembangnya fitur digitalmemangkas kerja karyawan atau middle-men. Namun apakah demikian?

Jika dilihat lebih dalam, perkembangan ekonomi digitalini tidak benar-benar menghilangkan lapangan kerja ataupun tidak menciptakan lapangan kerja. Aktifitas ekonomi berbasis digitalsebenarnya hanya merubah struktur tenaga kerja saja. 

Peran middle-men tadi tidak hilang namun hanya saja berbeda dalam hal siapa yang memberi pekerjaan, bagaimana pola kontrak kerja dan bagaimana pertanggungjawabannya. Pada pola perekonomian konvensional, ketiga komponen diatas sepenuhnya dipegang oleh pengusaha. Karyawan bekerja, bertanggung jawab dan terikat kontrak kepada pemilik usaha. Quality control, standar kerja dan upah dikendalikan oleh sang pengusaha.

Beda halnya dengan pola digital. Middle-men tadi tidak langsung bekerja dan terikat dengan pengusaha namun lebih terikat kepada konsumen. Menganut pola loose Contract, mereka tadi tetap memiliki sebagai kepanjangan tangan pengusaha namun pola quality controldipegang oleh konsumen. Fitur pemberian rating dalam dunia digital membuat reputasi para middle-men tadi dipegang oleh konsumen.

Karena memang sekarang para middle-menbekerja secara independen dan tidak terikat kontrak hubungan kerja yang mengikat kepada satu perusahaan, kehadiran mereka sulit untuk dicatat dalam angka tenaga kerja. Belum kuatnya institusi pemerintah untuk menangkap aktifitas digital inilah yang menyebabkan seakan-akan terjadi penurunan angka penciptaan lapangan pekerjaan dan naiknya angka pengangguran.

KEBIJAKAN PEMERINTAH

Perkembangan industri berbasis digital memang harus dapat di-capturedengan baik oleh pemerintah. Dengan mampu memotret pertumbuhan ekonomi digital dengan baik dan detil, pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat baik dari segi pencatatan, perkembangan dan manfaat bagi masyarakat. 

Sebagai sebuah institusi, pemerintah memegang kendali akan cepat lambatnya masyarakat di Indonesia untuk beradaptasi. Selain itu, sesuai dengan semangat Nawacita yang diusung oleh Presiden Jokowi, mutlak bagi pemerintah mencari cara agar perkembangan digital didorong untuk medukung aktifitas perekonomian yang inklusif.

Sesuai yang diamanatkan oleh Undang-undang, pemerintah sudah mengalokasikan 20% dari APBN untuk anggaran pendidikan dan 5% untuk anggaran kesehatan.  Melansir data dari BPS, komposisi tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar sebanyak 50,98 juta jiwa atau 42,13% dari total tenaga kerja. Hal ini memang sangat tertinggal dari negara-negara lain apalagi jika komposisi ini dikaji dalam kerangka kesiapan dalam menghadapi era digital.

World Bank dalam risetnya mengatakan, untuk merealisasikan education promiseada 4 komponen yang harus dipenuhi yaitu (1) pre-kondisi dari siswa, (2) kualitas pengajar, (3) manajemen sekolah dan (4) adalah governance.Pemerintah dengan 5% alokasi anggaran untuk kesehatan sudah mulai mencoba mempengaruhi komponen nomor 1. Sedangkan alokasi anggaran pendidikian sebesar 20% adalah digunakan untuk mempengaruhi/ memperbaiki kondisi 2-4. 

Namun demikian, 20% alokasi anggaran saja tidak cukup. Koordinasi antar Kementerian/Lembaga mutlak untuk ditingkatkan untuk menjamin kualitas dari pemanfaatan alokasi anggaran 20% tersebut. Kualitas kurikulum Pendidikan, kualitas pengajar dan pola remunerasi berbasis prestasi sangat pelu untuk ditingkatkan. 

Memang disadari kebijakan ini adalah kebijakan yang inklusif dan membutuh waktu yang lama. Akan tetapi, jika sinergi antar institusi dapat berjalan dengan solid. Perkembangan digital menjadi peluang yang sangat terbuka bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia di masa mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun