Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kebiasaan Membaca untuk Memerangi Berita Bohong

17 Januari 2019   09:31 Diperbarui: 6 Juli 2021   15:52 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebiasaan membaca secara digital dapat bernilai positif. Jangan dimusuhi. Sumber: https://www.kqed.org

Mungkin karena itu, dugaan yang dilontarkan Alois Wisnuhardana, Head of Social Media Management Center dari Kantor Staf Presiden RI ada benarnya. Bahwa sifat cepat percaya karena keadaan emosi yang labil menjadi salah satu elemen yang mendorong penyebaran berita buruk dan ujaran kebencian. 

Dugaan ini masuk akal jika kita merujuk pada hasil survei We Are Social di tahun 2017 yang menemukan bahwa 18 persen pengguna media sosial adalah anak-anak berusia 13--17 tahun. Dan ini diperkuat oleh temuan DailySociaId (2018) yang menunjukkan bahwa pengguna smartphone pada rentang usia 16 -- 30 tahun berjumlah 67,62 persen (14,52 persen pada usia 16-19 tahun, 31,75 persen pada usia 20-25, dan 21,75 persen pada usia 26-29).

Baca juga : Menulis dan Membaca adalah Pasangan Tak Terpisahkan

Pertanyaannya, mengapa kelompok usia muda tampak dengan gampang menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian? Dugaan Alois Wisnuhardana, penyebabnya tidak hanya karena anak-anak muda memang masih labil dan emosional, tetapi juga karena minat dan kebiasaan membaca yang masih rendah. 

Pendapat ini dijustifikasi dengan merujuk ke peringkat membaca negara Indonesia yang masih berada di urutan 60 dari 61 negara, posisi sedikit lebih baik dari Bostwana di urutan 61.

Jika ini duduk persoalannya, bahwa ternyata kelompok anak muda kita memang rentan terhadap berita bohong dan ujaran kebencian, baik sebagai penyebar maupun sebagai korban, tampaknya peningkatan kegemaran membaca menjadi salah satu jalan keluar. 

Memang orang seperti Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, menginginkan, mengusahakan dan mendorong anak-anak muda membaca buku cetak, perilaku membaca kelompok ini harus diperhitungkan. 

Merujuk ke laporan DailySocialid (2018), anak-anak muda umumnya mengakses maupun menyebarkan hoax melalui platform facebook (77,76 persen), lalu diikuti berturut-turut oleh WhatsApp (72,93 persen), Instagram (60,24 persen), dan Line (32,97 persen). Itu artinya anak-anak muda kita memang terbiasa mengakses dan menggunakan platform ini, maka upaya meningkatkan minat baca harus juga mempertimbangkan platform yang memang terbiasa diakses mereka.

Dalam arti itu, saya setuju bahwa kebiasaan membaca dapat menjadi penangkal yang efektif dalam membendung penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian, termasuk juga mengerem kebiasaan menyebarkannya. Ini karena membaca memampukan seseorang untuk bersikap kritis (critical mind), bersikap filosofis dalam arti tidak mudah percaya pada berbagai informasi, tetapi juga dorongan untuk mencaritahu dan menemukan sendiri kebenaran (inquiry). 

Kebiasaan membaca setiap hari memang memampukan seseorang mencapai -- antara lain -- perbaikan memori, penambahan kosa kata, perbaikan konsentrasi, dan keterampilan analisis yang lebih kuat.

Jangan Memusuhi Kebiasaan Membaca Secara Digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun