2. Penerapan Sistem Peringatan Dini dan Penetapan Zona Bahaya
Keberadaan papan peringatan, monitoring cuaca berbasis sensor digital, dan penetapan zona bahaya mutlak diperlukan. Jalur-jalur ekstrem harus segera ditutup apabila terjadi perubahan cuaca ekstrem, kabut tebal, atau angin kencang, guna menghindari potensi kecelakaan fatal. Dalam kasus Juliana, dugaan bahwa ia terpeleset dalam kondisi cuaca buruk tanpa pengawasan memunculkan pertanyaan besar: di mana sistem peringatan dini saat itu?
3. Kewajiban Menggunakan Pemandu Resmi dan Bersertifikat
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak wisatawan asing mendaki hanya bermodalkan peta digital, GPS, dan informasi daring tanpa pendampingan dari pemandu lokal. Ini adalah risiko besar. Pemerintah daerah dan pengelola taman nasional harus menetapkan regulasi ketat, mewajibkan seluruh pendaki terutama wisatawan mancanegara untuk menggunakan jasa pemandu bersertifikat yang terdaftar secara resmi. Pendaki yang melanggar harus dikenai sanksi administratif demi menjaga keselamatan bersama.
4. Simulasi SAR dan Evakuasi Darurat yang Berkelanjutan
Kapasitas tim penyelamat atau SAR tidak hanya ditentukan oleh jumlah personel, tetapi oleh seberapa siap mereka menghadapi situasi darurat ekstrem. Oleh karena itu, simulasi evakuasi perlu dilakukan secara berkala dengan skenario bencana yang variatif: mulai dari pendaki jatuh ke jurang, hilang dalam kabut tebal, hingga serangan hipotermia di puncak. Tim SAR juga perlu dilengkapi dengan peralatan mutakhir seperti drone pencari panas, tali jangkar panjang, tandu ringan lipat, dan sistem komunikasi darurat. Koordinasi antar instansi seperti Basarnas, BPBD, pengelola TNGR, serta relawan lokal harus diperkuat agar proses penyelamatan dapat berjalan cepat dan efisien, tanpa hambatan birokrasi.
Rinjani Harus Lebih Siap, Jangan Ada Juliana Berikutnya
Kematian Juliana Marins tidak boleh dipandang sebagai insiden biasa. Ia bukan sekadar pendaki yang terjatuh di jurang curam Rinjani, melainkan simbol nyata bahwa sistem keselamatan di kawasan wisata alam kita belum cukup kokoh untuk menghadapi risiko ekstrem. Tragedi ini adalah alarm keras bagi semua pihak pengelola taman nasional, otoritas lokal, pelaku wisata, dan kita semua bahwa keselamatan tidak boleh menjadi urusan sambil lalu. Dalam dunia wisata petualangan, mitigasi risiko bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban moral yang tak bisa ditawar.
Gunung tak pernah bersalah. Ia berdiri di tempat yang sama, setia pada karakternya. Tapi kelalaian manusialah yang sering mengubah keindahan menjadi bencana.
- Jika kita benar-benar mencintai alam dan menghargai setiap nyawa manusia, maka tragedi seperti ini tak boleh lagi terulang.
Karena satu nyawa siapa pun dia terlalu berharga untuk dikorbankan atas nama ketidaksiapan, kesalahan prosedur, atau kelalaian sistem.
Sudah waktunya Rinjani dan semua gunung di Indonesia berbenah. Jangan biarkan ada "Juliana berikutnya" hanya karena kita gagal belajar dari luka yang sudah terjadi.