Banjir Bukan Sekedar Genangan, Tapi Cerminan Kerapuhan Kota
Banjir kembali menyapa Jakarta dan wilayah sekitarnya pada awal Maret 2025. Bagi sebagian besar warga, peristiwa ini barangkali telah menjadi agenda musiman yang datang nyaris tanpa undangan - seperti tradisi tahunan yang melelahkan. Namun, banjir kali ini bukan banjir biasa. Curah hujan yang ekstrem, sistem drainase yang tak mampu menampung debit air, alih fungsi lahan yang terus terjadi, hingga buruknya koordinasi antardaerah, semuanya berpadu menciptakan salah satu bencana banjir paling parah dalam sejarah Jabodetabek dalam beberapa tahun terakhir.
Air yang menggenang bukan sekedar air hujan yang tak sempat mengalir. ia adalah refleksi nyata dari tumpukan masalah sistemik yang belum terselesaikan. Mulai dari tata ruang yang semrawut, pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, hingga kebijakan mitigasi bencana yang stagnan. Banjir kali ini menyampu tak hanya rumah dan jalanan, tetapi juga menyapu ilusi bahwa kita sudah siap menghadapi bencana.
Fakta dan Data Lapangan: Potret Dampak Banjir Jabodetabek 2025
(Berdasarkan Data BMKG, BNPB, DPR RI, DAN Kompas.com)
Berdasarkan hasil pemantauan resmi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta dokumen resmi Pusat Penelitian DPR RI (Maret 2025) dan pemberitaan media seperti Kompas.com, berikut adalah fakta - fakta terverifikasi terkait bencana banjir besar yang melanda wilayah Jabodetabek pada 2 hingga 6 Maret 2025:
1. Curah Hujan Ekstrem dan Anomali Cuaca
BMKG mencatat bahwa itensitas curah hujan selama banjir sangat tinggi. di Pos Pemantauan Katulumpa, Bogor, curah hujan mencapai 232mm/hari, menjadikannya salah satu titik tertinggi dalam periode musim hujan 2025. Sementara itu, di wilayah Bekasi, itensitas hujan berkisar antara 94 hingga 141mm/hari pada puncaknya, yaitu 3 dan 4 Maret 2025. Angka ini masuk dalam kategori hujan sangat lebat menurut klasifikasi BMKG.
Penyebab utama dari hujan ekstrem tersebut adalah terbentuknya fenomena atmosfer Mesoscale Convective Complex (MCC), yaitu sistem awan besar dan tebal yang menghasilkan hujan lebat dalam waktu panjang. BMKG juga mengidentifikasi dukungan dari gelombang Rossby Ekuator, serta adanya sirkulasi siklonik di Samudra Hindia bagian selatan Indonesia, yang memperparah kondisi atmosfer menjadi sangat labil, hangat, dan lembap kondisi ideal untuk pembentukan badai hujan skala luas.
2. Wilayah - Wilayah Terdampak Banjir
Wilayah yang terdampak paling parah mencakup Jakarta Timur (Cipinang Melayu, Kampung Rambutan, Duren Sawit), Jakarta Utara (Panjaringan, Tanjung Priok). serta sebagian wilayah Jakarta Barat. Di kawasan penyangga seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang Selatan, banjir meluap ke perumahan padat dan kompleks yang dibangun di dekat bantaran sungai dan rawa.
Ketinggian air di beberapa titik mencapai antara 3,5 hingga 4 meter, khususnya di Perumnas 3 dan Pondok Gede Permai (Bekasi) serta daerah Cawang dan Cipinang. Laporan dari DPR RI menyebut bahwa di Kelurahan Gedong, Jakarta Timur, muka air bahkan tercatat mencapai 4,9 meter, menjadikan lokasi tersebut salah satu titik tertinggi genangan.
3. Jumlah Pengungsi dan Korban Jiwa
Menurut data resmi dari BNPB, banjir menyebabkan lebih dari 90.000 jiwa terpaksa mengungsi ke tempat penampungan sementara, seperti gedung sekolah, masjid, dan kantor pemerintahan. Total warga yang terdampak langsung dilaporkan mencapai 239.883 jiwa.
Korban jiwa tercatat sebanyak 9 orang meninggal dunia karena berbagai penyebab seperti terseret arus, tersengat listrik, dan tertimpa reruntuhan bangunan akibat longsoran tanah yang juga menyertai banjir. Puluhan warga lainya mengalami luka ringan hingga berat dan sempat dirawat di posko kesehatan darurat.
4. Kerugian Ekonomi yang Sangat Besar
Total kerugian akibat banjir Jabodetabek 2025 diperkirakan mencapai US$258 juta atau sekitar Rp. 4,1 triliun, menurut laporan dari media dan peneliti kebencanaan. Kerugian ini mencakup kerusakan infrastruktur publik, rumah warga, kendaraan pribadi, aset bisnis (UMKM dan perusahaan), hingga gangguan ekonomi makro seperti logistik, transportasi, dan sektor perdagangan.
5. Dampak terhadap Hunian dan Infrastruktur Perkotaan
BNPB melaporkan setidaknya 72.050 unit rumah warga terendam, baik dalam bentuk rumah tapak, ruko, maupun bangunan vertikal di dataran rendah. Selain itu, infrastruktur vital lumpuh: jalan protokol tak bisa dilintasi, listrik padam di ratusan RW, dan pompa air kewalahan.
Di Kota Bekasi, lebih dari 140 rumah tergenang dengan kedalaman 3 meter atau bahkan lebih, Sementara itu, di Kelurahan Gedong, Jakarta Timur, tinggi muka air mencapai 4,9 meter menurut pemantauan pos siaga lokal. Banyak warga dilaporkan membobol pagar tembok kompleks perumahan sungai jalur aliran darurat agar air cepat surut dan memudahkan evakuasi.
Mengapa ini terjadi? Menyingkap Akar Masalah Banjir
1. Perubahan Iklim dan Cuaca Ekstrem
Fenomena cuaca ekstrem seperti hujan lebat yang berkepanjangan sekarang menjadi bagian dari pola baru yang diciptakan oleh krisis iklim. Terbentuknya Mesosclae Complex (MCC), sekumpulan awan konvektif berskala besar yang menyebabkan curah hujan tinggi selama waktu yang lama, terutama di hulu sungai seperti Bogor dan Depok, adalah salah satu faktor yang menyebabkan banjir pada Maret 2025, menurut BMKG.
Di daerah tropis, terutama di perairan Indonesia bagian barat, suhu permukaan laut meningkat, yang menyebabkan peningkatan penguapan air laut dan peningkatan kelembapan atmosfer. Menurut BMKG, anomali suhu permukaan laut hingga +1,2 celcius terjadi dari Februari hingga Maret 2025, memperkuat kemungkinan terbentuknya awan comulonimbus yang signifikan.
Tidak hanya itu, fenomena MCC memperburuk akibat: Gelombang Rossby Ekuator yang menyebabkan ketidakstabilan atmosfer sirkulasi siklonik yang terjadi di Samudra Hindia pada awal Maret, ada fase basah Madden-Julian Oscillation (MJO) di atas Indonesia. Namun, aktivitas manusia masih merupakan penyebab utama krisis iklim, termasuk: emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, Penggundulan hutan dan perubahan dalam cara lahan igunakan Urbanisasi yang tidak terkendali mengurangi daya dukung ekosistem.
2. Alih Fungsi Lahan dan Minimnya Ruang Resapan
Pembangunan yang berlebihan tanpa mempertimbangkan aspek ekologis adalah penyebab utama banjir. Sebagai kota dengan ruang resapan air paling minim di Asia Tenggara, lebih dari 44% wilayah Jakarta ditutup dengan beton dan aspal, menurut data dari Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang DKI Jakarta.
Selain itu, rawa, sawah, dan tepi suangai banyak digunakan untuk pembangunan perumahan, apartemen, pusat belanja, dan jalan tol di daerah penyangga seperti Depok, Bekasi, dan Tangerang. Tempat yang dulunya basah dapat menyerap limpasan air sekarang memantulkan air kembali ke permukaan, mempercepat aliran menuju saluran dan sungai. Meskipun area tersebut berada di zona rawan banjir atau tepi sungai, melanggar Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, izin pembangunan biasanya diberikan oleh pemerintah daerah.
3. Drainase Kota yang Buruk dan Tak terawat
Drainase Kota yang Buruk pada dasarnya, sistem drainase di Jakarta dan Kota - kota satelitnya sudah usang. Sistem saluran kolonial Belanda masih digunakan oleh banyak saluran, termasuk saluran utama di wilayah Jakarta Pusat dan Barat, yang hanya dapat menampung curah hujan 50 hingga 100 mm per hari.
Situasi diterburuk oleh: sumbatan yang disebabkan oleh limbah rumah tangga dan limbah kontruksi. Sedimentasi yang sangat parah yang tidak dibersikan secara teratur Pompa dan pintu air yang terlalu berat dan kurang dirawat. Laporan dari Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta (2024) menunjukkan bahwa sekitar 40% dari 1.160 saluran mikro dan makro di Jakarta berada dalam kondisi yang tidak memadai, terutama selama musim penghujan. Saat banjir pada Maret 2025, ebberapa pompa di wilayah Pluit Cengkareng, dan Pulogadung juga sempat mengalami gangguan.
4. Kurangnya Koordinasi antar daerah dan antar lembaga
Karena sistem sungai dan aliran air tidak memiliki batas administratif, masalah banjir di Jabodetabek bersifat lintas-wilayah. Jakarta adalah sumber utama sungai - sungai besar seperti Ciliwung, Pesanggrahan, dan Angke, namun banyak sungai lain berhulu di Bogor, Depok, dan wilayah yang berdekatan. Sayangnya, mitigasi banjir tidak berhasil karena sistem tata kelola yang terfragmentasi.
Beberapa hambatan utama: tidak ada komando lintas wilayah yang terpadu untuk menangani banjir di Jabodetabek. Tidak ada koordinasi antara Kementerian PUPR, BMKG, BNPB, Dinas SDA, dan Pemerintahan Daerah saat banjir terjadi, tetapi hanya saat terjadi. Perencanaan tata ruang yang tumpang tindih di berbagai wilayah Sebagai contoh, Bogor tidak memperbaiki hulu sungainya setelah pembangunan tanggul di Jakarta. Namun, Jakarta akan tetap mengalami limpasan air jika bagian hulu sungai tidak diperbaiki.
Dampak yang Ditimbulkan: Tidak Hanya Fisik, Tapi juga Sosial dan Psikologis
Banjir besar yang melanda wilayah Jabodetabek pada awal 2025 bukan sekedar bencana alam biasa. Dampaknya menjalar luas, tidak hanya menghancurkan properti dan infrastruktur, tetapi juga meninggalkan luka sosial, ekonomi, kesehatan, bahkan psikologis yang dalam. Berikut ini adalah rincian dampak yang terjadi:
- Dampak Sosial
Ribuan keluarga terpaksa mengungsi dari rumah mereka karena terendam air banjir hingga atap. Menurut data BNPB, lebih dari 85.000 orang kehilangan tempat tinggal sementara, sebagian besar di antaranya harus menetap di tempat penampungan darurat dengan fasilitas terbatas.
Sekolah - sekolah yang seharusnya menjadi ruang belajar bagi anak - anak berubah fungsi menjadi lokasi pengungsian, menyebabkan kegiatan belajar mengajar terganggu bahkan terhenti. Anak - anak kehilangan akses pendidikan dalam waktu yang cukup lama, yang berisiko meningkatkan learning loss.
Kelompok rentan seperti lansia, perempuan, balita, dan penyandang disabilitas menjadi pihak paling terdampak secara sosial dan psikologis. Tekanan mental akibat kehilangan rumah, rasa trauma akibat evakuasi mendadak, serta kecemasan menghadapi masa depan tanpa kejelasan, menciptakan beban emosional yang sangat besar.
- Dampak Ekonomi
Perekonomian lokal sangat terpengaruh oleh banjir tahun 2025. Banyak UMKM kehilangan tempat usaha mereka dan kehilangan aset produktif mereka, seperti mesin, stok barang, dan peralatan produksi. Oleh karena itu, omzet turun dan banyak bisnis harus gulung tikar. Rantai pasokan makanan dan bahan bakar terganggu karena keterlambatan distribusi; akibatnya, beberapa daerah mengalami kelangkaan barang kebutuhan pokok, dan harga kebutuhan rumah tangga melonjak secara signifikan.
Selain itu, masyrakat mengalami kerugian material yang sangat besar. Ini termasuk biaya perbaikan rumah, kendaraan pribadi, tempat usaha, dan ganti rugi peralatan elektronik yang rusak oleh air banjir, Selain itu, pemerintah juga dikenakan biaya yang sangat besar untuk memperbaiki infrastruktur jalan, jembatan, drainase, dan fasilitas umum yang rusak.
- Dampak Kesehatan dan Lingkungan
Kesehatan masyarakat terencam oleh limbah air yang kotor dan tercemar. Orang - orang yang berada di dekat air banjir mulai mengalami gejala seperti diare, leptospirosis, dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Kondisi pengungsian menjadi lebih buruk karena tidak ada akses air bersih dan sanitasi yang layak. Di sisi lingkungan, banjir merusak flora dan fauna lokal. Karena perubahan kualitas air, habitat satwa kecil terganggu, pohon di taman kota dan daerah aliran sungai tumbang, dan ikan air tawar mati. Sampah rumah tangga dan limbah plastik membanjiri sungai dan saluran air, memperburuk kemungkinan banjir berikutnya.
Upaya Mitigasi dan Penanganan: Sudah Cukupkah?
Pemerintah pusat maupun daerah telah melakukan sejumlah langkah cepat dan darurat. Namun, dalam konteks perubahan iklim dan cuaca ekstrem yang kian sulit diprediksi, pertanyaan besar tetap muncul: Apakah langkah ini cukup?
Langkah yang sudah dilakukan oleh Pemerintah
- Modifikasi Cuaca (TMC)
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bekerja sama dengan TNI Angkatan Udara (TNI AU) mengimplementasikan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sebagai upaya preventif untuk mengendalikan curah hujan ekstrem di wilayah hulu sungai seperti Bogor, Puncak, dan Depok.
Langkah ini dimulai sejak awal Maret, dengan penyemaian garam (NaCl) ke awan-awan potensial menggunakan pesawat CN-295, yang bertujuan mempercepat proses kondensasi sehingga hujan turun lebih awal dan tidak terkumpul menjadi hujan lebat di lokasi yang padat penduduk. Strategi ini diharapkan mampu mengurangi potensi banjir bandang, terutama di daerah hilir seperti Jakarta yang sangat bergantung pada stabilitas daerah aliran sungai (DAS).
- Evakuasi cepat oleh BNPB dan TNI
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama TNI dan instansi lokal segera melakukan evakuasi massal secara sistematis dan terarah begitu banjir mulai merendam kawasan pemukiman padat. Evakuasi dilakukan dengan mengutamakan kelompok rentan seperti lansia, ibu hamil, anak-anak, serta penyandang disabilitas, dengan menggunakan perahu karet, kendaraan darurat, dan jalur evakuasi darat yang telah dipetakan.
Warga yang dievakuasi diarahkan ke titik pengungsian aman seperti gedung sekolah, GOR, dan balai warga yang telah disiapkan sebelumnya. Di lokasi ini, pemerintah memastikan adanya logistik awal seperti makanan, air minum, selimut, dan penerangan darurat untuk menjamin kebutuhan dasar korban selama masa tanggap darurat.
- Pengerahan Pompa dan Pembersihan Saluran Air
Untuk menurunkan volume genangan yang tinggi di sejumlah titik, lebih dari 30 unit pompa air berkapasitas besar dioperasikan oleh Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta dan beberapa kota penyangga lainnya. Pompa-pompa tersebut difungsikan secara bergiliran di titik-titik rawan seperti Kelapa Gading, Cengkareng, dan Cilandak. Di samping itu, tim lapangan gabungan dari Dinas PU, PPSU, dan petugas kebersihan diterjunkan untuk membersihkan saluran air, gorong-gorong, dan sungai yang tersumbat oleh sampah, lumpur, dan endapan material banjir. Langkah ini menjadi kunci untuk mempercepat aliran air menuju sungai atau kanal utama, serta mencegah potensi banjir susulan jika hujan turun kembali.
- Distribusi Bantuan Logistik
Pemerintah, melalui koordinasi antara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Kementerian Sosial, TNI, Polri, serta dukungan relawan dan organisasi kemanusiaan, secara intensif melakukan penyaluran bantuan logistik ke lokasi-lokasi pengungsian maupun daerah terdampak. Bantuan meliputi makanan siap saji, beras, air mineral, obat-obatan, perlengkapan bayi, pakaian bersih, selimut hangat, serta tenda darurat untuk keperluan tidur dan isolasi keluarga. Pengiriman dilakukan melalui jalur darat dan udara, terutama ke daerah yang terisolasi atau sulit diakses akibat terputusnya akses jalan.
Selain itu, didirikan pula dapur umum dan pos kesehatan keliling guna memastikan warga tetap mendapatkan kebutuhan gizi dan pelayanan medis dasar, terutama bagi korban yang menderita luka ringan, dehidrasi, atau terpapar penyakit kulit dan infeksi saluran pernapasan.
Langkah Mitigasi Jangka Panjang yang Harus Diperkuat
1. Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)
Salah satu akar masalah utama banjir di wilayah Jabodetabek adalah rusaknya fungsi ekologis di kawasan hulu sungai. Oleh karena itu, rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi prioritas utama dalam strategi mitigasi. Reboisasi dan penghijauan kembali di wilayah hulu sungai, seperti kawasan Puncak, Bogor, dan Cianjur, sangat penting untuk menstabilkan daerah tangkapan air. Penanaman pohon-pohon endemik dan tanaman penahan erosi membantu menyerap air hujan secara alami dan mengurangi limpasan permukaan (run-off) yang mengalir deras ke wilayah hilir.
Selain itu, harus dilakukan penertiban terhadap bangunan ilegal yang berdiri di bantaran sungai, karena bangunan-bangunan ini menyempitkan aliran air dan memperparah potensi luapan saat debit meningkat. Penertiban ini harus disertai dengan pendekatan humanis dan program relokasi yang layak, agar warga tidak menjadi korban kedua kali karena kehilangan tempat tinggal tanpa solusi pengganti. Pemulihan kualitas air sungai juga menjadi bagian dari rehabilitasi DAS, melalui pengendalian pencemaran limbah rumah tangga dan industri, serta peningkatan kesadaran warga akan pentingnya menjaga kebersihan sungai.
2. Pengambungan Infrastruktur Resiliensi
Pembangunan fisik yang tahan terhadap bencana menjadi komponen penting dalam membangun kota yang resilien (tangguh). Hal ini tidak hanya mencakup proyek besar, tetapi juga modernisasi infrastruktur dasar kota. Pemerintah daerah perlu mempercepat pembangunan kolam retensi, embung, dan waduk buatan yang berfungsi sebagai tempat penampungan air saat curah hujan tinggi. Kolam-kolam ini dapat mencegah air langsung mengalir ke kawasan pemukiman dan memberi waktu sistem drainase untuk bekerja lebih efektif.
Di kawasan perkotaan, perlu dilakukan modernisasi sistem drainase perkotaan dengan mengadopsi teknologi digital seperti sensor debit air, sistem pompa otomatis berbasis Internet of Things (IoT), serta pengendali pintu air secara real-time. Sistem ini memungkinkan pemantauan dan pengendalian aliran air secara cepat, presisi, dan berbasis data. Selain itu, infrastruktur hijau seperti taman resapan, trotoar berpori, dan ruang terbuka hijau (RTH) juga harus ditingkatkan, karena berperan menyerap air hujan langsung ke dalam tanah dan mengurangi beban saluran air.
3. Peningkatan Tata Kelola Terpadu
Salah satu tantangan utama dalam penanganan banjir di wilayah Jabodetabek adalah fragmentasi kewenangan dan kurangnya koordinasi lintas wilayah administratif. Karena air tidak mengenal batas wilayah, maka tata kelola pun harus lintas batas. Solusi strategis yang perlu segera diimplementasikan adalah pembentukan satuan komando banjir lintas wilayah Jabodetabek punjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur). Komando ini bertugas mengintegrasikan kebijakan perencanaan tata ruang, manajemen air, dan kesiapsiagaan bencana antar-pemerintah daerah agar tidak terjadi saling tumpang tindih atau saling menyalahkan.
Di sisi teknologi, dibutuhkan implementasi sistem peringatan dini (Early Warning System) yang terintegrasi antara BMKG, BPBD, dan perangkat desa/kelurahan. Sistem ini harus berbasis data satelit, radar cuaca, dan sensor tanah, serta dikoneksikan ke platform digital yang bisa mengirimkan peringatan dini kepada masyarakat melalui aplikasi seluler, pesan singkat (SMS), atau sirine komunitas. Selain itu, data banjir historis, peta rawan banjir, dan proyeksi iklim jangka panjang perlu dijadikan dasar dalam menyusun kebijakan pembangunan dan perizinan wilayah baru.
4. Pendidikan dan Kesehatan Warga
Tidak ada sistem mitigasi yang efektif tanpa partisipasi aktif dari masyarakat. Oleh karena itu, peningkatan pengetahuan dan kesadaran warga tentang bencana perlu ditanamkan sejak dini. Pemerintah bersama dinas pendidikan harus mengintegrasikan edukasi kebencanaan dalam kurikulum sekolah, terutama di wilayah rawan banjir. Anak-anak perlu diajarkan pemahaman dasar tentang perubahan iklim, risiko banjir, hingga prosedur evakuasi mandiri.
Di tingkat komunitas, perlu digalakkan pelatihan tanggap darurat secara berkala, termasuk simulasi evakuasi, penggunaan perahu darurat, pembuatan jalur evakuasi, dan pelatihan pertolongan pertama. RT, RW, dan Karang Taruna dapat menjadi garda depan dalam memperkuat ketahanan komunitas. Selain itu, penting untuk membangun budaya kesiapsiagaan, misalnya dengan menyediakan tas siaga bencana di rumah, memastikan saluran air sekitar tidak tersumbat, dan mengikuti informasi resmi dari BMKG dan BPBD secara rutin.
Kesimpulan: Waktunya Bangun Sistem yang Adaptif dan Kolaboratif
Banjir besar yang melanda wilayah Jabodetabek pada tahun 2025 bukan sekadar peristiwa alam biasa, melainkan peringatan keras dan nyata bahwa sistem penanganan bencana kita masih sangat bergantung pada pendekatan reaktif—yakni bertindak setelah bencana terjadi. Padahal, dalam kondisi iklim global yang semakin tidak stabil, pendekatan semacam ini tidak lagi memadai.
Kita sedang menghadapi era baru: era krisis iklim, di mana intensitas hujan meningkat, pola cuaca semakin tidak menentu, dan risiko bencana datang dalam frekuensi yang lebih sering serta dengan dampak yang lebih luas. Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia, khususnya kawasan strategis seperti Jabodetabek, beralih dari paradigma “tanggap darurat” menuju sistem yang lebih adaptif, kolaboratif, dan berbasis mitigasi jangka panjang.
- Pentingnya Sistem Manajemen Risiko yang Adaptif
Sistem yang adaptif adalah sistem yang mampu belajar dari kejadian sebelumnya, merespons secara cepat terhadap dinamika yang berubah, dan terus memperbaiki diri berdasarkan data dan analisis risiko. Artinya, kita perlu menanamkan budaya kesiapsiagaan, memperkuat infrastruktur yang tangguh, serta merancang kebijakan yang fleksibel namun tegas dalam mengatur tata ruang, pengelolaan lingkungan, dan distribusi sumber daya.
- Kunci Keberhasilan: Kolaborasi Lintas Sektor
Mengelola risiko bencana bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah. Justru, keterlibatan seluruh elemen masyarakat menjadi kunci utama dalam membangun ketangguhan kolektif. Akademisi dapat berperan dalam riset dan edukasi; pelaku usaha perlu menyusun strategi keberlanjutan; organisasi sipil dapat menjadi motor penggerak pemberdayaan warga; sementara masyarakat sendiri harus menjadi aktor utama dalam membangun kesadaran dan kesiapsiagaan komunitasnya. Pemerintah, dalam hal ini, tidak hanya bertindak sebagai penyedia solusi, tetapi juga sebagai fasilitator kolaborasi, yang membuka ruang dialog dan sinergi lintas sektor. Penanganan banjir tidak akan efektif jika setiap pihak bekerja secara terpisah, tanpa koordinasi dan integrasi sistem.
- Jangan Terjebak dalam Siklus Kesalahan yang Sama
Jika kita terus mengulang kesalahan lama—seperti membangun pemukiman di bantaran sungai, membuang sampah sembarangan ke saluran air, menebang hutan di wilayah hulu tanpa kontrol, dan meremehkan peringatan dini dari BMKG—maka kita bukan lagi korban dari bencana, melainkan bagian dari penyebab terjadinya bencana itu sendiri.
Kita tidak bisa mengharapkan hasil yang berbeda jika tetap menjalankan pola yang sama. Ketidaksiapan bukan lagi alasan, tapi pilihan yang penuh risiko.
- Bangun Masa Depan yang Lebih Tangguh
Ke depan, kita perlu mengembangkan sistem yang tidak hanya responsif, tapi juga berorientasi pada pencegahan, pendidikan, dan ketahanan jangka panjang. Investasi dalam teknologi peringatan dini, penguatan kelembagaan, pelatihan masyarakat, serta infrastruktur hijau harus menjadi prioritas. Semua langkah ini tidak bisa ditunda lagi.
> Bencana bisa datang tanpa aba-aba, tapi kesiapan adalah pilihan.
Dan pilihan kita hari ini akan menentukan apakah generasi mendatang akan hidup dalam lingkaran krisis, atau tumbuh dalam sistem yang tangguh dan saling menjaga.
Sumber artikel: https://nasional.kompas.com/read/2025/03/05/14292801/bmkg-ungkap-banjir-bekasi-disebabkan-hujan-lokal-dan-kiriman-dari-hulu
BMKG.go.id, Kompas.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI