1. Perubahan Iklim dan Cuaca EkstremÂ
Fenomena cuaca ekstrem seperti hujan lebat yang berkepanjangan sekarang menjadi bagian dari pola baru yang diciptakan oleh krisis iklim. Terbentuknya Mesosclae Complex (MCC), sekumpulan awan konvektif berskala besar yang menyebabkan curah hujan tinggi selama waktu yang lama, terutama di hulu sungai seperti Bogor dan Depok, adalah salah satu faktor yang menyebabkan banjir pada Maret 2025, menurut BMKG.
Di daerah tropis, terutama di perairan Indonesia bagian barat, suhu permukaan laut meningkat, yang menyebabkan peningkatan penguapan air laut dan peningkatan kelembapan atmosfer. Menurut BMKG, anomali suhu permukaan laut hingga +1,2 celcius terjadi dari Februari hingga Maret 2025, memperkuat kemungkinan terbentuknya awan comulonimbus yang signifikan.
Tidak hanya itu, fenomena MCC memperburuk akibat: Â Gelombang Rossby Ekuator yang menyebabkan ketidakstabilan atmosfer sirkulasi siklonik yang terjadi di Samudra Hindia pada awal Maret, ada fase basah Madden-Julian Oscillation (MJO) di atas Indonesia. Namun, aktivitas manusia masih merupakan penyebab utama krisis iklim, termasuk: emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, Penggundulan hutan dan perubahan dalam cara lahan igunakan Urbanisasi yang tidak terkendali mengurangi daya dukung ekosistem.
2. Alih Fungsi Lahan dan Minimnya Ruang Resapan
Pembangunan yang berlebihan tanpa mempertimbangkan aspek ekologis adalah penyebab utama banjir. Sebagai kota dengan ruang resapan air paling minim di Asia Tenggara, lebih dari 44% wilayah Jakarta ditutup dengan beton dan aspal, menurut data dari Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang DKI Jakarta.
Selain itu, rawa, sawah, dan tepi suangai banyak digunakan untuk pembangunan perumahan, apartemen, pusat belanja, dan jalan tol di daerah penyangga seperti Depok, Bekasi, dan Tangerang. Tempat yang dulunya basah dapat menyerap limpasan air sekarang memantulkan air kembali ke permukaan, mempercepat aliran menuju saluran dan sungai. Meskipun area tersebut berada di zona rawan banjir atau tepi sungai, melanggar Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, izin pembangunan biasanya diberikan oleh pemerintah daerah.
3. Drainase Kota yang Buruk dan Tak terawat
Drainase Kota yang Buruk pada dasarnya, sistem drainase di Jakarta dan Kota - kota satelitnya sudah usang. Sistem saluran kolonial Belanda masih digunakan oleh banyak saluran, termasuk saluran utama di wilayah Jakarta Pusat dan Barat, yang hanya dapat menampung curah hujan 50 hingga 100 mm per hari.
Situasi diterburuk oleh: sumbatan yang disebabkan oleh limbah rumah tangga dan limbah kontruksi. Sedimentasi yang sangat parah yang tidak dibersikan secara teratur Pompa dan pintu air yang terlalu berat dan kurang dirawat. Laporan dari Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta (2024) menunjukkan bahwa sekitar 40% dari 1.160 saluran mikro dan makro di Jakarta berada dalam kondisi yang tidak memadai, terutama selama musim penghujan. Saat banjir pada Maret 2025, ebberapa pompa di wilayah Pluit Cengkareng, dan Pulogadung juga sempat mengalami gangguan.
4. Kurangnya Koordinasi antar daerah dan antar lembaga